Oleh Zulkifli Abdy
Politik selalu saja memiliki pesona sebagai wahana berdemokrasi, dan membutuhkan relasi yang didominasi oleh kepentingan. Sehingga politik tak jarang pula dapat menggerus nilai-nilai persahabatan.
Politik semestinya senantiasa dapat memberi manfaat bagi kehidupan bermasyarakat, dan jangan biarkan politik “memakan” apa saja sebagai mangsa. Kendati hampir semua orang tahu, tetapi banyak pula orang yang lupa atau bahkan pura-pura tidak tahu, bahwa politik itu juga mengusung nilai-nilai transedental yang luhur, yakni perkhidmatan untuk kemaslahatan.
Dalam konteks Indonesia, terutama di era pascareformasi, politik telah menjadi semacam “perayaan” yang tak pernah sepi, bahkan kerap menimbulkan kegaduhan hampir di sepanjang tahun.
Hal mana mungkin disebabkan oleh siklusnya yang secara berkala selalu berada pada “koma”, dan tidak pernah menemukan “titik” di mana semuanya harus berakhir.
Maka tidak berlebihan kalau kiprah seseorang di dunia politik tidak mengenal kata purna, yang ada hanya pengembaraan tanpa batas waktu.
Demikian hebatnya pesona dunia politik, sehingga para politisi tidak pernah akan berhenti hanya karena mengalami kegagalan semata. Bahkan adagium, “kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda” selalu dijadikan alasan oleh pegiat politik untuk tidak pernah berhenti.
Strategi dalam politik bukan hanya digunakan untuk menghadapi lawan, melainkan juga untuk menyiasati kawan. Sehingga ketika bekerjasama sekalipun, pertimbangan politik senantiasa menjadi rujukan bagi para pihak, paling tidak sebagai sarana untuk memantau pergerakan baik lawan maupun kawan.
Dua puluh tahun terakhir, suka atau tidak, Indonesia telah menjadi negara “industri politik” salah satu yang terbesar di dunia.
Inilah dampak nyata dari reformasi, sehingga di Indonesia segala sesuatunya diukur dengan parameter politik.
Pemilu serentak, agenda lima tahunan dengan tingkat partisipan ribuan calon sebagai kontestan, baik legislatif maupun eksekutif, telah menjadikan UKM yang bergerak di bidang digital printing, alat peraga atau atribut kampanye mengalami booming.
Itulah dampak ekonomi yang kita rasakan, namun pada sisi lain dampak moral dan sosial yang diakibatkannya juga sangat besar. Di mana budaya korupsi menjadi sangat menggejala, hal mana sebagai akibat dari besarnya cost politic atau biaya politik yang mesti digelontorkan oleh para kontestan. Hal ini terjadi akibat dari politik pragmatis yang dianggap sebagian politisi sebagai suatu keniscayaan di era yang serba “instan” ini.
Agaknya mesti ada ikhtiar dari segenap elemen bangsa, termasuk tumbuhnya kesadaran dari masyarakat luas untuk menafikan politik uang. Karena sesungguhnya itulah yang merusak sendi-sendi kehidupan bernegara kita, termasuk korupsi yang telah menjadi semacam parasit yang terus menggerogoti kehidupan berbangsa kita.
Korupsi menjadi sangat sulit diberantas, karena akar masalahnya tidak pernah “tersentuh”. Kita selalu melihat korupsi pada bagian hilirnya saja, ketika semuanya telah terjadi, dan kita tidak pernah melihatnya ke hulu, tempat dimana korupsi itu bermula.
Akhirnya korupsi itu pun menjadi trend dan gaya hidup, sehingga sebagian orang merasa tidak lengkap kalau tidak mengikuti kecenderungan ini.
Apalagi tuntutan gaya hidup hedonis dan konsumtif, yang membuat orang terdorong untuk melakukan korupsi sebagai jalan pintas untuk mendapatkan sebanyak mungkin uang.
Agaknya semua itu dapat di “reduksi” dengan menanamkan nilai-nilai agama sebagai penangkal, apapun agama yang dianut seseorang. Karena tidak ada satu agama pun yang membenarkan perbuatan yang merusak generasi harapan bangsa itu terjadi.
Mungkin dibutuhkan suatu “revolusi kecil” untuk mengubah kondisi yang kalau kita ibaratkan sebagai penyakit telah akut ini.
Setidaknya ada ikhtiar untuk menggugah keinginan bersama di antara para pemimpin dan tokoh bangsa, politisi serta masyarakat luas untuk segera keluar dari “zona” tidak nyaman ini. Untuk selanjutnya segera mencari dan menemukan format baru yang lebih bermoral dan bermartabat.
Zulkifli Abdy