Oleh Ahmad Rizali
Seorang putri taipan yang ikut mengelola organisasi filantropi bapaknya. Menurut seorang kepercayaannya tidak percaya kepada pekerja yang “membeli” idealisme dan mau dibayar lebih rendah.
Saya tak faham, apakah dia pernah membaca sebuah studi, bahwa jika ingin menyewa seorang eksekutif untuk sebuah organisasi filantropi alias nirlaba, bayarlah mereka sedikit di bawah kelasnya ketika mereka memegang tugas yang sama di organisasi bisnis (laba). Mengapa ?
Karena si eksekutif itu sedang “membeli” atau “mengorbankan” selisih gajinya untuk berfilantropi. Artinya, dia membeli idealisme yang ditawarkan oleh majikannya. Namun, seperti yang saya singgung di atas, putri taipan itu tidak percaya hal ini dan dia gaji eksekutifnya “full”.
Apakah organisasi filantropi yang sedang viral karena diungkap majalah Tempo itu dibisiki oleh putri sang taipan? Saya tidak faham. Karena ternyata gaji dan fasilitas yang diberikan kepada eksekutif organisasi itu melebihi eksekutif sang putri taipan.
Namun, saya salut juga. Gegara kebijakan sang putri taipan dan sekarang oleh eksekutif organisasi yang diungkap Tempo, mengaku sebagai eksekutif sebuah Foundation itu mulai menjadi sebuah kebanggan para eksekutif generasi sekarang. Namun, jangan sebut eksekutif Yayasan. Lho mengapa ?
Karena jika menyebut Foundation, maka yang terbayang adalah kinclong, blinking, glamourous, di kepalanya muncul Qatar Foundation, Bill Melinda Gates Foundation, Sampoerna Foundation, Pertamina Foundation. Saat menyebut Yayasan, yang muncul adalah amplop lusuh berisi permintaan sumbangan, kucel, bau tengik dan “gak mbois blas”.
Mereka lupa pada suatu masa ada Yayasan bernama Amal Bhakti Muslim Pancasila, Supersemar, DAKAP yang saya sebut sebut Foundation tadi “nggak ade ape apenye ketajirannye”.
Jadi, “baju” itu seringkali dipakai acuan pula untuk menumbuhkan kepercayaan. Baju yang kinclong dengan “map lusuh” diganti dengan “Project Proposal” mentereng plus stempel Laporan Keuangan “Diaudit KAP” kondang, maka dana sumbangan yang mengalir tak lagi berbunyi “cring….cring”, namun senyap.
Pertanyaannya, akhirnya, apakah boleh membayar eksekutif organisasi nirlaba sebesar bahkan lebih besar dari organisasi laba ? Boleh saja. Duit-diitmu kok. Lha kalau memungut dana masyarakat penyumbang ? Boleh juga, kan ada aturannya ?
Jadi, boleh dong semua penerimaan dipotong ongkos 12,5 % ? Boleh juga, kan aturan membolehkan. Jika menerima 500 Milyar/Tahun, ada 60 Milyar lho ?….. sik sik… jadi sedikitnya 5 Milyar/bulan ongkosnya ? Pantes nggak terasa ketika mbayari bos besar 250 juta/Bulan dan bos terkecil 50 jutaan. 5 Milyar yo masih “susuk” akeh.
Jangan nylimur dong, boleh kah ? Yang pasti,jika saya menjadi salah satu eksekutif di sana, paling rendah saja, saya akan menjawab “boleh dong…. kan saya kerja keras dan halal dan membantu kemanusiaan, mosok nggak dibayar cukup…. dan seterusnya.
Lho, kan Nirlaba ? Nirlaba kan organisasinya, yang kerjakan sama, manusia juga, makannya sama, kepinginnya juga sama…. jadi boleh ?