Oleh Satria Dharma
Berdomisili di Surabaya
Salah satu kesalahan kita dalam membaca dan upaya untuk memahami sejarah (Islam, khususnya) adalah kita menggunakan tolok ukur dan nilai-nilai yang berlaku di zaman kita hidup sekarang. Kita menggunakan cara pandang masa kini untuk memotret dan menilai apa yang berlaku di zaman Nabi dan para sahabatnya. Tentu saja ini akan membuat kita bertanya-tanya dan pada akhirnya menilai dan menghakimi dengan negatif apa-apa yang dulu biasa dilakukan pada zaman Nabi.
Sebagai contoh populer adalah soal bolehnya umat Islam beristri empat dan memiliki budak. Beristri banyak dan memiliki budak adalah hal yang wajar dan normal pada saat itu. Tak ada masyarakat yang menilai punya istri banyak dan memiliki budak sebagai sebuah norma yang buruk atau negatif pada zaman itu. Memiliki istri banyak dan budak justru menunjukkan kekayaan dan kemakmuran. Tapi poligami bukanlah sebuah anjuran dalam agama Islam. Dalam kasus tertentu hukumnya justru bisa makruh sampai haram. Aturan poligami dalam ajaran islam sebenarnya adalah upaya pembatasan dari bebasnya memiliki istri sebanyak-banyaknya di masa lampau. Saat ini berpoligami tidak lagi dianggap sebagai suatu hal yang positif dalam masyarakat. Setia dengan satu pasangan dianggap sebagai sebuah hal yang mulia dan ideal saat ini.
Sampai saat ini 14 abad kemudian perbudakan dan perdagangan manusia sebenarnya masih ada dan terjadi di berbagai sudut dunia. Tentu saja di masa sekarang kita tidak lagi membeli dan memelihara budak. Tapi kita bisa membayar atau menggaji pembantu atau ART dengan tugas yang terbatas. Jelas kita tidak bisa lagi memperlakukan pembantu kita sebagaimana budak-budak zaman dahulu. Ada hukum dan aturan tertentu yang membatasi perlakukan kita pada pada para pembantu tersebut dan kita bisa terkena konsekuensi hukum jika melampauinya. Keinginan memiliki istri banyak juga masih eksis di benak para lelaki dan itu dilampiaskannya dengan memiliki selingkuhan yang sebenarnya justru tidak lebih beradab ketimbang memiliki istri resmi beberapa.
Bagaimana pandangan Islam dalam masalah perbudakan? Sila baca tulisan saya di sini. https://satriadharma.com/2009/11/21/perbudakan-dalam-islam/
Salah satu hal yang membuat saya bertanya-tanya ketika membaca sejarah Islam adalah soal perampokan atau penyergapan kafilah yang dilakukan oleh pasukan muslim pada kafilah kaum kafir yang sedang dalam perjalanan dan juga ekspansi militer yang dilakukan sejak zaman Khalifah Umar r.a.
Jelas sekali bahwa menyergap kafilah yang sedang dalam perjalanan dan menyerbu negara-negara tetangga bukanlah hal yang bisa dilakukan atau bisa dimaklumi saat ini. Pertanyaan tentang mengapa dulu itu dilakukan oleh pasukan muslim muncul di benak saya karena saya yakin bahwa Islam itu mengajarkan kebaikan yang universal dan bukan sekadar lokal. Saya yakin bahwa menyerbu negara tetangga BUKANLAH ajaran Islam, meski pun saya tahu bahwa Nabi Sulaiman juga melakukan ekspansi ke negara tetangganya dan mengancam Ratu Balqis. Kalau tidak mau datang dan menyerah, maka Raja Sulaiman akan menghancurkan kerajaannya. Jelas bukan sebuah sikap yang dibenarkan untuk dilakukan oleh negara mana pun di masa kini. Sekarang kita punya PBB untuk melindungi sebuah negara dari penindasan negara lain (meski dalam banyak peristiwa penindasan dari sebuah negara pada negara lain masih terus terjadi).
Jadi pertanyaannya adalah mengapa pasukan Islam menyergap kafilah kaum Quraisy dan Umar r.a menyerang dan menguasai kerajaan-kerajaan lain di masanya?
Pertanyaan ini ternyata terjawab setelah saya membaca buku Karen Armstrong “The Lost Art of Scripture”. Menurut Karen Armstrong penyergapan kafilah (atau disebut ghazwah) adalah sebuah kebiasaan lama yang dipandang bermartabat demi mencukupi kebutuhan hidup kala terjadi kesulitan ekonomi di jazirah Arab kala itu. Para pelaku ghazwah biasanya hanya menyita makanan dan hewan, dengan cermat berusaha untuk tidak membunuh seorang pun anggota suku lain untuk menghindari pembalasan dendam. Tak seorang pun di Arab pada zaman itu akan mencela tindakan ini – ghazwah dipandang nyaris seperti olahraga nasional. Bedanya adalah umat muslim menyergap kafilah suku mereka sendiri. Orang Inggris sampai hari ini masih mengagung-agungkan tindakan ‘ghazwah’ yang dilakukan oleh Robinhood dan menganggapnya sebagai pahlawan. Tapi tentu saja tindakan ‘ghazwah’ ala Robinhood ini sudah tidak dibenarkan lagi oleh norma adab dan moral modern di mana kita hidup sekarang. Jadi jangan menilainya dengan standar moral dan nilai-nilai saat ini.
Bagaimana dengan ekspedisi militer Umar r.a dan para khalifah setelahnya? Islam setelah Rasulullah meninggal terancam perpecahan di bawah pemerintahan Abu Bakar. Banyak suku yang tidak mau lagi bersatu dalam Islam di bawah Abu Bakar dengan jalan tidak mau lagi membayar zakat. Abu Bakar sebagai khalifah (pengganti atau penerus Nabi) terpaksa harus memerangi mereka yang berniat untuk memisahkan diri. Dalam dua tahun Khalifah Abu Bakar berhasil memulihkan Pax Islamica setelah berhasil menundukkan para pemberontak tersebut. Umar bin Khattab yang menggantikannya setelahnya (menjabat 634 – 644M) percaya bahwa perdamaian hanya bisa dipelihara jika mereka melancarkan serangan ke luar wilayah dengan melakukan ekspedisi militer. Ekspedisi-ekspedisi militer ini BUKAN perintah agama. Tidak ada isi Alquran yang memerintahkan umat Islam menaklukkan dunia. Motivasi Umar adalah murni ekonomi. (Pembacaan dan Intentio hal 340 – 341). Dulu ghazwah bisa dilakukan, tapi sekarang mereka sudah dalam kesatuan Islam, sehingga tidak mungkin mereka menyerang sesama muslim. Jadi memperluas wilayah adalah jawaban rasional untuk mengembangkan perekonomian umat Islam saat itu. Umar sangat sukses dalam memperluas imperium Islam dengan ekspansi dan ekspedisi militernya. Maka 25 tahun setelah Nabi Muhammad wafat umat muslim mendapati diri mereka menjadi penguasa sebuah imperium besar yang mencakup Mesopotamia, Suriah, Palestina, dan Mesir.
Tapi jelas bahwa saat ini umat Islam atau negara Islam tidak bisa lagi meniru Khalifah Umar bin Khattab. Upaya meningkatkan perekonomian umat dan rakyat tidak bisa lagi dilakukan dengan menyerang dan menguasai daerah atau wilayah kekuasaan negara lain. Itu sekarang adalah tindakan yang tidak bermoral dan sangat dikecam oleh dunia.
Ada banyak cara untuk meningkatkan perekonomian daerah atau negara. Dan itu terbuka luas bagi siapa saja yang ingin memikirkannya. China adalah sebuah negara raksasa yang berhasil meningkatkan perekonomian negara dan rakyatnya tanpa pernah menghegemoni atau menyerang negara mana pun. Negara-negara Barat yang dulunya menjajah negara lain untuk menguasai ekonominya kini malah tertinggal oleh negara China yang fokus mengembangkan teknologi. Menjajah dan menguasai sumber daya milik negara lain sudah bukan lagi zamannya. Menguasai teknologi adalah jawaban atas solusi untuk penguasaan ekonomi saat ini.
Oleh sebab itu belajarlah sampai ke negara China…. ?
Surabaya, 22 Juni 2022
Satria Dharma