Oleh Ahmad Rizali
Berdomisili, di Depok
Banjir, juga disebut filantropi ?
Saya punya kawan senior yang jika bareng jalan kaki dengannya merasa “kemaluan” karena, di kantungnya selalu ada uang untuk memberi siapapun yang dia rasa perlu diberi tanpa yang diberi harus menadahkan tangan. Saat melihat seorang renta berjualan minyak tanah, diajaknya salaman dan diselipkannya beberapa lembar puluhan ribu. Saat tukang minyak itu sadar, kawanku sudah menghilang dari depannya.
Kawan saya itu filantropis dan ratusan ribu bahkan jutaan di Indonesia selalu terketuk hatinya dan menyumbang ketika iklan filantropi di medsos menyergapnya. Apalagi, ketika baliho besar yang seringkali hanya tokoh besar yang bisa nampang di sana, ternyata berisi iklan ajakan kepada filantropis dengan narasi yang amengadul aduk hati welas asih mereka. Jemari bermain dan bles… sejumlah uang masuk rekening pengelola iklan itu.
Saya tercengang, ternyata organisasi filantropis itu mampu menghimpun dana dermawan sampai 500 milyar lebih. 3 organisasi filantropis selain Badan Amil Zakat resmi seperti LazizMU atau LazizNU atau Baznas dan lain-lain, mampu mengumpulkan dana yang bebas digunakan tanpa harus mengembalikan seperti Bank hampir 1 Triliun Rupiah, luar biasa.
Berita terbaru yang dikuak majalah Tempo, bahkan mengindikasikan, bahwa kemiskinan dan kesengsaraan itu bisa menjadi komoditi yang layak “jual”. Dengan mengiklankan kesengsaraan sepasang suami istri yang kesamber truk dan kaki patah, mampu mengumpulkan uang ratusan juta. Penjual kesengsaraan yang mengaku tingkat dunia itu sukses pula memperoleh “fee”.
Karena ini komoditi bahkan kelas dunia, seperti “mengimpor” kesengsaraan rakyat di Palestina, maka filantropis Indonesia berduyun duyun “membeli” barang eks impor yang bahkan ada “cashback” kunci surga itu. Komoditi jelas ada ongkos pengelolaan, termasuk fasilitas pengelolanya. Karena kelas dunia, maka ongkos pengelolanya dlm bentuk gaji juga kelas dunia.
Kawan saya yang sudah wafat pernah “nggrundel” dengan menggunjing seniornya yang semakin tajir dan dia sendiri tak juga mengikuti jejak seniornya. “Lihat, Nang…. dia dari dulu jualan kemiskinan dan kemiskinan tak juga enyah dari komunitas yang dia carikan bantuan. Dia malah yang semakin kaya”. Kadangkala dia berang, karena sebuah Bank tingkat dunia sedang siapkan “loan” untuk rakyat miskin dan SOP nya wajib diselenggarakan di hotel bintang lima berlian.
Lantas, filantropinya mana dari cerita ini ? Ya judul dan definisi saja. Karena seringkali orang tafran (kaipang) itu selalu mencurigai niat baik orang tajir (goanswe dan taikam), bahkan dulu ada sindiran “Ford itu memberi bantuan kepada rakyat miskin Indonesia melalui ford foundation agar si miskin menjadi kaya dan membeli mobil merek Ford”. Kok nggak nyambung ?