Oleh: Fajriani
Konsep inklusi bukanlah hal baru dalam dunia pendidikan. Education for All (EFA) telah menjadi gerakan dan komitmen global untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas bagi semua anak, remaja dan dewasa. Gerakan ini diluncurkan pada Konferensi Dunia tentang EFA pada tahun 1990 oleh UNESCO, UNDP, UNFPA, UNICEF dan Bank Dunia.
Di Indonesia, pendidikan berkualitas untuk semua telah menjadi agenda besar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi melalui rencana strategisnya. Pendidikan berkualitas untuk seluruh siswa dalam inklusivitas adalah sasaran strategis pertama yang akan dicapai oleh Kemdikbudristek pada tahun 2024.
Pemerintah Aceh telah menanggapi isu pendidikan inklusif sejak tahun 2010, melalui penandatanganan MoU Dinas Pendidikan Aceh dengan Helen Keller International (HKI) dan USAID. Country Director HKI menyatakan bahwa Aceh menjadi daerah percontohan pendidikan inklusif di Sumatera.
Di Aceh, HKI dan USAID telah mengembangkan 30 sekolah model pendidikan inklusi di 8 kabupaten/kota dan 7 SLB sebagai pusat sumber di 5 kabupaten/kota. Upaya ini semakin diperkuat dengan Peraturan Gubernur Aceh nomor 4 tahun 2011 tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi Aceh.
Pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Menyikapi Pergub tersebut, banyak sekolah regular di Aceh menerima ABK sebagai peserta didiknya dan menjadi sekolah inklusif, mulai dari SD, SMP, hingga SMA.
Dengan demikian, pendidikan bagi ABK tidak terhenti hanya sampai di sekolah menengah atas saja, tetapi ABK juga berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Mendapatkan gelar sarjana atau bahkan magister bukanlah hal yang mustahil bagi ABK. Dengan gelar akademik, diharapkan ABK bisa menjalani karier dan pekerjaan yang layak sesuai dengan potensi dan bakat yang dimiliki.
Untuk memberikan peluang kepada ABK dalam menempuh pendidikan tinggi, maka universitas perlu memndukung dan menyediakan sumber daya yang memadai. Sebagai contoh, Universitas Syiah Kuala yang merupakan salah satu universitas tertua di Aceh, telah menerima mahasiswa berkebutuhan khusus.
Pada tahun 2014, seorang siswa dengan hambatan penglihatan (tunenetra) diterima menjadi salah satu mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala melalui jalur SBMPTN dan telah lulus pada tahun 2018 dengan predikat cumlaude.
Ini merupakan suatu prestasi yang membanggakan, di samping prestasi non akademik lainnya. Selanjutnya, pada tahun 2019, ada dua orang mahasiswa berkebutuhan khusus yang diterima di FKIP dan FMIPA melalui jalur SNMPTN dan SBMPTN, dan satu orang mahasiswa diterima di Fakultas Teknik (FT) pada tahun 2021. Menerima mahasiswa berkebutuhan khusus, tidak serta merta membuat suatu universitas dapat disebut sebagai kampus inklusi.
Dalam hal ini, ada banyak hal yang harus dipersiapkan dan dibenahi. Untuk menjadi kampus inklusi, mungkin dimulai dari rekrutmen (penerimaan) calon mahasiswa berkebutuhan khusus. Salah satu universitas terkemuka di Indonesia yang telah membuka jalur penerimaan khusus bagi ABK di samping jalur penerimaan nasional lainnya, adalah Universitas Brawijaya (UB).
Universitas Brawijaya sejak tahun 2012 hingga 2018 merupakan satu-satunya perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki kebijakan afirmasi seleksi masuk perguruan tinggi bagi calon mahasiswa berkebutuhan khusus. Sementara itu, untuk jalur SBMPTN, Kemdikbudristek dan Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi Negeri (LTMPT) telah meluncurkan aplikasi screenreader untuk memfasilitasi calon mahasiswa dengan hambatan penglihatan untuk mengikuti Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK). Screenreader ini membantu peserta untuk memahami semua materi UTBK yang dinarasikan dalam bentuk audio.
Menjadi kampus inklusif tentu berkaitan dengan aksesibilitas dan fasilitas yang bagi mahasiswa berkebutuhan khusus. Masih berguru pada pengalaman Universitas Brawijaya, sejak tahun 2012 UB telah menyediakan akses bagi lebih dari 150 mahasiswa dengan hambatan sensorik, motorik, intelektual dan perkembangan.
UB juga telah memberikan layanan inklusif untuk mahasiswa berkebutuhan khusus. Fasilitas yang disediakan UB untuk mahasiswa berkebutuhan khusus berupa fasilitas fisik (guiding block, lift, layanan mobilitas, kamar mandi disabilitas, dan lainnya), fasilitas non fisik (adanya pendamping untuk mahasiswa berkebutuhan khusus, layanan konsultasi, layanan bahasa isyarat, digitalisasi buku untuk mahasiswa hambatan penglihatan, pelatihan pengajaran yang inklusif bagi dosen, pelatihan layanan inklusif bagi pegawai dan video captioning bagi mahasiswa dengan hambatan pendengaran).
Ini masih sebagian kecil dari akses dan fasilitas yang mendukung mahasiswa berkebutuhan khusus untuk belajar di perguruan tinggi. Pertanyaan besarnya adalah, siapkah universitas di Aceh menjadi kampus inklusif untuk menyediakan layanan pendidikan berkualitas bagi mahasiswa berkebutuhan khusus dan untuk mensukseskan agenda Education for All?
Fajriani, S.Pd., M.Ed. (fajriani@unsyiah.ac.id)
Dosen Jurusan Bimbingan dan Konseling, Universitas Syiah Kuala, dan Mahasiswa S3 Jurusan Bimbingan dan Konseling, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.