Oleh Zulkifli Abdy
Gejala atau potensi kesombongan dan keangkuhan di dalam berbagai aspek kehidupan, kerap berlaku di tengah-tengah masyarakat kita yang majemuk.
Bukan hanya di kalangan olahragawan, para pesohor di bidang lain juga demikian.
Apakah dia seorang pejabat publik, seniman, pengusaha bahkan politisi tidak luput dari sikap yang cenderung sombong dan angkuh, sehingga merasa diri paling hebat dan terhormat.
Bukankah kehormatan atau kemuliaan itu pada akhirnya akan lebih menjadi milik orang-orang yang rendah hati, yang selalu menghargai dan menghormati setiap orang pada strata dan lingkungan manapun, dan dalam kondisi apapun.
Keangkuhan dan kesombongan sesungguhnya akan menjauhkan seseorang dari rasa respek atau simpati, apalagi untuk dihormati oleh orang lain.
Bahkan boleh jadi yang bersangkutan pada titik tertentu dalam hidupnya akan menjadi orang yang sangat kesepian.
Maka berbahagialah seseorang yang hebat di bidang apapun, namun tetap rendah hati dan jauh dari sikap sombong dan angkuh.
Boleh jadi dengan kerendahan hatinya itu, yang bersangkutan pada akhirnya akan mendapat tempat yang lebih mulia lagi di mata orang lain atau khalayak.
Hidup ini hanya sementara, laksana seorang musafir yang menyeberangi jalan, dan berteduh sejenak di bawah pohon yang rindang, seraya menikmati pemandangan yang tak jarang juga semu.
Demikian pula waham kesombongan dan keangkuhan itu, juga bersifat sementara.
Dan pada titik tertentu seseorang akan mengalami fase “berakhir”, fase di mana yang bersangkutan akan dipenuhi oleh rasa kehilangan, termasuk kehilangan nama besar, jabatan bahkan kekuasaan, juga para simpatisan yang tiba-tiba mulai menjauh.
Sehingga pada akhirnya kita terjebak di dalam “istana” kesepian yang kita bangun sendiri.
(Zulkifli Abdy)