Oleh Zulkifly Abdy
Dalam kehidupan yang serba gamang akan nilai-nilai, setiap upaya penempatan diri untuk menemukan posisi yang ideal menjadi dilematis. Manakala orang bicara tentang politik, sementara politik itu sendiri tanpa kita sadari sedang terbelah.
Sehingga ketika politik diperbincangkan, maka para pihak yang terlibat dalam percakapan cenderung terjebak dalam nuansa keterbelahan itu.
Demikian pula ketika seseorang bicara tentang agama, selalu saja ada sekat yang akhirnya membatasi. Setidaknya tentang rujukan sebagai dasar dalam menjalani keyakinan, hal mana bisa saja berpuncah dari referensi yang digunakan atau bahkan mazhab yang dijadikan sebagai pilihan.
Padahal dalam pemahaman universal, semuanya mengajarkan kita tentang kebenaran, kebajikan bahkan nilai-nilai transedental sebagai anutan dan tujuan hidup atau way of life. Tinggal lagi bagaimana setiap orang mengasah ketajaman nalurinya untuk dapat dengan cerdas dan arif menemukan sendiri tempat yang ideal bagi dirinya sebagai pijakan, tanpa kehilangan sentuhan dan kepekaan akan nilai-nilai kebenaran yang hakiki.
Melalui tulisan ini penulis hanya ingin mencairkan kekakuan kita akan prinsip-prinsip dasar ketika kita hendak meleburkan diri dalam kehidupan bermasyarakat yang agamis dan serba politis yang menggejala akhir-akhir ini, termasuk di dalamnya ketika kita hendak mengekspresikan kebenaran itu sendiri.
Di ranah politik, kita sehari-hari menyaksikan secara masif atraksi-atraksi yang terkadang justru menjauhkan kita dari nilai-nilai demokrasi yang sepatutnya menjadi rujukan dan landasan bertindak.
Tak jarang di dalam dinamika politik kita menyaksikan, manakala ada seseorang atau kelompok yang konsisten menggaungkan kebenaran atau setidaknya menyuarakan pesan-pesan moral, akan selalu menghadapi tantangan.
Ironinya penyampai kebenaran itu kian hari semakin sedikit, dan yang sedikit itupun kerap-kali dalam posisi yang terjepit.
Dalam kondisi seperti itu tidak mengherankan jika pesan-pesan kebenaran akan tenggelam ketika berhadapan dengan hiruk-pikuk orang-orang yang masih gamang untuk menerima kebenaran sebagai jalan hidup, termasuk jalan kehidupan berpolitik.
Hal mana lebih disebabkan karena masih adanya anggapan bahwa kebenaran akan menjadi penghalang untuk melanggengkan kepentingan-kepentingan jangka pendek.
Sehingga tak hayal pesan-pesan kebenaran yang hendak dihadirkan di ruang publik cenderung menjadi sia-sia.
Laksana meneteskan segenggam gula ke dalam air di cawan yang besar, tidak memberi efek sama sekali, selain hanya sekedar untuk menghambarkan belaka.
Tak dapat dipungkiri, akibatnya ketika kita menjalankan demokrasi, yang berdaulat justru kekuasaan dengan segala kepentingannya, bukannya rakyat sebagaimana yang kita pahami dan pelajari melalui “kitab-kitab” klasik tentang demokrasi.
Kita seakan-akan berpura-pura saja berdemokrasi, sesungguhnya muatan yang ada di dalamnya jauh dari harapan demokrasi itu sendiri, bahkan kian hari semakin jauh, dan jauh sekali.
Suatu ketika dalam obrolan ringan, seorang sahabat saya mengatakan; “seseorang kalau ada kepentingan bisa hilang cerdasnya”.
Saya jadi teringat kembali ungkapan spontan dari seorang sahabat itu, mungkin ada benarnya apa yang dia katakan.
Bahkan dalam kenyataannya kepentingan bukan hanya sekedar menggerus kecerdasan seseorang, bahkan lebih jauh lagi dapat mengaburkan rasionalitas dan cenderung membutakan hati akan nilai-nilai kebenaran.
Era reformasi cenderung telah membawa kita pada iklim demokrasi yang lebih bebas dan terbuka.
Namun ironinya waham politik yang kita miliki agaknya belum sanggup menerima perubahan-perubahan fundamental yang datang tiba-tiba.
Sehingga setelah lebih dari dua dasawarsa reformasi bergulir, tidak ada perubahan signifikan yang terjadi, kecuali hanya iklim yang lebih bebas dan terbuka itu, yang akhirnya justru membawa kita pada ketidak-teraturan dalam menjalankan demokrasi. Dan itulah agaknya yang sedang terjadi saat ini.
Inikah yang kita harapkan dari reformasi yang kita sambut dengan gegap-gempita itu, tentu tidak.
Bukankah gagasan tentang reformasi itu lahir dan terdorong oleh keinginan tokoh-tokoh yang memiliki concern untuk membebaskan bangsa ini dari kebuntuan-kebuntuan demokrasi dimasa lampau.
Hal mana dipandang sebagai salah-satu penghambat dari setiap ikhtiar dalam upaya kita untuk memajuan kehidupan berbangsa di dalam segala aspek.
Mungkin untuk sementara kita lupakan dulu semua itu, agaknya yang jauh lebih penting saat ini adalah bagaimana upaya kita untuk mengembalikan demokrasi kita kepada jalur yang benar.
Dan dengan demikian kita dapat menggantungkan secercah harapan bahwa bangsa ini benar-benar akan membawa kita rakyatnya pada terwujudnya cita-cita luhur, yaitu masyarakat yang adil, makmur, sejahtera dan bermartabat.
Jika kita benar-benar ingin maju, kita mesti berani dan ikhlas meninggalkan pola-pola lama yang telah terbukti tidak mampu membawa kita keluar dari dilema sebagai bangsa yang tertinggal.
Agaknya sekaranglah momen yang tepat untuk memastikan bahwa kita benar-benar telah berada pada jalan yang benar untuk memastikan pula kebangkitan dan kemajuan bangsa Indonesia yang memiliki sumberdaya yang sangat kaya ini.
Ini bukan hanya sekadar tentang bait-bait dari senandung lagu “it’s now or never”, tetapi kita mesti meniscayakan setiap momen-momen dari kehidupan berbangsa kita untuk berubah, atau kita akan tertinggal untuk selamanya.
Satu teka-teki yang mesti segera kita jawab adalah, mengapa bangsa yang kaya-raya ini tak jua menemukan momen untuk maju?, sementara kita memiliki segalanya untuk itu.
Wallahu a’lamu bisshawab.