Bagian 3
Bussairi D. Nyak Diwa
Tahun pertama aku menjadi siswa SMP adalah tahun tersulit dalam hidupku. Bayangkan, sekolah yang terletak di ibukota kecamatan itu jauhnya kurang lebih 12 kilometer dari kampung tempat kelahiranku. Waktu itu jalan-jalan masih sangat jelek, karena jangankan beraspal, aspal pun belum dikenal. Jika musim hujan jalan-jalan becek seperti berjalan di dalam lumpur. Sedangkan apabila di musim kemarau, maka tanah-tanah mengeras dan jalan-jalan bergelombang serta berlubang-lubang. Jika menaiki sepeda sama-sama susah, baik di musim hujan maupun di musim kemarau.
Memang, untuk memudahkan aku ke sekolah, ayah membelikan aku sebuah sepeda. Sepeda perempuan, sebut teman-temanku. Dikatakan sepeda perempuan karena sepeda seperti itu sering digunakan oleh kaum perempuan. Teman-temanku memberinya gelar ‘sepeda unta’. Tapi dengan keadaan jalan seperti itu, sepeda itu seperti tidak berfungsi.
Agar jangan terlambat sampai di sekolah aku harus bangun pagi-pagi sekali untuk berangkat ke sekolah. Biasanya setiap malam sebelum tidur, ibu menyiapkan nasi untuk sarapan pagi sebelum aku berangkat. Jadi setiap pagi perutku diganjal oleh nasi dingin sebelum berangkat menembus pagi yang dingin. Sebagai kawan nasi, ibu cukup merebus telur ayam kampung sebutir setiap pagi.
Ada keasyikan tersendiri ketika kami bergerombol menembus pagi berangkat ke sekolah. Di pagi yang masih remang-remang, aku dan teman-teman berangkat bersama-sama. Demikian juga sorenya ketika sekolah bubar, kami pulang juga bersama-sama. Jika ada teman yang tertinggal atau ketelatan, kami pasti menuggunya hingga bersama-sama memasuki pintu gerbang sekolah atau bersama-sama pulang meninggalkan pekarangan sekolah hingga sampai di rumah masing-masing. Kecuali jika ada di antara kami yang berhalangan atau dalam keadaan sakit.
Dari kampungku ke sekolah ada dua sungai yang harus kami seberangi dengan rakit bambu karena belum ada jembatan. Jika rakitnya di seberang, maka di pagi yang dingin itu di antara kami siap berjibaku berenang ke seberang sungai untuk mengambil rakit agar semua teman-teman dapat menyeberang dengan selamat. Tidak pernah kami berdebat, siapa yang akan terjun ke sungai berenang menyeberang mengambil rakit. Yang pasti, khususnya bagi kami anak laki-laki adalah merupakan kebanggaan jika dapat mengambil rakit dan menyebarangkan teman-teman. Begitu tingginya rasa sosial dan kesetiakawanan kami di masa itu.
Teman-teman yang perempuan selalu penuh perhatian. Mereka sering mentraktir kami di jalan pulang dengan sepotong ‘tebu betung’ yang manis seperti gula atau dengan sebuah ‘pisang brat’ yang besarnya sebesar lengan orang dewasa. Anak-anak perempuan tahu bahwa kami anak laki-laki senantiasa melindungi mereka. Itulah sebabnya mereka, anak-anak perempuan itu dengan sukarela berbagi dengan sedikit rezeki yang mereka punya. Mereka sering menyisihkan sedikit jajan mereka untuk kami anak laki-laki, terutama bagi kami yang terkadang tidak memiliki uang jajan. Tidak hanya berbagi uang jajan, para cewek-cewek itu juga sering berbagi jawaban ‘pe-er’ terutama diantara kami yang satu kelas. Mereka tahu bahwa di antara kami ada yang malas atau tidak sempat mengerjakan ‘pe-er’ karena sibuk membantu orang tua di sawah atau di kebun. Atau kelupaan mengerjakannya karena hal-hal lain. Begitulah keseharian kami kala itu dalam berjuang untuk meraih cita-cita.
(bersambung)