Bagian 2
Bussairi D. Nyak Diwa
Seandainya tak ada dorongan dari guruku untuk bersekolah, mungkin tak sedikitpun ada keinginan dalam diriku untuk bersekolah. Tapi begitulah perhatian dan kecintaan seorang guru terhadap muridnya saat itu, seperti tak ada bedanya dengan anak kandungnya sendiri. Kenapa demikian? Ini mungkin karena kami sebagai murid kala itu sungguh-sungguh sangat hormat dan mencintai guru. Kami juga menganggap guru seperti orang tua sendiri.
Bapak M. Din Samsuddin, guru sekaligus kepala sekolah yang sangat kuhormati itu sungguh-sungguh sangat perhatian kepadaku. Aku masih ingat, saat aku mulai duduk di kelas V, Beliau memberikan kebebasan dan keleluasaan kepadaku untuk mengelola perpustakaan sekolah. Mulai dari membersihkan, mengatur buku di rak-rak buku, hingga proses peminjaman buku. Aku juga bebas meminjam buku, sehingga aku dapat memanfaatkan perpustakaan sekolah itu kapan saja. Terlebih-lebih karena kunci ruang perpustakaan sekolah itu aku yang pegang. Mungkin Beliau tahu bahwa aku sangat hobi membaca buku. Baru setelah aku lulus dari sekolah yang bernama SD Negeri Beutong itu, dengan perasaan sedih kunci ruang perpustakaan kuserahkan kepada Beliau.
“Bus, jika kamu melanjutkan sekolah, Bapak yakin engkau akan menjadi orang yang berguna nanti. Dan jika kamu sukses kelak, kamu tidak mesti bekerja membanting tulang, sebab tubuhmu tidak akan mampu kau tempa untuk bekerja bertat,” begitu argumen Beliau padaku di suatu hari.
“Kau takkan sanggup menjadi petani, kau takkan mampu menjadi pelaut, apalagi menjadi pekerja dengan mengandalkan tenaga tubuhmu.”
“Oleh karena itu sekolahlah. Sebab kelak jika kamu berhasil, kamu akan bekerja dengan menggunakan pikiranmu….”
Aku bingung, sebab kala itu aku belum mengerti dengan kata-kata nasihat yang disampaikan guruku itu. Barulah puluhan tahun kemudian aku mengerti, itu pun setelah guru yang sangat kucintai itu kembali ke haribaan Ilahi Rabbi (alfatihah).
Begitulah, ketika sebulan kemudian Ayah meminta aku untuk menjawab pilihan antara mengaji atau sekolah, tanpa ragu sedikitpun aku menjawab sekolah. Ayah tidak mengulang pertanyaannya.
“Baik, tapi kamu harus sungguh-sungguh dalam belajar,” ayah mengiyakan keinginanku bernada menasihati. Setelah itu Ayah tak pernah bertanya lagi padaku tentang sekolah.