Cerpen Bussairi D. Nyak Diwa
“Puisi itu binatang apa, Pak?…,” tiba-tiba satu suara bergema dari sudut sebelah kiri ruang kelas memotong pembicaraanku yang sedang serius menerangkan pelajaran tentang puisi. Kontan saja kelas menjadi ribut dan berisik. Aku terdiam. Ini jelas bukan sembarang pertanyaan. Aku merasakan seperti petir yang menyambar di siang bolong.
Lima belas tahun sudah aku mengajar sebagai guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA ini, tapi belum pernah ada pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang siswa seperti ini. Apalagi tadi aku sudah menjelaskan secara terperinci apa itu puisi. Pertanyaan yang sungguh-sungguh di luar dugaan. Bukan karena pertanyaannya yang tidak tepat sasaran. Bukan pula karena pertanyaan yang diajukan secara tiba-tiba, tetapi lebih dari itu, pertanyaan itu jelas sebagai sebuah ekspresi ketidaksenangan. Atau lebih mengarah kepada pertanyaan yang mengandung olok-olok dan memojokkan.
Sesaat aku terpana. Dengan memasang wajah yang tetap kebapakan, kutarik nafas dalam-dalam. Aku berusaha sekuat tenaga agar tidak terpancing emosi. Beberapa siswa yang duduk di bagian depan sempat mengomel merasa tidak senang terhadap pertanyaan itu. Sambil tetap tersenyum bersahabat, kutatap siswa yang bertanya itu tak berkedip. Pelan-pelan tapi pasti, aku melangkah ke arah meja belajar anak itu sambil tetap menatapnya lurus-lurus.
“Menurutmu, tadi Bapak menjelaskan apa?” Kusapa ia dengan pertanyaan yang bernada lembut, datar, dan sungguh-sungguh.
“Tiiidak tahu, Pak,” kulihat ia cuek dan sedikit gugup, meskipun sikap kepura-puraan masih mewarnai wajahnya. Ia nyengir kuda, jelas meremehkanku. Beberapa siswa yang merasa terganggu karena ulahnya melancarkan protes dengan menggerutu.
“Ou, jadi dari tadi kamu tidak memperhatikan apa yang Bapak jelaskan?”
“Memangnya kenapa, Pak!”
Ya, Tuhan. Ini betul-betul sebuah jawaban yang memancing emosi seratus delapan puluh derajat. Darahku terasa naik ke ubun-ubun, panas hingga terasa di kedua lembar daun telingaku. Tapi untung kesabaran masih dapat kupertahankan menguasai diriku. Aku ikhtifar dalam hati.
Aku menatapnya langsung ke jantung matanya, tapi masih dengan pandangan bersahabat dan penyayang. Ia agak terkejut lalu menunduk. Pelan-pelan tapi sedikit memaksa kuangkat dagunya dengan jari-jari tangan kananku. Wajahnya langsung mengarah ke wajahku. Kutatap lagi matanya lekat-lekat seakan ingin mengorek isi hatinya. Wahai, sesungguhnya wajah anak lelaki di hadapanku ini bukanlah tipe wajah pembangkang. Bukan pula tipe wajah ABG yang memiliki sinar mata redup akibat pengaruh narkoba. Aku kenal betul anak-anak jenis ini. Ketika masih berstatus sebagai mahasiswa FKIP dulu aku pernah mempelajari psikologi anak melalui mata kuliah Psikologi Pendidikan. Jadi sedikit banyak aku paham dengan psikologi anak yang terpengaruh oleh obat-obat terlarang, lingkungan yang tidak sehat, atau anak korban broken home. Tetapi kenapa muridku yang satu ini begitu berani mengolok-olokku?
Tiba-tiba ia menepis tanganku. Dan dengan gerakan kasar ia bangun dari duduknya serta-merta dengan cepat melangkah ke luar kelas. Aku terkesima. Aku betul-betul tidak menyangka ia akan berbuat seperti itu. Ini betul-betul sebuah ujian berat yang pernah kurasakan sebagai seorang guru. Seandainya yang diperlakukan seperti ini bukan diriku, aku sulit membayangkan apa yang akan terjadi. Sebab ini jelas menyangkut harga diri seorang guru.
Sebetulnya bukan kali ini saja dia bertingkah laku seperti itu. Hampir semua guru mengalami pengalaman yang menyebalkan berhadapan dengan anak ini. Dua minggu yang lalu, Bu Marni, guru Sejarah yang masih menggadis itu sempat dibuat berang seperti induk ayam yang diganggu anaknya. Pasalnya saat itu Bu Marni sedang membahas Teori Darwin yang menjelaskan tentang evolusi asal-usul manusia. Tanpa ba-bi-bu siswa yang terkenal usil ini langsung memberi komentar bahwa salah satu contohnya adalah Bu Marni yang wajahnya mirip-mirip dengan manusia purba itu. Kontan saja Bu Marni yang terkenal garang itu naik pitam. Bu Marni langsung memalaknya dengan kata-kata yang tak terkontrol dan meng-k-o-kan.
“Kurang ajar! Keluar kau dari ruangan ini, pembangkang,” suara Bu Marni persis letusan revolver 45 yang menyalak.
“Atau akan kupaksa kau keluar dengan ini…,” ancam Bu Marni sambil mengeluarkan penjepit kertas ukuran empat jemari dari dalam tasnya.
Melihat Bu Marni maju sambil mengacungkan penjepit kertas itu ke arah telinganya, anak itu langsung kabur ke luar kelas.
Lain Bu Marni, lain pula yang dialami Pak Jamal. Pak Guru yang mempunyai suara berat dan berotot ala Genezeur itu tak luput dari perlakuan kurang sopan siswa nakal ini. Kala itu Pak Jamal sedang mendikte materi pelajaran Biologi. Entah karena jari tangannya sudah capek menulis terus menerus, entah karena penyakit nakalnya sedang kumat. Tiba-tiba siswa ini ngomel sendirian.
“Kok dikte terus menerus sih, Pak. Apa Bapak cuma punya kemampuan mendikte doang.”
Kontan saja Pak Jamal terperangah. Amit-amit ada siswa yang berani memprotesnya, menatap wajahnya saja siswa kehilangan nyali. Tapi kata-kata yang dilontarkan anak ini jelas-jelas diarahkan kepadanya, bagaikan anak panah yang lepas dari busur dan menancap langsung ke jantung Pak Jamal. Sungguh menyakitkan!
“Kalau kamu tidak senang dengan saya atau dengan pelajaran yang saya ajarkan, silakan keluar dan jangan pernah masuk ketika saya mengajar,” dengan tegas telunjuk tangan kanan Pak Jamal diarahkan ke pintu.
“Atau lebih baik kau kukeluarkan dengan paksa.” Pak Jamal maju. Lalu tangannya yang kekar mencengkeram kerah baju anak itu dengan keras. Menarik, lalu mendorongnya ke arah pintu kelas. Para siswa yang lain menahan nafas beberapa saat. Tapi aneh, dengan senyum khas nyengir kudanya, anak itu berjalan santai ke luar kelas. Di luar kelas ia berpapasan denganku yang kebetulan ada keperluan dengan Pak Jamal dan sempat menyaksikan episode yang tidak menyenangkan itu. Ia sempat nyengir ke arahku, sebelum meluncur ke arah kantin sekolah.
***
“Pak Husni, kelihatannya tak ada jalan lain untuk menyelamatkan sekolah ini selain….”
“Assalamualaikum.” Belum sempat Kepala Sekolah menyelesaikan kalimatnya, kulihat Pak Jamal dan Bu Marni memasuki ruang Kepala Sekolah.
“Waalaikum salam, silakan duduk Pak Jamal dan Bu Marni,” Kepala Sekolah menyilakan.
“Saya baru saja akan memulai pembicaraan ini dengan Pak Husni,” Kepala Sekolah membuka pembicaraan. Aku mengangguk, mengiyakan.
“Oya Pak, barusan ada laporan dari Bu Evi, guru kontrak kita yang baru itu, bahwa ia kemarin sempat menangis di depan kelas karena diplonco oleh Si Arman.” Baru saja duduk Pak Jamal sudah menyampaikan laporannya.
“Bu Evi wanti-wanti pada saya tidak akan mengajar di Kelas XII IPS 2 sebelum….”
“Ya, sebaiknya Si Arman dikeluarkan saja, Pak. Biar sekolah kita aman.” Pak Jamal memotong kalimat Bu Marni yang belum selesai.
Aku terdiam. Kepalaku terasa agak berdenyut. Pembicaraan ini belum lagi dimulai oleh Kepala Sekolah, tetapi Pak Jamal, Sang Wakil Kepala Sekolah Urusan Kesiswaan ini sudah mengambil keputusan bahwa Arman harus dikeluarkan. Ah, sungguh gampang memutuskan masalah, pikirku.
Sebagai Wali Kelas XII IPS 2, di mana Arman, anak nakal itu sebagai salah seorang warganya, sebetulnya lebih berat menghadapi masalah ini ketimbang Pak Jamal. Tetapi aku berprinsip, seberat-berat persoalan harus diselesaikan secara bijaksana. Apapun alasannya harus ada pertimbangan yang matang demi masa depan siswa. Bukan malah menyelesaikan persoalan dengan hukuman yang jelas-jalas akan mengorbankan masa depan anak.
“Menurut Pak Husni, bagaimana?” Kepala Sekolah menatapku.
Aku mencoba menyusun argumen dalam benakku. Bagaimana pun aku adalah wali kelas bagi anak-anak ini, siapapun mereka, senakal apapun mereka. Dan Arman adalah salah seorang dari mereka. Arman harus diselamatkan. Apalagi ini sudah memasuki semester genap, tak lama lagi akan menghadapi Ujian Nasional. Aku dapat membayangkan, jika Arman dikeluarkan tertutup sudah kesempatannya menyelesaikan pendidikan menengahnya di sekolah ini. Padahal nilai rapornya semester lalu menempati peringkat ketiga.
“Bagaimana, pak Husni?”
“Ya… begini, Pak,” aku menarik nafas agar dapat berbicara sebaik mungkin.
“Saya pikir, sebelum mengambil suatu keputusan harus kita pertimbangkan masak-masak. Apalagi ini menyangkut masa depan anak. Jika Arman kita keluarkan, saya khawatir masa depan pendidikannya akan suram. Apalagi ini sudah semester genap, saya khawatir ia tidak dapat mengikuti Ujian Nasional nanti. Jadi, menurut saya kita harus duduk berembuk dulu dengan guru-guru yang bermasalah dengannya. Kita harus meminta pengertian mereka.
“Tapi, hampir semua guru yang mengajar di kelas XII IPS 2 bermasalah dengan Arman,” Pak Jamal memotong pembicaraanku yang belum tuntas. “Malah, Pak Husni sendiri bermasalah dengannya, kan?”
“Justru itu, Pak. Karena Arman bermasalah dengan hampir semua guru, maka kita perlu bermusyawarah untuk menyelamatkan Arman di sekolah ini. Siapa tahu, dengan kesabaran kita sebagai gurunya akan membuat dia sadar akan kesalahannya,” kata-kataku agak sedikit tajam, tetapi tetap dengan nada rendah dan lembut.
“Kalau hanya untuk mengambil keputusan mengeluarkannya, saya pikir kita tidak perlu duduk bersama di sini. Bapak Kepala Sekolah langsung saja memanggil orang tuanya,” suaraku semakin rendah hampir tak terdengar.
“Kalau pun kita duduk bersama, saya rasa kesimpulannya tetap sama. Arman harus dikeluarkan,” nada Pak Jamal agak tinggi. Aku menarik nafas pelan-pelan.
“Tugas kita sebagai guru bukan hanya sebagai pengajar, Pak. Tapi juga sebagai pendidik. Sebagai pendidik kita berkewajiban memperbaiki akhlak anak-anak yang rusak. Kalau dilihat dari segi prestasi Arman termasuk siswa yang cerdas. Masalahnya, menurut hemat saya dia hanya memiliki sifat sombong dan apatis. Dan ini harus ditempuh melalui pendekatan psikologis, Pak,” aku berargumen.
Memang aku sendiri mengakui bahwa kelakukan Arman sudah di luar batas kenormalan. Misalnya saja, tidak pantas rasanya seorang siswa mengolok-ngolok guru. Terlebih-lebih aku sebagai wali kelasnya. Tentang hal ini aku pernah beberapa kali memanggil orang tuanya. Tetapi menurut orang tuanya, di rumah Arman adalah anak penurut. Bahkan, menurut Bapaknya, Arman sangat takut dan segan kepada orang tuanya itu. Sampai-sampai untuk bicara saja dengan Bapaknya ia jarang. Melihat fenomena ini dan mengkaji watak Bapak Arman, aku berkesimpulan bahwa jiwa Arman agak tertekan dengan sikap orang tuanya yang otoriter dan keras. Hal ini menyebabkan ia melampiaskan rasa tertekannya di luar rumah. Dan kesempatan itu sebagian besar ada di sekolah. Aku berteori dalam hati.
“Begini saja, Pak. Kalau anak itu tidak dikeluarkan saya mengundurkan diri dari Wakil Kepala Sekolah.” Pak Jamal menegakkan duduknya dan menatap lurus-lurus Kepala Sekolah. Kelihatan sekali Pak Jamal tidak bermain-main dengan ucapannya.
Aku terkejut. Aku tak menyangka Pak Jamal akan mempertaruhkan jabatannya untuk masalah ini. Aku pikir terlalu berlebihan hanya persoalan siswa nakal seorang wakil kepala sekolah harus mengundurkan diri dari jabatannya. Tapi, mungkin Pak Jamal sangat tersinggung karena ulah Arman tempo hari? Ya, mungkin Pak Jamal merasa harga dirinya hilang di depan anak-anak akibat ulah Arman itu.
“Saya juga tak bersedia mengajar lagi di Kelas XII IPS 2 jika Arman masih ada di sana,” timpal Bu Marni dengan gaya eupimismenya, meskipun maksudnya tak berbeda dengan Pak Jamal. Klop sudah pikirku. Dalam hati aku mengaku kalah telak 2-0. Diskusi ini tak perlu dilanjutkan lagi, selesai hingga di sini. Aku membatin.
“Baiklah, selaku pimpinan sekolah ini saya sangat menghargai pendapat Pak Husni, Pak Jamal, dan Bu Marni. Jadi mengingat dan menimbang segala aspek serta demi keberlangsungan proses pembelajaran ke depan, maka saya simpulkan Arman harus dikeluarkan dari sekolah ini. Tolong Pak Jamal siapkan surat pemberitahuan kepada orang tua Arman untuk menghadap saya besok pagi.” Kepala Sekolah mengakhiri rapat itu.
Ibarat pertandingan sepakbola yang tak berimbang, aku kecolongan lagi hingga 10 – 0. Aku berada di pihak yang kalah total.
Kurebahkan punggungku ke sandaran sofa yang empuk. Aku tak merasakan sofa yang empuk itu. Yang kurasakan adalah perih kekecewaan, karena aku merasa gagal menjadi wali kelas. Aku masih saja duduk di sofa, meskipun Pak Jamal dan Bu Marni telah beranjak meninggalkan ruang kepala sekolah dengan wajah lega.
“Maafkan atas sikap dan keputusan saya, Pak Husni,” Kepala Sekolah memecah keheningan. “Keputusan ini saya ambil semata-mata untuk keharmonisan proses pembelajaran di sekolah kita.”
“Ya, Pak,” aku mengangguk takzim persis seorang prajurit dengan komandannya.
“Cuma saya berharap Pak, walaupun Arman dikeluarkan, mohon diberikan surat pindah untuknya,” kutatap Kepala Sekolah dengan sinar mata penuh harap.
“Kita usahakan, Pak.”
Sambil berdiri aku minta izin ke luar ruangan dengan langkah yang gontai. Keluar dari ruang kepala sekolah aku tak langsung ke ruang dewan guru. Tapi langkahku kuarahkan ke kantin sekolah yang berada di ujung sebelah timur gedung sekolah. Aku merasa haus dan gerah. Aku butuh beberapa gelas air mineral untuk menghilangkan rasa haus dan beberapa menit untuk rileks. Di antara beberapa kantin di situ, aku memilih kantin yang paling ujung.
Biasanya kantin Da Minah pada jam-jam sekarang ini suasananya agak sepi.
Baru saja aku duduk dan meneguk aqua gelas yang disodorkan Da Minah aku melihat seorang siswa yang sedang duduk sendirian di sudut kantin. Jam-jam seperti ini biasanya jarang siswa berada di kantin karena proses pembelajaran sedang berlangsung. Kecuali jika ada siswa yang sedang mengikuti jam olahraga atau cabut dari ruang kelas.
Kutilik siswa itu. Tak salah penglihatanku, dia adalah Arman. Merasa heran melihat dia duduk sendirian, aku mendekati mejanya. Dengan wajah hambar dan murung ia melihat ke arahku.
“Kamu tidak belajar, Arman?” Aku menegurnya dengan nada do rendah. Tanpa menoleh dia menggelang.
“Kenapa? Bukankah sekarang jam pelajaran IPS?”
“Untuk apa saya masuk, Pak? Toh besok saya akan dikeluarkan dari sekolah ini,” dia menjawab dengan lemah namun tegas.
Aku terkesima. Kok secepat ini rahasia itu bocor? Apa mungkin barusan Bu Marni membocorkannya di dalam kelas? Tapi tadi Arman mengatakan ia tidak masuk belajar di kelas, jadi tak mungkin Bu Marni yang mengatakannya.
Atau mungkin Pak Jamal yang langsung memberitahukan kepadanya? Ah, tak mungkin juga rasanya Pak Jamal memberitahukan langsung kepada Arman. Bukankah tadi Kepala Sekolah memerintahkan Pak Jamal menyurati orang tua Arman untuk datang ke sekolah besok pagi? Aku menatap wajah Arman dengan penuh selidik. Ia menunduk. Wajahnya kelihatan mulai muram.
“Dari mana kamu tahu kalau kamu akan dikeluarkan, Arman?” Pertanyaanku hampir tak terdengar oleh diriku sendiri. Sekilas kualihkan pandangan ke arah Da Minah. Da Minah agak heran melihat kami di sudut kantin. Untung tidak ada seorang pun siswa lain di kantin.
Tiba-tiba Arman mengangkat wajahnya menatapku.
“Tadi saya dengar semua pembicaraan di ruang Kepala Sekolah,”
“Jadi…?”
“Ya, kebetulan tadi saya lewat di lorong samping ruang Kepala Sekolah. Tiba-tiba saya mendengar nama saya disebut-sebut. Lalu saya nguping di situ. Jadi saya dengar semua apa yang dibicarakan.” Arman diam sejenak. Aku juga terpaku, seperti tak tahu lagi apa yang harus kukatakan.
“Sudahlah, Pak. Bapak tak perlu lagi membela-bela dan mempertahankan saya, si pembangkang ini. Saya mengaku bersalah.”
“Tapi, Bapak tak pernah menyalahkanmu?”
“Ya, memang Bapak tak pernah menyalahkan saya dan hanya Bapak yang tidak pernah terpancing emosi dengan kelakukan saya.”
“Lalu kenapa kamu memancing emosi guru-guru lain, Arman?”
“Saya bosan dengan cara-cara mereka mengajar, Pak.”
“Maksudmu?”
“Ya, saya bosan dengan cara mengajar Pak Jamal yang mendikteee melulu. Saya bosan dengan cara mengajar Bu Marni yang suka membandingkan dan memojokkan kami. Saya bosan dengan gaya Bu Evi yang suaranya hampir tak terdengar dan sering gemetaran, dan…”
“Dan kamu bosan dengan saya karena cara mengajar saya yang bagaimana, Arman?” Aku memotong kata-katanya yang mengalir seperti air.
“Maafkan saya, Pak. Saya Tak pernah meragukan cara mengajar Bapak. Tapi, sekali lagi maafkan saya, Pak. Ternyata Bapak memang lain dengan guru-guru yang lain.”
“Lain bagaimana, Arman?”
“Bapak tak pernah emosi, meskipun sebenarnya Bapak merasa tersinggung dengan sikap saya.”
“Tapi semua itu tak ada gunanya, kan? Toh akibat eksprimen-mu itu, kamu dikeluarkan dari sekolah ini.”
“Ya, Pak. Saya sangat menyesal. Saya insaf sekarang.”
“Penyesalanmu sudah terlambat, Arman. Bagaimanapun Kepala Sekolah sudah memutuskan, engkau harus dikeluarkan dari sekolah ini. Terlalu mudah memang, tapi itulah kenyataan. Engkau harus menerimanya dengan sabar dan tawakkal.”
Kulihat wajah Arman semakin muram. Di antara sudut matanya kelihatan air menggenang. Nampaknya Arman betul-betul menyesal sekarang, bukan hanya sekadar kata-kata yang keluar dari bibirnya.
“Meskipun begitu, Bapak akan berusaha membantumu. Paling tidak Bapak akan berupaya agar Kepala Sekolah memberimu surat pindah. Masih ada jalan yang terbentang untukmu,” aku berupaya membesarkan hatinya. Bagaimana pun Arman termasuk siswa yang pintar di kelas yang aku asuh.
“Bapak punya kenalan seorang kepala sekolah di SMA Swasta Yayasan Anak Bangsa. Bapak akan menghubungi beliau, kalau kamu mau mungkin kamu bisa diterima di sana. Mudah-mudahan saja data untuk peserta Ujian Nasional tahun ini belum dikirim. Jadi kamu masih ada peluang untuk mengikuti Ujian Nasional nanti.” Aku berhenti sejenak. Da Minah meletakkan sepiring bakso kesukaanku di atas meja.
“Tapi kamu harus berjanji pada dirimu sendiri untuk berusaha memperbaiki sikapmu yang kurang layak itu. Yakinlah, permohonan maaf tidak cukup untuk mengubah kita menjadi baik, meski orang-orang memaafkan kesalahan kita. Yang lebih penting adalah upaya dari diri sendiri untuk berusaha menjadi baik. Bapak mendoakanmu agar kelak kamu menjadi orang yang baik dan sukses.”
Arman terpekur, mungkin kata-kataku cukup membuat dia insaf akan kesalahannya selama ini.
“Kamu makan bakso, Arman?”
“Tidak, Pak. Terima kasih,”
Tiba-tiba bel panjang empat kali berbunyi. Kulihat anak-anak mulai berhamburan ke luar kelas, pulang. Arman berdiri. Barancang-ancang untuk beranjak. Agak linglung seperti orang kehilangan semangat, ia berpaling ke arahku.
“Permisi, Pak. Saya pulang.” Ia menyalamiku khitmat, lalu melangkah ke luar kantin.
***
Aku buru-buru menuju ruang tunggu, takut terlambat. Padahal jadwal pesawat tinggal landas masih setengah jam lagi. Maklum, ini pengalaman kedua selama hidupku naik pesawat terbang setelah beberapa hari yang lalu aku terbang dari Bandara Sultan Iskandar Muda menuju Bandara Soekarno Hatta. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, bahwa suatu saat aku akan merasakan juga bagaimana perasaan berada dalam perut pesawat yang terbang di angkasa sana. Apalagi tanpa biaya serupiah pun. Ah, jika Tuhan menghendaki apa pun akan terjadi. Aku bergumam dalam hati.
Ini bermula ketika seorang teman yang bekerja di kantor Dinas Pendidikan Kabupaten memberikan selembar pengumuman kepadaku. Pengumuman itu tentang sayembara menulis cerpen bagi guru-guru SMA dan SMK yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional Jakarta. Iseng-iseng aku mengikutinya. Eh, ternyata karyaku terpilih sebagai salah satu cerpen di antara lima belas cerpen terbaik yang akan diikutsertakan dalam babak final di Jakarta. Untuk itu aku diundang ke Jakarta mengikuti seleksi babak final itu. Transportasi pulang-pergi, akomodasi, dan uang saku semua ditanggung oleh panitia. Suatu keberuntungan yang tak terduga.
Dan alhamdulillah, setelah mengikuti babak final karyaku mendapat peringkat ketiga di antara lima belas karya guru-guru se-Indonesia itu. Setelah tiga hari lamanya kami dibawa keliling Jakarta oleh panitia, hari ini aku harus kembali pulang ke kampung halamanku. Aku menumpang pesawat Garuda via Bandara Internasional Sukarno-Hatta. Sesampai di ruang tunggu aku memilih bangku yang menghadap ke landasan. Dari sini aku dapat menyaksikan langsung kesibukan di landasan sana.
Baru saja beberapa menit aku duduk sambil menikmati pemandangan di bawah sana, tiba-tiba dari arah depan sebelah kiri tempat dudukku kulihat seorang anak muda menatap ke arahku. Ia tersenyum. Aku ragu, mungkin senyumnya bukan untukku. Tapi tak ada orang lain di sampingku. Dan tiba-tiba aku seperti pernah melihat wajah pemuda dengan jidat lebar dan berambut ikal itu. Tapi di mana, ya?
Ia berdiri. Sambil menjinjing tas ransel di tangan kirinya, ia berjalan menuju ke arahku.
“Pak Husni?” Ia menyapaku ketika persis berhadapan denganku. Belum sempat aku menjawab, ia kembali mengajukan pertanyaannya.
“Bapak sudah lupa dengan saya?”
Aku berusaha keras mengingatnya. Sekonyong-konyong di hadapanku seperti tertayang sebuah adegan miris di kantin sekolah. Seorang anak muda dengan wajah penuh penyesalan menyatakan kesalahannya padaku. Tak salah lagi, dia adalah Arman!
“Arman?”
“Ya, Pak. Saya Arman, sang pembangkang itu,” serta-merta ia meraih tanganku, menyalamiku dengan khitmat sekali. Persis ketika kami terakhir bertemu di kantin sekolah.
“Arman, Arman. Rasanya sudah lama sekali kamu tanpa berita, di mana kamu selama ini?” Kuperhatikan ia dari ujung rambut hingga ke ujung sepatu. Ada perubahan drastis pada dirinya. Penampilannya mengisyaratkan aroma orang sukses.
“Setamat sekolah di SMA Swasta Yayasan Anak Bangsa dulu, saya mencoba ikut tes masuk UI, Pak. Alhamdulillah, saya diterima di Fakultas Sastra Jurusan Sastra Perancis. Setamat kuliah di UI, karena menerima beasiswa ikatan dinas, saya langsung diterima sebagai staf pengajar. Dua tahun kemudin saya melanjutkan S-2. Dan dengan doa-doa Bapak saat ini saya sedang menempuh pendidikan kandidat doktor di sebuah universitas di Paris, mendalami sastra Perancis.” Fasih dan lancar ia berbicara. Sungguh berbeda tiga ratus enam puluh derajat dengan keadaannya sepuluh tahun yang lalu. Tapi dari nada bicaranya tak terbersit sedikitpun gambaran kesombongan dari wajahnya. Bicaranya bersahaja dan apa adanya.
“Bagaimana keadaan Bapak sekarang? Ke Jakarta ini dalam rangka apa, Pak?” Pertanyaannya beruntun, seperti takut kehabisan waktu.
“Alhamdulillah, baik-baik saja dan masih mengajar di SMA dulu.” Aku juga menceritakan keadaan guru-guru sepeninggalnya dulu. Pak Jamal yang sudah almarhum, Bu Marni yang masih sendiri, Kepala Sekolah yang sudah pensiun, dan yang lain-lain. Tak lupa pula kuceritakan perihal keberadaanku di Jakarta ini.
“Bapak tak menduga, kamu menjadi orang hebat sekarang.”
“Ah, itu juga berkat dorongan Bapak dulu. Coba kalau saya tidak menuruti nasihat Bapak, saya belum tentu seperti sekarang ini, kan?”
“Ya, terutama sekali tentu berkat doa, belajar keras, dan kesabaranmu.”
Tiba-tiba dari arah speaker room terdengar pengumuman bahwa penumpang pesawat Garuda Jakarta – Banda Aceh dipersilakan memasuki pesawat, karena pesawat sebentar lagi akan tinggal landas menuju Bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh.
“Selamat kembali ke kampung halaman, Bapak. Jangan lupa sampaikan salam saya kepada keluarga dan bapak-ibu guru di sana.”
“Insya Allah,” sahutku. Aku melambaikan tangan kepada mantan muridku yang sebentar lagi akan terbang ke Paris, Perancis itu.****
Tentang Penulis
Penulis lahir di Bakongan lima puluh enam tahun silam dari ayah H. Datok Nyak Diwa dan Ibu Hj. Siti Ardat. Sejak SMA gemar membaca dan menulis. Menggeluti dunia sastra dimulai sejak di bangku kuliah yakni di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unsyiah. Pernah beberapa kali memenangi lomba menulis tingkat nasional diantaranya Lomba Menulis Cerita Pendek bagi guru-guru SMA/SMK/MA Tingkat Nasional Tahun 2009. Cerpen dengan judul ‘Bulohseuma’ terpilih sebagai Cerpen Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2009 sehingga memperoleh Tropi dari Depdinas kala itu. Di samping itu Buku Kumpulan Puisi penulis dengan judul ‘Ziarah Hati’ memperoleh Juara 3 dalam Lomba Menulis Buku Pengayaan Tingkat Nasional Tahun 2010. Buku Kumpulan Puisi penulis ‘Rumah Masa Depan’ juga mendapat penghargaan dari Kemendiknas Tahun 2011. Untuk itu penulis diundang ke Jakarta menerima penghargaan dari Kementerian Pendidikan Nasional.
Hingga saat ini penulis baru menghasilkan 4 buku; Kumpulan Puisi ‘Ziarah Hati’ 2010, Kumpulan Puisi ‘Rumah Masa Depan’ 2011, Kumpulan Cerpen ‘Senyum Terakhir Siti Sara’ 2016, dan Kumpulan Puisi ‘Doa Sajadah’ 2018. Sementara itu ada juga beberapa Kumpulan Cerpen dan Buku Kumpulan Puisi Bersama yang telah terbit baik regional, maupun nasional.
Mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP/SMA/SMK/MA sejak 1992 dan pernah menjadi Tutor pada Universitas Terbuka (UT) 2002-2008. Saat ini penulis mendapat amanah sebagai Kepala SMP Negeri 4 Kluet Utara, Aceh Selatan.
Dalam berkarya penulis acap menggunakan nama pena Bussairi Ende, B.S. Ende, atau Bussairi D. Nyak Diwa. Saat ini tinggal di Jalan Syaikhuna No. 12 Kompleks Pesantren Darurrahmah, Kotafajar, Kluet Utara Aceh Selatan.