• *WARGA MUHAMMADIYAH LEMBAH SABIL SANTUNI 100 ANAK YATIM*
  • *WARGA MUHAMMADIYAH LEMBAH SABIL SANTUNI 100 ANAK YATIM*
  • Gepeng Yang Diamankan Satpol PPWH Banda Aceh Pakai Sabu Sebelum Beraksi
  • Home 1
    • Air Mata Mata Air
  • Home 2
  • Home 3
  • Home 4
  • Home 5
  • Memilih Pendidikan, Memilih Masa Depan
  • Redaksi
  • Telaga Sastra Cinta “Savitri J”
Thursday, March 30, 2023
No Result
View All Result
No Result
View All Result
No Result
View All Result
Home Aceh Selatan

SEANDAINYA AKU TAK MENJADI GURU

admin by admin
July 9, 2022
in Aceh Selatan, Artikel, Biografi, Edukasi, Pendidikan
0
SEANDAINYA AKU TAK MENJADI GURU
0
SHARES
1
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Bagian 4

Bussairi D. Nyak Diwa 

Ada kesan tersendiri saat kami -anak-anak kampung pedalaman- menjadi siswa satu-satunya SMP di ibukota kecamatan itu. Kami sering dibully oleh teman-teman yang berdomisili di kota. Mereka sering mengejek kami dengan kata-kata yang menyinggung perasaan, bahkan menyakitkan. Misalnya mereka sering mengatakan kami dengan sebutan ‘awak tunong’ alias ‘orang udik’. Atau kadang-kadang mereka menyebut kami dengan sebutan ‘anak pinggiran’. Tapi bagi kami itu semua tidak menjadi hambatan untuk tetap sabar dan rajin ke sekolah. Namun ada juga di antara kami yang merasa tak tahan diejek terus menerus, lalu melawan dengan kepalan tinju atau pukulan tangan. Hal ini sering terjadi di saat pulang sekolah. Salah seorang di antara kami menunggu anak yang sering mengejek itu di jalan dan menghadangnya dengan cara satu lawan satu. Dan setelah kejadian ini anak-anak ‘kota’ menjadi segan dan tak berani lagi membully kami. Mereka akhirnya segan dan takut juga karena sebagian dari kami berbadan kekar dan kuat-kuat.  

Setiap pagi, sebelum pelajaran dimulai, kami selalu melaksanakan senam pagi, kurang lebih selama 15 menit. Biasanya senam pagi dimulai pukul 07.40. Usai senam pagi kami berbenah dan bersiap-siap masuk kelas untuk memulai pelajaran.

Meskipun kami harus bangun pagi-pagi sekali untuk berangkat ke sekolah, kami jarang sekali datang terlambat ke sekolah. Kami selalu masuk bersamaan ke halaman sekolah untuk melaksanakan kewajiban senam pagi. Kenapa demikian? Karena kami berangkat ke sekolah selalu bersama-sama, kecuali jika ada yang berhalangan atau sakit. Jika ada yang berhalangan atau sakit, kami akan mengabarkannya kepada guru secara lisan,tanpa harus ada surat dari yang bersangkutan.

Di samping kompleks SMP yang dikelilingi kawat berduri, di sebelah timur, ada sebuah gubuk yang didirikan di bawah pohon-pohon kelapa. Gubuknya tidak terlalu besar, tapi cukup untuk tempat kami beristirahat dan ganti pakaian. Gubuk itu milik seorang petani warga kampung kami. Di sanalah setiap hari kami berbenah, baik saat kami sampai maupun saat kami pulang sekolah. Biasanya di situ kami bertukar pakaian, dari pakiaan biasa ke pakaian seragam atau sebaliknya, dari pakaian seragam ke pakaian biasa.

Kami mempunyai guru-guru muda yang energik. Rata-rata mereka memang masih sangat muda dan beberapa tahun menyelesaikan D-1 (Diploma Satu), istilah waktu itu. Ada Pak Maisarah (Guru Olahraga), Pak Nasir (Guru Bahasa Indonesia), Pak Dewansyah (Guru Bahasa Inggris), Pak Tumberi (Guru Matematika), Pak Bakhtiar (Guru IPS), Pak Jamaluddin (Guru Bahasa Inggris), Bu Darsiah Darun (Guru Biologi), Bu Ratna Juita (Guru Fisika), Pak Fauzi (Guru Bahasa Inggris), dan lain-lain yang sebagian aku lupa namanya. Semua guru kami itu memiliki keistimewaannya masing-masing. Misalnya Pak Bakhtiar, seingatku setiap Beliau masuk mengajar selalu diawali dengan mendikte isi buku hingga berbab-bab banyaknya. Jarang sekali Beliau menjelaskan. Meskipun demikian kami tidak pernah protes. Apa yang diberikan guru seolah-olah butiran-butiran mutiara yang sangat berharga bagi kami. Salah satu yang sangat kurasakan manfaatnya hasil dari ‘dikte’ Pak Bakhtiar asal kota dingin Takengon itu adalah; pengakuan dari anak-anakku bahwa aku memiliki tulisan tangan yang ‘cantik’ hingga saat ini.

Banyak hal lucu, unik, menarik, menyedihkan, dan bahkan mendebarkan yang kami alami saat-saat kami berinteraksi di ruang-ruang kelas dengan guru-guru kami saat itu. Salah satu di antaranya adalah ‘kisah surat cinta’ yang kedapatan dalam tas siswa oleh Pak Jamal, guru Bahasa Inggris asal Meulaboh yang tampan, energik, dan romantis itu.

(Bersambung)

Related

Previous Post

OH…BETAPA MAHALNYA PENGORBANANMU

Next Post

NAFAR TSANI

admin

admin

Next Post
NAFAR TSANI

NAFAR TSANI

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recommended

I am Dreaming  to Make  A Book

I am Dreaming to Make A Book

8 hours ago
HABIBIE, TEKNOLOGI DAN CINTA SEJATI, Kenangan Yang Tak Terlupa

HABIBIE, TEKNOLOGI DAN CINTA SEJATI, Kenangan Yang Tak Terlupa

12 hours ago

Trending

Jangan Samakan FGD dengan Seminar

11 months ago
Mengulik Melemahnya Gerakan Sipil dan “Student Movement”

Mengulik Melemahnya Gerakan Sipil dan “Student Movement”

4 days ago

Popular

Belajar Bersepeda pada Belanda dalam Mengatasi Polusi dan Kematian Lalu Lintas pada Remaja.

Belajar Bersepeda pada Belanda dalam Mengatasi Polusi dan Kematian Lalu Lintas pada Remaja.

1 month ago
MAKNA SEPEDA DALAM KEHIDUPAN

MAKNA SEPEDA DALAM KEHIDUPAN

1 month ago

5 Sepeda untuk Program 1000 Sepeda

6 years ago

Jangan Samakan FGD dengan Seminar

11 months ago
Menumbuhkan Budaya Literasi Sejak Dini

Menumbuhkan Budaya Literasi Sejak Dini

2 weeks ago

Spam Blocked

12,659 spam blocked by Akismet

Follow Us

  • Redaksi
  • Feed

Copyright © 2022, potretonline.com

No Result
View All Result
  • Home
  • Potret Utama
  • Sorotan
  • Bingkai
  • Bingkai Sekolah
  • Frame
  • Tips Kita
  • News
  • Sehati
  • English Article
  • Wisata
  • Blitz
  • Sastra
  • Sketsa
  • Peace Corner
  • Kronis
  • Lensa

Copyright © 2022, potretonline.com

Go to mobile version