Bagian 4
Bussairi D. Nyak Diwa
Ada kesan tersendiri saat kami -anak-anak kampung pedalaman- menjadi siswa satu-satunya SMP di ibukota kecamatan itu. Kami sering dibully oleh teman-teman yang berdomisili di kota. Mereka sering mengejek kami dengan kata-kata yang menyinggung perasaan, bahkan menyakitkan. Misalnya mereka sering mengatakan kami dengan sebutan ‘awak tunong’ alias ‘orang udik’. Atau kadang-kadang mereka menyebut kami dengan sebutan ‘anak pinggiran’. Tapi bagi kami itu semua tidak menjadi hambatan untuk tetap sabar dan rajin ke sekolah. Namun ada juga di antara kami yang merasa tak tahan diejek terus menerus, lalu melawan dengan kepalan tinju atau pukulan tangan. Hal ini sering terjadi di saat pulang sekolah. Salah seorang di antara kami menunggu anak yang sering mengejek itu di jalan dan menghadangnya dengan cara satu lawan satu. Dan setelah kejadian ini anak-anak ‘kota’ menjadi segan dan tak berani lagi membully kami. Mereka akhirnya segan dan takut juga karena sebagian dari kami berbadan kekar dan kuat-kuat.
Setiap pagi, sebelum pelajaran dimulai, kami selalu melaksanakan senam pagi, kurang lebih selama 15 menit. Biasanya senam pagi dimulai pukul 07.40. Usai senam pagi kami berbenah dan bersiap-siap masuk kelas untuk memulai pelajaran.
Meskipun kami harus bangun pagi-pagi sekali untuk berangkat ke sekolah, kami jarang sekali datang terlambat ke sekolah. Kami selalu masuk bersamaan ke halaman sekolah untuk melaksanakan kewajiban senam pagi. Kenapa demikian? Karena kami berangkat ke sekolah selalu bersama-sama, kecuali jika ada yang berhalangan atau sakit. Jika ada yang berhalangan atau sakit, kami akan mengabarkannya kepada guru secara lisan,tanpa harus ada surat dari yang bersangkutan.
Di samping kompleks SMP yang dikelilingi kawat berduri, di sebelah timur, ada sebuah gubuk yang didirikan di bawah pohon-pohon kelapa. Gubuknya tidak terlalu besar, tapi cukup untuk tempat kami beristirahat dan ganti pakaian. Gubuk itu milik seorang petani warga kampung kami. Di sanalah setiap hari kami berbenah, baik saat kami sampai maupun saat kami pulang sekolah. Biasanya di situ kami bertukar pakaian, dari pakiaan biasa ke pakaian seragam atau sebaliknya, dari pakaian seragam ke pakaian biasa.
Kami mempunyai guru-guru muda yang energik. Rata-rata mereka memang masih sangat muda dan beberapa tahun menyelesaikan D-1 (Diploma Satu), istilah waktu itu. Ada Pak Maisarah (Guru Olahraga), Pak Nasir (Guru Bahasa Indonesia), Pak Dewansyah (Guru Bahasa Inggris), Pak Tumberi (Guru Matematika), Pak Bakhtiar (Guru IPS), Pak Jamaluddin (Guru Bahasa Inggris), Bu Darsiah Darun (Guru Biologi), Bu Ratna Juita (Guru Fisika), Pak Fauzi (Guru Bahasa Inggris), dan lain-lain yang sebagian aku lupa namanya. Semua guru kami itu memiliki keistimewaannya masing-masing. Misalnya Pak Bakhtiar, seingatku setiap Beliau masuk mengajar selalu diawali dengan mendikte isi buku hingga berbab-bab banyaknya. Jarang sekali Beliau menjelaskan. Meskipun demikian kami tidak pernah protes. Apa yang diberikan guru seolah-olah butiran-butiran mutiara yang sangat berharga bagi kami. Salah satu yang sangat kurasakan manfaatnya hasil dari ‘dikte’ Pak Bakhtiar asal kota dingin Takengon itu adalah; pengakuan dari anak-anakku bahwa aku memiliki tulisan tangan yang ‘cantik’ hingga saat ini.
Banyak hal lucu, unik, menarik, menyedihkan, dan bahkan mendebarkan yang kami alami saat-saat kami berinteraksi di ruang-ruang kelas dengan guru-guru kami saat itu. Salah satu di antaranya adalah ‘kisah surat cinta’ yang kedapatan dalam tas siswa oleh Pak Jamal, guru Bahasa Inggris asal Meulaboh yang tampan, energik, dan romantis itu.
(Bersambung)