Bussairi D. Nyak Diwa
Satu semester atau tepatnya enam bulan lamanya aku pergi-pulang dari rumah ke sekolah dalam proses menuntut ilmu di SMP Negeri di kota tepi pantai itu. Saat liburan semester pertama berlangsung, aku total berada di kampung dengan berbagai aktivitas yang melenakan.
Mandi di sungai bersama kawan-kawan sambil mencari udang di sepanjang aliran sungai yang deras, dalam, dan berbatu-batu. Bermain layang-layang di sawah yang terhampar luas usai para petani kampung kami memanen hasilnya. Pergi ke kaki gunung di pinggir kampung, lalu meretas getah ‘rambong’ dan mengoles ke daunnya yang lebar-lebar itu, kemudian menjemur, lalu membuat balon dan menggulung-gulungnya menjadi bola kasti atau bola kaki. Dengan bola-bola alami itulah sorenya kami bermain kasti, volly, atau sepak bola di sawah yang becek dan luas. Sungguh-sungguh mengasyikkan.
Kami juga sering membuat bubu-bubu kecil dari bambu dan dirangkai dengan rotan yang telah dihaluskan. Sore menjelang malam, bubu-bubu kecil itu kami bawa ke pematang sawah. Di antara pematang sawah yang airnya mengalir, kami pasang bubu-bubu itu. Biasanya kegiatan ini kami lakukan kala padi mulai berbunga. Ikan-ikan seperti lele, gabus, sepat, dan ikan-ikan kecil lainnya banyak berkeliaran di dalam sawah mengikuti arus air. Jika malamnya turun hujan, maka dipastikan banyak sekali ikan itu yang tersangkut di dalam bubu. Pagi-pagi sekali kami mengangkat bubu-bubu itu, lalu membawa pulang berbagai macam ikan ke rumah untuk kemudian dimasak oleh ibu menjadi lauk makan pagi. Begitulah melewati keseharian di kampung halaman selama liburan berlangsung.
Mengawali semester ke dua di kelas satu SMP, aku mulai sadar akan sesuatu. Waktu itu sudah lama mengaji di rumah seorang Teungku di kampung kami. Sudah bertahun-tahun aku mengaji pada teungku yang bernama Tgk. Abdullah itu dan seingatku sudah lima kali khatam. Suatu malam terbetik di pikiranku untuk melanjutkan mengaji ke tingkat yang lebih tinggi. Maka kukatakanlah niatku itu pada ibu, tapi aku bilang pada ibu bahwa aku ingin melanjutkan mengaji ke kota Bakongan, ibukota kecamatan. Di sana ada sebuah pesantren yang diasuh oleh seorang ulama kharismatik dan sepuh yaitu Abuya Syech Haji Adnan Mahmud atau lebih akrab kami panggil Nek Abu. Pesantren itu bernama Ashabul Yamin. Ke sanalah maksud hatiku untuk mengaji. Saat kusampaikan maksudku itu pada ibu, ibu sangat setuju.
Tanpa kuduga Ibu menyampaikannya pada Ayah. Dan ternyata Ayah juga sangat setuju dan mendukung rencana Ibu. Maka bulatlah tekad, mulai pertengahan tahun atau permulaan tahun ajaran baru aku sudah boleh mengaji di sana dengan syarat aku harus mondok di pesantren itu.
Mengetahui bahwa Ayah sangat setuju, hatiku pun sangat senang dan berbunga-bunga. Ibu mempersiapkan bahan-bahan keperluanku untuk mondok. Sebuah ranjang solo terbuat dari besi warisan orang tua ibu, Beliau persiapkan untukku. Ada juga sebuah tong yang terbuat dari kayu meranti yang mengkilat meskipun sudah tua dimakan usia, Ibu bersihkan tempat menyimpan pakaianku. Selebihnya adalah sebilah parang yang sudah mengecil ujungnya, sebuah pisau dapur, dan sebuah ‘umpang’ yang khusus dianyam ibu dari daun ‘sikee’ tempat menyimpan buku-buku dan kitab untuk persiapan sekolah dan mengaji. Oh ya, hampir lupa, Ibu juga tak lupa menyelipkan dalam eumpang itu selembar sajadah yang kelihatan masih baru. Jika tak salah, sajadah itu adalah sajadah yang sering digunakan ibu saat menunaikan shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Meskipun seingatku sajadah itu sudah berulang kali digunakan Ibu untuk shalat hari raya, namun dari fisiknya kelihatan bersih dan masih baru. Begitulah, aku menerima semua pemberian itu dengan hati yang sangat senang dan bahagia.
Â
(Bersambung)
Â