Oleh Tabrani Yunis
Sore Kamis, 23 Juni 2022, pukul 15.00 WIB, penulis bersama keluarga menikmati sajian kopi Arabika Gayo di kawasan Lamnyong, Banda Aceh. Penulis bertemu dengan seorang teman yang berprofesi sebagai guru sejarah. Sambil menikmati sajian kopi, percakapan pun berlangsung. Topiknya tentang pelajaran sejarah yang saat ini semakin kurang diminati para siswa dari kalangan milenial. Lalu, hal yang senada, ketika penulis sedang mengikuti rapat persiapan bedah buku, “Kulukis Namamu Di Awan” di Bale Ihsan, Pango Raya, Banda Aceh, tiba-tiba penulis membaca Informasi di sebuah grup WA yang menyebutkan bahwa di sekolah-sekolah juga sedang mengalami krisis guru sejarah. Jadi, lengkaplah sudah nasib pelajaran sejarah di lembaga pendidikan kita di tanah air ini.
Nah, diskusi atau percakapan dan indormasi di grup WA di atas mengingatkan penulis pada sebuah kegiatan yang penulis ikuti di tahun 2019 lalu. Kala itu penulis menjadi narasumber pada kegiatan Diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion) yang bertajuk “ Buku Sejarah Untuk Anak-Anak” yang diselenggarakan di hotel Permata hati, jalan Kereta Api, Meunasah Papeun, Aceh Besar pada tanggal 28 November 2019.
Masih belum hilang dari ingatan, apalagi ada catatan-catatan kecil yang ditulis di notes handphone kala mengikut acara pembukaan kegiatan tersebut. Ya, masih segar dalam ingatan akan apa dipaparkan oleh Dra. Irmayani, Kepala Bidang Cagar budaya dan sejarah, Disbudpar, Aceh ketika membuka acara sehari tersebut. Paling kurang, ada 3 alasan yang melandasi Dinas Pariwisata Aceh membuat buku sejarah bagi anak-anak ini serta melakukan kegiatan diskusi terfokus ini. Karena kegiatan FGD ini justru sebagai salah satu dari rangkaian penulisan buku sejarah untuk anak-anak, sebut Irmayani. Lebih lanjut , katanya lagi bahwa sesungguhnya, Kita di Aceh ini memiliki kekayaan sejarah dan dalam kurun waktu yang panjang, besar dan terkenal sejak abad ke 7. Namun banyak sekali sejarah Aceh yang belum ketahui, bukan saja oleh kalangan anak-anak, tetapi juga kalangan orang dewasa. Apalagi bagi anak di era milenial dan era digital ini?
Ya, seperti kita ketahui bahwa generasi milenial yang konon hebat dan lihai dalam menggunakan teknologi, sudah banyak yang melupakan pelajaran sejarah. Bisa jadi, karena mata pelajaran sejarah menjadi mata pelajaran yang tidak menarik, dibandingkan dengan pelajaran lain. Ditambah lagi yang namanya mata pelajaran sejarah, baik sejarah Indonesia, maupun sejarah dunia, sudah hilang karena disatukan dalam mata pelajaran IPS. Maka, dapat dipastikan bahwa banyak fakta sejarah yang tidak diketahui anak. Padahal, bangsa kita Inonesia memiliki kekayaan khasanah sejarah. Begitu pula halnya dengan Provinsi Aceh dalam perjalanan sejarah Aceh sejak masa kejayaan kerajaan Aceh. Bayangkan saja, saat ini di Aceh terdapat lebih dari 770 situs sejarah. Jumlah itu bahkan merupakan jumlah yang baru terdata. Jadi, masih banyak sekali yang belum terdata.
Melemahnya minat belajar sejarah di kaangan generasi milenial saat ini, merupakan hal yang memprihatinkan kita. Sebab, ketika anak-anak generasi ini menjadi generasi yang buta sejarah, akan menempatkan generasi ini sebagai generasi yang tidak mengetahui leluhur dan berbagai catatan penting dari generasi-generasi sebelumnya. Padahal, pelajaran sejarah itu merupakan pedoman bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Sebab pelajaran mencatat segala hal, yang baik dan yang buruk pada masa lalu. Jadi, bila generasi ini tidak mau belajar sejarah, maka akan sulit membangun kehidupan yang komprehensif. Tidak ada pedoman yang baik dan buruk, cerah dan kelam. Ini akan sangat berbahaya.
Oleh sebab itu, agar peserta didik si lembaga-lembaga pendidikan yang kita sebut sekolah itu tidak kehilangan minat belajar sejarah, perlu ada upaya serius untuk mengantisipasi hilangnya selera belajar sejarah bangsa atau dunia. Hal lain penting dan menjadi landasan kuat untuk mengajarkan sejarah kepada generasi ini adalah minimnya pengetahuan anak tentang sejarah, baik sejarah Aceh, nasional, maupun dunia yang disebabkan oleh belum atau kurang tersedianya bahan bacaan sejarah bagi anak-anakPerlu mendorong berbagai pihak, Dinas Pendidikan, termasuk Dinas Pariwisata untuk mengambil inisiatif menyusun buku yang berkaitan dengan situs sejarah yang ada di daerah dan nasional.
Apalagi sesungguhnya kita memiliki banyak sosok tokoh pejuang yang belum dikenal oleh anak-anak. Dalam konteks Aceh saja, sepertinya hanya pada tokoh-tokoh pejuang Aceh yang sudah dinyatakan sebagai pahlawan nasional, seperti Cut Nyak Dhien, Teuku Umar, Cut Meutia dan Laksamana Malahayati. Padahal, Aceh sesungguhnya memiliki banyak tokoh sejarah yang mereka selama ini seakan tenggelam dengan yang beberapa nama tokoh yang disebutkan di atas. Ya, masih sangat banyak tokoh pejuang Aceh yang belum diangkat dan diketahui oleh anak-anak. Idealnya semua tokoh pejuang atau pahlawan Aceh itu diketahui atau dikenal anak. Namun, karena masih belum tergali dan terdata serta terpublikasikan dengan baik kepada anak, maka dikhawatirkan anak-anak Aceh, sudah tidak mengenal pahlawan-pahlawan atau pejuang Aceh.
Sudah kita dorong lembaga-lembaga terkait, Dinas Pendidikan, termasuk Dinas Pariwisata untuk berinisiasi menerbitkan buku -buku sejararah yang menarik dibaca, membuat cerita anak tentang situs-situs sejarah yang ada di daerah dan lain sebagainya. Inisiatif menerbitkan buku bacaan sejarah serta situs dengan cara cerita anak ini menjadi kebutuhan Pendidikan dan Kebudayaan di negeri ini.
Tentu ada banyak cara yang bisa dilakukan dengan melibatkan banyak pihak, termasuk guru SD, kepala sekolah dan pihak lain yang diharapkan agar semua bisa berperan aktif. Kegiatan yang selain untuk memotivasi para guru dan kepala sekolah untuk membangun kreativitas diri menuliskan cerita-cerita serupa yakni cerita anak dengan isi atau content sejarah, juga sekaligus mengajak para guru dan kepala sekolah untuk mengajak anak-anak terlibat menuliskan cerita anak menurut versi anak-anak. Caranya bisa dilakukan dengan melakukan karya wisata ke salah satu situs bersejarah, lalu setelah kunjungan tersebut mereka menuliskan pengalaman atau juga menceritakan secara tertulis tentang informasi atau pengetahuan apa saja yang mereka dapat dalam bentuk cerita. Dengan demikian, anak akan mendapat pengalaman langsung, ketrampilan menulis dan sekaligus menjadi penyambung tali pengetahuan sejarah pada generasi mereka. Ini adalah salah satu cara agar anak-anak tidak lupa sejarah. Ingat pesan Soekarno, akan ungkapan Jasmerah. Melupakan sejarah, akan membuat kita kehilangan tempat berpijak dan juga kehilangan arah yang dituju.