• *WARGA MUHAMMADIYAH LEMBAH SABIL SANTUNI 100 ANAK YATIM*
  • *WARGA MUHAMMADIYAH LEMBAH SABIL SANTUNI 100 ANAK YATIM*
  • Gepeng Yang Diamankan Satpol PPWH Banda Aceh Pakai Sabu Sebelum Beraksi
  • Home 1
    • Air Mata Mata Air
  • Home 2
  • Home 3
  • Home 4
  • Home 5
  • Memilih Pendidikan, Memilih Masa Depan
  • Redaksi
  • Telaga Sastra Cinta “Savitri J”
Thursday, February 9, 2023
No Result
View All Result
No Result
View All Result
No Result
View All Result
Home Berbagi

SEANDAINYA AKU TAK MENJADI GURU

Bagian 5

admin by admin
July 23, 2022
in Berbagi, Biografi
0
SEANDAINYA AKU TAK MENJADI GURU
0
SHARES
1
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Bussairi D. Nyak Diwa

Satu semester atau tepatnya enam bulan lamanya aku pergi-pulang dari rumah ke sekolah dalam proses menuntut ilmu di SMP Negeri di kota tepi pantai itu. Saat liburan semester pertama berlangsung, aku total berada di kampung dengan berbagai aktivitas yang melenakan.

Mandi di sungai bersama kawan-kawan sambil mencari udang di sepanjang aliran sungai yang deras, dalam, dan berbatu-batu. Bermain layang-layang di sawah yang terhampar luas usai para petani kampung kami memanen hasilnya. Pergi ke kaki gunung di pinggir kampung, lalu meretas getah ‘rambong’ dan mengoles ke daunnya yang lebar-lebar itu, kemudian menjemur, lalu membuat balon dan menggulung-gulungnya menjadi bola kasti atau bola kaki. Dengan bola-bola alami itulah sorenya kami bermain kasti, volly, atau sepak bola di sawah yang becek dan luas. Sungguh-sungguh mengasyikkan.

Kami juga sering membuat bubu-bubu kecil dari bambu dan dirangkai dengan rotan yang telah dihaluskan. Sore menjelang malam, bubu-bubu kecil itu kami bawa ke pematang sawah. Di antara pematang sawah yang airnya mengalir, kami pasang bubu-bubu itu. Biasanya kegiatan ini kami lakukan kala padi mulai berbunga. Ikan-ikan seperti lele, gabus, sepat, dan ikan-ikan kecil lainnya banyak berkeliaran di dalam sawah mengikuti arus air. Jika malamnya turun hujan, maka dipastikan banyak sekali ikan itu yang tersangkut di dalam bubu. Pagi-pagi sekali kami mengangkat bubu-bubu itu, lalu membawa pulang berbagai macam ikan ke rumah untuk kemudian dimasak oleh ibu menjadi lauk makan pagi. Begitulah melewati keseharian di kampung halaman selama liburan berlangsung.

Mengawali semester ke dua di kelas satu SMP, aku mulai sadar akan sesuatu. Waktu itu sudah lama mengaji di rumah seorang Teungku di kampung kami. Sudah bertahun-tahun aku mengaji pada teungku yang bernama Tgk. Abdullah itu dan seingatku sudah lima kali khatam. Suatu malam terbetik di pikiranku untuk melanjutkan mengaji ke tingkat yang lebih tinggi. Maka kukatakanlah niatku itu pada ibu, tapi aku bilang pada ibu bahwa aku ingin melanjutkan mengaji ke kota Bakongan, ibukota kecamatan. Di sana ada sebuah pesantren yang diasuh oleh seorang ulama kharismatik dan sepuh yaitu Abuya Syech Haji Adnan Mahmud atau lebih akrab kami panggil Nek Abu. Pesantren itu bernama Ashabul Yamin. Ke sanalah maksud hatiku untuk mengaji. Saat kusampaikan maksudku itu pada ibu, ibu sangat setuju.

Tanpa kuduga Ibu menyampaikannya pada Ayah. Dan ternyata Ayah juga sangat setuju dan mendukung rencana Ibu. Maka bulatlah tekad, mulai pertengahan tahun atau permulaan tahun ajaran baru aku sudah boleh mengaji di sana dengan syarat aku harus mondok di pesantren itu.

Mengetahui bahwa Ayah sangat setuju, hatiku pun sangat senang dan berbunga-bunga. Ibu mempersiapkan bahan-bahan keperluanku untuk mondok. Sebuah ranjang solo terbuat dari besi warisan orang tua ibu, Beliau persiapkan untukku. Ada juga sebuah tong yang terbuat dari kayu meranti yang mengkilat meskipun sudah tua dimakan usia, Ibu bersihkan tempat menyimpan pakaianku. Selebihnya adalah sebilah parang yang sudah mengecil ujungnya, sebuah pisau dapur, dan sebuah ‘umpang’ yang khusus dianyam ibu dari daun ‘sikee’ tempat menyimpan buku-buku dan kitab untuk persiapan sekolah dan mengaji. Oh ya, hampir lupa, Ibu juga tak lupa menyelipkan dalam eumpang itu selembar sajadah yang kelihatan masih baru. Jika tak salah, sajadah itu adalah sajadah yang sering digunakan ibu saat menunaikan shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Meskipun seingatku sajadah itu sudah berulang kali digunakan Ibu untuk shalat hari raya, namun dari fisiknya kelihatan bersih dan masih baru. Begitulah, aku menerima semua pemberian itu dengan hati yang sangat senang dan bahagia.

 

(Bersambung)

 

Related

Previous Post

Kala Masyarakat Aceh Berkurban Dalam Ancaman PMK

Next Post

Wisata Hari Raya

admin

admin

Next Post
Wisata Hari Raya

Wisata Hari Raya

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recommended

Julaini, Bahagianya Anak Yatim Piatu Mendapat Bantuan Sepeda dari CCDE

Julaini, Bahagianya Anak Yatim Piatu Mendapat Bantuan Sepeda dari CCDE

35 mins ago
SIPETOK dan FISHY  Produksi  Siswa SMKN 1 Jeunieb

SIPETOK dan FISHY Produksi Siswa SMKN 1 Jeunieb

14 hours ago

Trending

5 Sepeda untuk Program 1000 Sepeda

6 years ago
Negara Partitokrasi, dan Kewajiban Menolak Perilaku Anti Demokrasi

Negara Partitokrasi, dan Kewajiban Menolak Perilaku Anti Demokrasi

2 days ago

Popular

Majalah POTRET Gelar Lomba Menulis Essai Se-Aceh

Majalah POTRET Gelar Lomba Menulis Essai Se-Aceh

2 weeks ago

Jangan Samakan FGD dengan Seminar

9 months ago

5 Sepeda untuk Program 1000 Sepeda

6 years ago

Jambatan Sastera Kelantan – Aceh Segera Luncur

2 weeks ago
Negara Partitokrasi, dan Kewajiban Menolak Perilaku Anti Demokrasi

Negara Partitokrasi, dan Kewajiban Menolak Perilaku Anti Demokrasi

2 days ago

Spam Blocked

2,171 spam blocked by Akismet

Follow Us

  • Redaksi
  • Feed

Copyright © 2022, potretonline.com

No Result
View All Result
  • Home
  • Potret Utama
  • Sorotan
  • Bingkai
  • Bingkai Sekolah
  • Frame
  • Tips Kita
  • News
  • Sehati
  • English Article
  • Wisata
  • Blitz
  • Sastra
  • Sketsa
  • Peace Corner
  • Kronis
  • Lensa

Copyright © 2022, potretonline.com

Go to mobile version