Oleh Bussairi D. Nyak Diwa
Bagian 1
Dulu, puluhan tahun lalu, ketika aku baru menyelesaikan sekolah dasar di kampung halaman, aku diwanti-wanti oleh guruku.
“Bussairi, kamu harus melanjutkan sekolah. Apa pun halangan yang kau alami.”
Aku diam, tidak mengatakan ya, dan tidak juga mengatakan tidak. Aku hanya berpikir, untuk apa aku sekolah, kalau ayahku tidak mengizinkannya. Ayahku hanya mengingikan kami -anak-anaknya- untuk menjadi teungku yang kelak mempunyai ilmu agama yang mampuni.
Ternyata guruku itu paham kenapa aku tidak memberikan jawaban. Sang guru tahu betul karakter ayahku, orang yang memiliki sikap tegas dan sangat patuh terhadap ajaran agama. Beliau tak menginginkan anak-anaknya menjadi kerani negara (Pegawai Negeri) yang menurut Beliau nantinya akan diperbudak oleh dunia. Beliau sendiri sesungguhnya berhenti dari Wedana (istilah abdi negara setingkat camat kala itu), karena tidak mau hidupnya dikotori oleh hal-hal yang syubhat. Lalu kemudian Beliau bertani dan berdagang hingga sukses menjadi pedagang nilam saat itu.
Tapi sang guru tak putus asa. Pada suatu kesempatan bertemu ayahku, Beliau langsung menyampaikan keinginannya agar aku melanjutkan sekolah. Mungkin karena menghormati dan menghargai guruku yang berkedudukan sebagai kepala sekolah, akhirnya ayahku mengiyakan keinginan guruku itu.
Besoknya sang guru memanggilku dan mengatakan kepadaku, bahwa aku mesti sekolah karena ayahku juga merestuinya.
“Bussairi, kamu harus melanjutkan sekolah karena ayahmu mengizinkanmu untuk melanjutkan sekolah. Bapak sudah bicara dengan ayahmu.”
Aku merasa lega, namun hati kecilku masih keberatan karena aku tidak berani menyampaikan langsung kepada ayahku. Tapi beberapa hari kemudian ayah memanggilku. Tanpa banyak bicara Beliau hanya bertanya kepadaku.
“Bus, jawab pertanyaan ayah dengan jujur, kamu apa ingin sekolah atau mengaji?”
Entah karena takut dengan nada kata-kata ayah yang tinggi dan keras atau entah karena takut dimarahi, yang jelas aku diam saja. Tak berani menjawab sepatah kata pun.
Akhirnya ayah berkata, “Baiklah, ayah beri kesempatan kepadamu selama sebulan untuk berpikir sebelum memberi jawaban.”
Aku mengiyakan, tapi hanya dalam hati. Sementara aku mematung dan diam, tak mampu menggerakkan bibirku karena begitu segannya aku berkata-kata dengan ayahku. Memang begitulah ayah membiasakan kami berhadapan dengan Beliau dan Ibu, tidak boleh menyahut setiap kali ayah atau ibu berbicara. Diam berarti menjunjung tinggi adab dan kesopanan di hadapan kedua orang tua.
(bersambung)
Tentang Penulis
Penulis lahir di Bakongan lima puluh enam tahun silam dari ayah H. Datok Nyak Diwa dan Ibu Hj. Siti Ardat. Sejak SMA gemar membaca dan menulis. Menggeluti dunia sastra dimulai sejak di bangku kuliah yakni di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unsyiah. Pernah beberapa kali memenangi lomba menulis tingkat nasional diantaranya Lomba Menulis Cerita Pendek bagi guru-guru SMA/SMK/MA Tingkat Nasional Tahun 2009. Cerpen dengan judul ‘Bulohseuma’ terpilih sebagai Cerpen Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2009 sehingga memperoleh Tropi dari Depdinas kala itu. Di samping itu Buku Kumpulan Puisi penulis dengan judul ‘Ziarah Hati’ memperoleh Juara 3 dalam Lomba Menulis Buku Pengayaan Tingkat Nasional Tahun 2010. Buku Kumpulan Puisi penulis ‘Rumah Masa Depan’ juga mendapat penghargaan dari Kemendiknas Tahun 2011. Untuk itu penulis diundang ke Jakarta menerima penghargaan dari Kementerian Pendidikan Nasional.
Hingga saat ini penulis baru menghasilkan 4 buku; Kumpulan Puisi ‘Ziarah Hati’ 2010, Kumpulan Puisi ‘Rumah Masa Depan’ 2011, Kumpulan Cerpen ‘Senyum Terakhir Siti Sara’ 2016, dan Kumpulan Puisi ‘Doa Sajadah’ 2018. Sementara itu ada juga beberapa Kumpulan Cerpen dan Buku Kumpulan Puisi Bersama yang telah terbit baik regional, maupun nasional.
Mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP/SMA/SMK/MA sejak 1992 dan pernah menjadi Tutor pada Universitas Terbuka (UT) 2002-2008. Dalam berkarya penulis acap menggunakan nama pena Bussairi Ende, B.S. Ende, atau Bussairi D. Nyak Diwa. Saat ini tinggal di Jalan Syaikhuna No. 12 Kompleks Pesantren Darurrahmah, Kotafajar, Kluet Utara Aceh Selatan.