Oleh Delia Rawanita
Hembusan angin menebarkan harum bunga flamboyan. Gugur putik bunga menguning di hamparan . Kunikmati pemandangan indah ini sebagai pelepas lelah, karena beberapa pekerjaan selesai kulaksanakan sekaligus . Beberapa hari ini ibuku kurang sehat, makanya tugas beliau kuambil alih sebisaku agar semuanya tertanggulangi seperti biasa. Semenjak ayah meninggal, kami tinggal bertiga, aku adikku dan ibu. Karena ingin melihat kami anak anaknya mendapat pendidikan yang lebih baik , akhirnya ibu menerima tawaran saudaranya untuk hijrah ke kota bekerja sebagai pesuruh sekolah. Kami diberikan tempat tinggal sederhana di bagian belakang sekolah .
Tugas ibu membuat teh dan kopi untuk dewan guru, sedang aku dan adikku ikut membantu membersihkan halaman sekolah. Ibu juga berharap kami bisa mengatur waktu dan tetap belajar giat agar berprestasi . Aku juga bersekolah di sini tanpa dipungut biaya, untuk itu harus berkelakuan baik terhadap semua orang. Begitu pesan ibu kepada kami berdua.
Biasanya setelah salat subuh aku dan adikku yang duduk di bangku SMP mulai menyapu halaman sekolah, membuka pintu ruang kelas , menaikkan bendera dan pada sore harinya bendera diturunkan kembali. Pekerjaan itu kami lakukan sebagai tanggung jawab kami dan tanda terimakasih, sedang adikku yang masih di bangku SMP bersekolah tidak jauh dari tempat tinggal kami dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki .
Sebagai anak pindahan dari desa , aku belajar keras untuk menyesuaikan diri. Syukurlah , predikat siswa terbaik di desaku dulu dapat kupertahankan, apalagi di sekolah ini berbagai fasilitas seperti laboratorium, perpustakaan dengan berbagai buku tersedia. Para siswa boleh membawa pulang buku referensi untuk semua mata pelajaran atau dipinjamkan pihak sekolah ke semua siswa dan dikembalikan menjelang naik ke kelas berikutnya
Pagi ini siswa bergembira, karena setelah jam istirahat diadakan gotong royong di kelas masing masing . Hal ini karena bahagian luar kelas dan halaman sudah bersih. Maklumlah aku dan adikku membersihkannya secara rutin . Kepala sekolah senang dengan hasil kerja kami karena semua guru memuji kebersihan sekolah selama kami tinggal disini.
Dari jauh kulihat ibu sedikit kewalahan mengangkat gelas minuman untuk guru. Mungkin karena tubuhnya baru sembuh dari sakit. Dengan segera aku menawarkan diri membantu, apalagi ada waktu luang . Tiba tiba beberapa perempuan masuk tergesa gesa. Tanpa diduga salah seorang dari mereka menyenggol tanganku. Gelas berisi air teh tumpah dan berserakan kemana mana, tapi untunglah gelas tidak ada yang pecah.
“ Maaf, tak sengaja , akan saya bersihkan “ sahutnya sambil berlari mencari kain pel. Tak lama kemudian tangannya yang putih bersih dengan lincah membersihkan sisa air tanpa ada rasa sungkan sedikitpun. Aku masih terkesima dengan prilaku yang luar biasanya
“ Kamu anak baru yang namanya Rian ya ?, idola baru di sekolah ini ’ . sapanya dengan ramah. Belum sempat aku menjawab dia sudah menyodorkan tangan
“ Kenalkan namaku Larasati “ lanjutnya sangat bersahabat. Sejenak aku ragu menyalaminya , takut ini cuma bahan candaan anak kota. Tapi setelah kulihat senyumnya tulus dan bersahabat akhirnya aku ikut juga menjabat tangannya.
“ Rian, Umur 18 tahun kelas XII IPA 2 sang idola. “ kataku bercanda. Kulihat dia tertawa , gingsul yang terselip di antara giginya kelihatan dengan jelas. Duh , cantiknya perempuan yang satu ini , kulit putih semampai, ada lesung pipi lagi. Sungguh Luar biasa ciptaan Allah.
Begitulah awal pertemuan kami , Larasati sang juara dengan segudang prestasi itu menjadi sahabatku. Sering kami belajar bersama sepulang sekolah, walaupun kelas kami berbeda. Namun karena materi pelajaran diajarkan oleh guru yang sama, otomatis kami saling melengkapi kekurangan jika ada kesulitan.
Larasati anak tunggal dari keluarga yang berada. Ayah dan Ibunya mempunyai jabatan di tempat mereka bekerja, sehingga untuk mengatasi rasa kekosongannya Lara menyibukkan diri dengan kegiatan yang bermanfaat. Selain cantik dan pinter , larasati juga mempunyai akhlak mulia. Guru dan warga sekolah semua mengenalnya dengan baik. Sungguh menyenangkan bila dekat dengannya, bersahabat dengan semua orang tanpa memandang status ekonomi . Luar biasa lagi, kadang dia juga ikut membantu ibuku membantu mencuci gelas sisa minuman .
“ Duh, nak Lara nggak usahlah. Nanti tangannya rusak” kata ibuku dengan perasaan tidak enak dihadapan temannya
“ Nggak apa mak, latihan “ jawabnya enteng.
“ Latihan Jadi mantu” teriak kawan sekelasnya Rita. Aku tersenyum mendengar celotehan mereka, walaupun dalam hati ikut juga berharap , tapi ah ibarat pungguk merindukan bulan. Cepat kuhapus naluri kelakianku, aku tak ingin menghayal yang bukan bukan .
Tidak lama lagi ujian kelulusan sekolah. Aku berusaha keras untuk diterima di fakultas Kedokteran di salah satu perguruan tinggi negeri di kota ini. Terkadang begitu seriusnya belajar sampai aku terlambat tidur.
“ Rian, segera ke kantor Kepala Sekolah, beliau menunggu” perintah wali kelas. Dengan pikiran penuh tanda tanya aku menuju ke ruang kantor kepala Sekolah. Kulihat Larasati di sana. Perasaanku berkecamuk. Aku merasa selama ini kami tidak pernah melakukan kesalahan, apalagi perbuatan yang melanggar susila .
“ Kemari lah Rian, duduk di sini “ kata bapak Kepala Sekolah menunjuk kursi kosong di sebelah Larasati . Sejenak kami bertatapan, namun hanya batin yang bicara . Semoga tidak terjadi fitnah di antara kami berdua, aku membatin.
“ Hari ini bapak panggil kalian karena ada kabar gembira. Hasil rapat dewan guru, kalian berdua terpilih sebagai penerima beasiswa untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. . Nah, nanti sepulang dari sekolah , silahkan berdiskusi dengan orang tua . Jika sudah ada pilihan yang cocok untuk melanjutkan kuliah, tolong isi formulirnya dan jangan lupa di tanda tangani tanda setuju “ . Di formulir itu juga ada banyak Fakultas pilihan di seluruh Indonesia. Ujar bapak kepala sekolah panjang lebar.
“ Alhamdulillah , Terima kasih banyak pak ‘ tak mampu kubendung perasaan haru, seketika air mataku jatuh . Aku ingat orang tuaku, ingat ayah yang telah tiada, semoga ini awal untuk dapat membahagiakan mereka kelak. Kucium tangan para guru yang telah memberikan ilmu dan perhatiannya kepadaku khususnya “Saya juga mengucapkan rasa terima kasih kepada bapak dan guru di sini “. Ujar Lara ikut menyalami beliau sambil meneteskan air bahagia.
Hari itu merupakan hari bahagia kami. Berdua sepakat tidak masuk ke kelas, melainkan duduk di tempat kami sering bertemu untuk berdiskusi tentang pelajaran atau masalah lainnya. Di sini di bawah pohon Flamboyan di sudut sekolah.
“ Aku pilih fakultas kedokteran kota ini saja. Jadi bisa tetap membantu ibu dan menjaga adikku agar tetap sekolah. “
“ Kalau aku ingin kuliah di luar. Pilihan pertamaku fakultas Kedokteran, tapi aku memilih di luar seperti saran ayah “. Sedang pilihan kedua di fakultas yang sama, tapi di sini, biar tetap dekat denganmu” kata Lara siang itu.
“ Bagaimana jika diterima di fakultas di kota lain? Kamu bisa lupa pada aku “.
“ Tenang, Lara pasti nggak ke mana mana ”.
Aku tak tahu itu apakah sebuah isyarat , yang pasti perkataannya sebuah pengharapan buatku, namun dia juga tidak mau menolak harapan Ayahnya .
Semoga Persahabatan kami akan abadi dan suatu hari cinta yang terpendam di hati ini akan menemukan jalannya. …
Ujian kelulusan sekolah telah selesai . Untuk merayakannya pihak sekolah mengadakan acara perpisahan di tepi pantai bersama seluruh dewan guru.
“ Bu, besok sekolah akan mengadakan acara perpisahan, Rian boleh ikut kan bu” Akomodasi sudah ditanggung dengan menggunakan dana kelas ” Lara menyampaikan izin pada ibuku, karena takut aku tak serius apalagi pengumuman kelulusan masih agak lama.
Aku penasaran dan tak sabar mendengar berita gembira.
“ Ada guru yang mendampingi “ selidik ibu khawatir.
“ Ada bu, wali kelas guru juga bapak kepala sekolah. Kami naek Bus, aman !! jawabku meyakinkan perasaan was was seorang ibu. Keesokan harinya sebelum berangkat kepala sekolah memberi beberapa wejangan kepada kami agar tertib di perjalanan dan menjaga keselamatan diri. Setelah itu barulah mobil kami secara bersama bergerak menuju satu tujuan.
Langit membiru seakan menyatu dengan air laut , begitu indah hari itu. Terlihat panitia OSIS sibuk mendirikan tenda untuk istirahat, sementara yang lainnya ikut membantu dan sebahagian menurunkan barang bawaan. Setelah tenda berdiri rapi, kegiatan berhenti sejenak karena semua berkumpul untuk makan dan sholat bersama.
Debur laut begitu mempesona. Cauca yang tak begitu panas disertai semilir angin sangat menggoda untuk ikut menikmati airnya.
“ Rian, ikut mandi laut yuk ‘ ajak Lara
“ Jangan Lara, kamu kan tidak pintar berenang, Ombaknya mulai tinggi tuh . Cegahku.
“ Di pinggir pinggir aja kok. Lagian kan yang lain juga ikut mandi ” Kulihat para siswa mulai turun ke laut. Derai sorakan mereka tedengar gembira. Aku tak kuasa mencegah keinginan Lara untuk ikut mandi.
“ Tunggu sebentar ya, aku ambil jacket pelampung “ kataku tergesa menuju ke tempat penjual jacket pelampung dan ban untuk mengantisipasi keadaan bagi yang tidak bisa berenang.
“ Bayar di sini , bang “ tegur penjaganya. Kusodorkan selembar uang lima puluh ribuan . Kulihat penjaga mengerutkan keningnya mencari uang kembalian
“ Bentar ya enggak ada uang kecil , ditukar dulu “. Aku gelisah menunggu uang kembalian. Pandanganku kuarah ke tempat Lara sangat bergembira bersama kawan perempuan sekelasnya , terdengar canda dan tawa bahagia. Namun tanpa menyadari bahaya mereka tergiring mandi ke daerah agak dalam, aku mulai cemas. Dari jauh kulihat gelombang besar datang dari arah belakang. Derunya memecah telinga. Aku tak menunggu lagi uang kembali. Kuraih pelampung langsung berlari kencang ke arah laut tempat di mana Lara bersama kawannya .
“ Laraa.. awas di belakang , ada ombak besar. Segera Naik”.!! teriakku sekuat tenaga . Tanpa pikir panjang aku melompat ke arah laut. Ya, Allah. . Kulihat Lara digulung gelombang , tubuhnya timbul tenggelam . Kukayuh tanganku sekuat tenaga. Aku tak perduli suara orang melarangku karena bahaya pasang . Tekadku bulat untuk menolong Lara di sana. Kulemparkan ban pelampung ke arah Lara yang terus hanyut ke tengah terbawa arus.
“Lara, ambil pegang pelampung , teriakku”. Kulihat wajah Lara yang kelelahan dan mulai lemas, sehingga tak mampu meraih pelampung yang kulempar ke arahnya. Melihat kondisinya makin melemah semangatku kembali muncul. Aku berenang sekuat tenaga untuk dapat meraihnya dan berusaha menarik ke arah punggungku. Syukurlah, kurasakan tubuh Lara menempel di tubuhku , sepertinya dia kehabisan tenaga. Aku tak bisa mengayuh secepat tadi karena beban di punggungku semakin berat juga tenagaku yang terkuras begitu banyak.
“ Aku tak kuat lagi, Rian. Maafkan aku “ suara Lara lirih
“ Lara, sabarlah . Pegang aku kuat kuat , teriakku sesaat kurasakan pegangan di pundakku semakin melemah .
“ Rian, aku mencintaimu . Sangat mencintaimu. Lamat lamat kudengar suara Lara. Tiba tiba ombak besar datang lagi, menggulung kami berdua. Sekuat tenaga kutahan tubuh Lara agar kami tidak terguling, namun hempasan gelombang begitu ganas. Kami terguling , tubuhnya terlepas , kami terpisah
“Laraa.. lara” kulihat terakhir kali dia melambaikan tangannya, jari telunjuknya diarahkan ke atas sebagai tanda “ berserah diri pada sang khalik , pemilik alam semesta “. Ya Tuhan.. Tubuhnya terseret semakin jauh ketengah laut.
“ Lara..Lara jangan pergi “
Kemudian aku tak ingat apa apa lagi. Kiranya aku tersadar setelah beberapa lama pingsan . Kata mereka hampir 32 jam aku tak sadarkan diri setelah berhasil diselamatkan oleh Tim SAR. Kukitari pandangan ke seluruh ruang , ternyata aku selama ini dirawat di rumah sakit. Kulihat ibu dan adikku menangis, lalu
“ Syukurlah kamu sudah sadar , nak” . Tak lama kemudian seorang perempuan datang mendekat dan mengelus kepalaku . Dengan kasih sayang dia berkata :
“ Kenalkan , saya ibu Lara, almarhumah sering bercerita tentangmu. “ ku tersentak seakan percaya ketika kata kata itu di ucapkan dengan jelas ketelingaku.
“ Almarhumah , Di mana Lara, apakah Laraa.. meninggal “ Seketika dadaku sesak aku tak siap kehilangan Lara . Kututup wajahku dengan tangan , kutahan tangisku agar tidak pecah.
“ Kami sekeluarga sudah ikhlas , terima kasih telah menjadi teman terbaik anak Bunda selama ini ” . Biarlah kita titip Lara pada sang Pencipta, Rian “ Aku menggangguk lemah tak berdaya. Ah, Lara . Betapa aku kehilanganmu. Aku larut dalam kenangan , terngiang kata terakhirnya bahwa selama ini dia mencintaiku. Ternyata selama ini persahabatan kami saling memendam rindu . Perasaan kasih sayang antara laki laki dan perempuan , yang tersimpan di lubuk hati paling dalam…
Senja ini kususuri pantai sendiri . Membayangkan jika kau hadir di sini merangkai cerita. Debur ombak terdengar perlahan. Kutatap laut dengan perasaan sunyi . Bianglala turun langit, memerah . Gigil rinduku kian membuncah…
. “ Lara, aku juga mencintaimu ”
Kutaraja . Mei 2022