Oleh: Dr. Azharsyah Ibrahim, SE.Ak., M.S.O.M.
Dosen Prodi Perbankan Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh
Dalam program ‘Kalam Ramadhan RRI Pro 1’ hari Selasa tanggal 19 April 2022 yang lalu, ada materi yang menarik dibicarakan terkait beberapa akad ekonomi Islam yang sering dipraktikkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, termasuk juga oleh lembaga keuangan syariah (LKS). Salah satunya adalah akad murabahah karena berkaitan dengan anggapan masyarakat terhadap bank syariah. Umumnya, ketika masyarakat mempersepsikan bank syariah mereka merujuk kepada praktik bank syariah terhadap akad murabahah ini. Hal ini wajar karena, menurut data dari OJK,sampai akhir 2021 akad ini mengambil porsi 46,22% dari keseluruhan pembiayaan perbankan syariah dan menyasar sektor awam yaitu rumah tangga (konsumsi). Karenanya, bagi masyarakat awam bentuk transaksi dengan akad ini menentukan syariah tidaknya bank syariah dalam pemahaman awam.
Tentunya pemahaman seperti ini tidak sepenuhnya keliru, walaupun juga tidak bisa dibenarkan. Dalam ekonomi Islam, murabahah tergolong ke dalam akad jual beli dan sangat sering dipraktikkan di pasar-pasar dalam bentuk jual beli biasa, dimana penjual mengambil sejumlah keuntungan dari barang yang dijualnya. Pembeli pun biasanya sudah paham bahwa harga barang yang dibelinya itu sudah termasuk keuntungan kepada penjual. Akad ini menekankan mengenai harga jual dan keuntungan yang disepakati oleh para pihak, baik itu penjual atau pembeli. Selain itu, jumlah dan jenis produknya diperjelas secara detail. Nantinya, produk akan diserahkan kepada nasabah begitu akad jual-beli tersebut diselesaikan. Pembayaran untuk jual-beli dengan akad murabahah dapat dilakukan baik secara cicilan maupun tunai.
Lalu, bagaimana praktiknya dalam konteks bank syariah selama ini? Dalam pembicaraan ringan di warung-warung kopi, masih saja terdengar celotehan bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional, bahkan ada yang menyebutkan hanya ganti ‘bungkusan’ saja, sedangkan produknya tetap sama. Apakah benar seperti itu? Ketika kita telusuri lebih lanjut, ternyata mereka merujuk kepada satu jenis produk saja, yaitu pembiayaan murabahah yang dipraktikkan di salah satu bank syariah. Terlepas dari itu, di antara beberapa penyebab yang memicu anggapan tersebut adalah pola jual beli yang berbentuk seperti pinjam uang, jumlah persentase margin yang sama dengan bunga, pengenaan ‘penalti’ pada pelunasan dipercepat, harga jual yang dianggap lebih tinggi dari bank konvensional, dan beberapa faktor lain yang berasal dari internal dan eksternal yang tidak kita bahas di sini. Mari telisik satu per satu.
Pertama, masalah jual beli yang terasa seperti meminjam uang. Pembiayaan dengan akad murabahah biasanya berawal ketika seorang nasabah menginginkan barang-barang tertentu seperti rumah, mobil, sepeda motor, dan lain-lain, tetapi belum mempunyai cukup uang untuk membelinya saat itu. Dalam kondisi demikian, nasabah tersebut dapat mendatangi bank syariah untuk mendapatkan pembiayaan yang diinginkan dengan cicilan pembayaran dalam jangka waktu yang disepakati. Pihak bank kemudian membuat akad yang berisi jumlah pembiayaan, harga jual, keuntungan, cicilan per bulan, jangka waktu cicilan, dan lain-lain. Setelah kedua pihak setuju, bank seharusnya menyerahkan jenis barang yang diinginkan oleh nasabah tersebut secara langsung.
Dalam praktiknya, sebagian bank syariah tidak melakukan seperti itu, tetapi mereka menyerahkan sejumlah uang kepada nasabah untuk mencari/membeli sendiri barang-barang yang diinginkan tersebut dengan menggunakan akad wakalah. Artinya bank mewakilkan pembelian barang-barang ini kepada nasabah, dan biasanya tidak lagi memastikan lebih jauh apakah nasabah melaksanakan pembelian atau tidak. Teknis pelaksanaan akad seperti ini secara sekilas terlihat mirip dengan sistem kredit pada perbankan konvensional. Secara konsep, teknis seperti ini tidak bisa dikatakan keliru karena sesuai dengan beberapa fatwa DSN tentang murabahah.
Hanya saja, dengan teknis seperti ini, feel (rasa) jual belinyatidak dapat, dimana nasabah hanya menerima sejumlah uang saja untuk kemudian dia beli sendiri barang yang diinginkan, tanpa terlalu terikat dengan akad yang sudah disepakati sebelumnya. Umumnya nasabah tidak membaca secara detail item-item yang ada dalam akad yang dibuat tersebut. Lagian juga, dalam praktiknya posisi nasabah biasanya lebih inferior karena merupakan pihak yang membutuhkan pendanaan, sehingga mereka merasa tidak perlu membaca lagi. Yang penting bagaimana dana bisa cepat-cepat cair. Inilah yang kemudian memicu timbulnya anggapan tadi.
Terlepas dari kesesuaian praktik akad ini dengan fatwa DSN, agar pelaksanaan ini benar-benar terasa sebagaimana jual beli murabahah pada umumnya, akan lebih bijak jika bank tidak menyerahkan uang kepada nasabah, tetapi meminta mereka untuk langsung mengambil barang di tempat-tempat tertentu. Untuk itu, bank syariah terlebih dahulu harus bekerja sama dengan supplier barang-barang kebutuhan nasabah, seperti showroom/dealer untuk mobil, developer untuk perumahan/toko, toko konstruksi untuk bahan bangunan, event organizer untuk paket acara/pesta, dan lain sebagainya.
Kedua, masalah jumlah persentase margin yang sama dengan persentase bunga bank konvensional. Pada hakikatnya pola akad murabahah dengan kredit itu jelas sangat berbeda. Jika kredit bank konvensional mendasari keuntungan pada suku bunga, pembiayaan dengan akad murabahah mendasarinya pada margin (keuntungan) tetap tambahan dari harga pokok, yang secara konsep bisa dinegosiasikan dengan bank ketika membuat akad. Bunga sifatnya fluktuatif, berubah-ubah tergantung kondisi ekonomi. Sedangkan margin keuntungan tetap seperti yang tertera pada akad walaupun kondisi ekonomi naik turun. Hanya saja, biasanya jumlah margin yang diambil bank syariah tetap mengacu (benchmark) pada suku bunga Bank Indonesia (BI Rate), karena belum ada acuan lain yang dapat dijadikan patokan dalam pengambilan margin. Nasabah pada umumnya membandingkan nominal cicilan bulanan dan total pembiayaan yang harus dilunasi dengan kredit pada perbankan konvensional tanpa menganalisis lebih lanjut sehingga terlihat pembiayaan ini mirip dengan kredit.
Sebagai ilustrasi dapat digambarkan sebagai berikut: seorang nasabah mengambil pembiayaan rumah dengan nominal 200 juta dengan waktu pelunasan 1 tahun (12 bulan). Kalau bank syariah mengambil keuntungan, katakanlah, 10% per tahun, maka jumlah margin yang diambil bank adalah 20 juta. Jadi dalam sebulan nasabah harus mencicil sekitar 18,333 juta dengan total pembiayaan yang harus dilunasi sebesar 220 juta. Beda halnya jika waktu pelunasan disepakati selama 15 tahun (180 bulan), maka keuntungan total bank menjadi 300 juta (20 juta x 15 tahun), sehingga total utang yang harus dilunasi nasabah sebesar 500 juta (sekitar 2,777 juta/bulan). Sampai di sini mungkin tidak terlihat berbeda dengan sistem kredit. Ia akan jelas terlihat berbeda kalau misalnya terjadi krisis moneter seperti yang kita alami tahun 1998. Jika menggunakan akad murabahah, cicilan dan total pembiayaan tidak akan berubah, tetap sesuai akad. Ini tentunya berbeda dengan sistem kredit, yang pokok pembayarannya tetap, tetap bunganya berfluktuasi sesuai dengan kondisi perekonomian. Makanya saat terjadi krisis pada masa itu, cicilan dan nominal total hutang yang harus dibayarkan melonjak sampai beberapa ratus persen, sehingga mengakibatkan terjadinya gagal bayar, yang pada akhirnya membuat banyak bank bangkrut. Yang bertahan pada masa itu adalah bank syariah karena cicilan dan nominal hutang total tetap sebagaimana tersebut dalam akad.
Ketiga, masalah ‘penalti’ dalam pelunasan murabahah dipercepat. Dalam ekonomi Islam, seseorang yang berutang dianjurkan untuk segera melunasi utangnya. Di sisi lain, pihak pemberi utang pun dianjurkan untuk memberi kelonggaran jika pihak yang berhutang terkendala dalam pembayaran. Dalam Fatwa DSN-MUI No. 23/DSN-MUI/III/2000 disebutkan bahwa LKS dibolehkan untuk memberikan potongan pelunasan murabahah yang dipercepat. Dari ilustrasi di atas, jika misalnya nasabah tadi berakad mengambil pembiayaan murabahah senilai 200 juta dengan jangka waktu 15 tahun, maka cicilan bulanannya senilai 2,777 juta yang harus dibayarkan setiap bulan selama 15 tahun tersebut dengan total utang 500 juta. Jika di tahun ke-5, misalnya, ia sudah mempunyai uang tunai sehingga bermaksud melunasi utangnya ke bank, maka dalam konsep hutang piutang jual beli murabahah, nominal hutang yang harus dilunasi tetap sama sebagaimana yang tersebut dalam akad.
Praktik seperti ini yang membuat banyak nasabah merasa diberatkan ketika mempercepat pelunasan hutang murabahah sebelum jatuh tempo. Secara konsep, praktik ini tidak bermasalah karena memberikan potongan pelunasan hanya bersifat anjuran dalam fatwa DSN di atas. Hanya saja, secara bisnis dan pencitraan hal ini akan berdampak negatif bagi perbankan syariah secara umum karena di bank konvensional nasabah diberikan keringanan penalti dengan menghapus kewajiban membayar bunga.
Sebenarnya jika bank syariah menerapkan sistem pelunasan dengan menghapus margin terhadap sisa pokok hutang yang belum dibayar, secara ekonomi juga tidak akan merugikan. Dalam teori Time Value of Money (TVM) dikatakan bahwa nilai uang sekarang lebih berharga daripada nilai uang di masa mendatang. Artinya, bank syariah secara ekonomi akan berpotensi menghasilkan keuntungan lebih banyak di masa sekarang jika hasil pelunasan dipercepat tersebut diinvestasikan kembali. Saat ini, sebagian bank syariah sudah memberikan potongan pelunasan murabahah yang dipercepat, hanya saja teknis dan nominal potongannya berbeda-beda menyesuaikan dengan kebijakan internal bank.
Keempat, harga jual yang dianggap lebih tinggi dari bank konvensional. Kalau ditanya ke masyarakat awam, pembiayaan yang syariah itu seperti apa, kebanyakan jawabannya adalah yang murah (kalau perlu gratis) di samping juga harus berkualitas. Apakah harus seperti itu? Nasabah pada umumnya hanya memperhitungkan nominal besarnya saja tanpa mengetahui apa yang terjadi di balik itu. Kita kadang-kadang melupakan bahwa bank syariah selain menjalankan fungsi sosial juga menjalankan fungsi bisnis dimana operasional mereka berasal dari keuntungan-keuntungan yang diperoleh secara halal, bebas riba, maysir(judi), tadlis (penipuan), gharar (ketidakjelasan), dan lain-lain. Kalau kita ibaratkan bank syariah dan bank konvensional sebagai dua perusahaan developer yang sama-sama menjual rumah type 36 di lokasi yang tidak jauh berbeda. Bank konvensional misalnya menjualnya dengan harga 120 juta,tanpa merinci bahan-bahan bangunan yang dipakai, sehingga berpotensi adanya unsur gharar dan tadlis. Bank syariah menjualnya dengan harga 200 juta dengan merinci jenis bahan-bahan yang dipakai sehingga terlihat jelas kualitasnya. Dalam kondisi ini apakah tidak wajar ketika harga rumah yang dijual bank syariah lebih tinggi? Dalam jangka panjang penggunaan barang yang berkualitas bagus akan lebih ekonomis.
Inilah beberapa faktor yang menjadi pemicu masih berkembangnya anggapan sebagian masyarakat bahwa bank syariah sama dengan konvensional. Mudah-mudahan tulisan dapat memperjelas posisi akad murabahah dalam praktik perbankan syariah sehingga anggapan-anggapan sebagaimana yang dijelaskan di atas dapat pelan-pelan hilang. Kita juga mengharapkan baik nasabah maupun bank syariah mempunyai kesepahaman yang sama dalam menjalankan akad ini. Wallahualam.