Oleh Satria Dharma
Berdomisili di Surabaya
“Jangan berbicara sesuatu yang bukan kapasitas Anda. Anda tidak kompeten. Belajarlah agama kepada para ulama tafsir dan jangan menafsirkan agama dengan akal Anda sendiri.”
Saya sering sekali mendapat komentar semacam ini jika saya menulis sesuatu tentang agama dan ada orang yang tidak sepakat dengan tulisan saya. Mereka menganggap bahwa orang semacam saya, yang meski pun muslim sejak lahir dan terus belajar tentang agama, tidak layak mengemukakan pendapat saya tentang Islam yang saya ketahui dan pahami karena mereka tidak sepakat dengan pendapat saya. Tapi anehnya mereka menjadi pengikut fanatik dakwahnya mualaf yang baru masuk Islam. Orang-orang semacam ini bukan hanya bodoh, tapi juga sombong. Mereka tidak bisa menerima pendapat yang berbeda dengan apa yang mereka pahami dan berupaya untuk menghalangi orang lain menyampaikan pendapatnya. Orang semacam ini tidak mau membuka pikirannya lalu menyerap dan menyaring informasi dengan akalnya. Mereka hanya memompa emosinya agar membesar sehingga mudah meledak.
Mengapa saya yang muslim sejak lahir, selalu belajar agama, dan menjalankan ajaran agama dengan sebaik yang saya bisa dianggap tidak kompeten untuk bicara soal agama saya sendiri oleh orang-orang yang bahkan pengetahuan agamanya sendiri sebenarnya cetek? Ya itu tadi. Mereka ini bodoh dan menjadi sombong karenanya.
Mari saya ajak beranalogi. Apakah Anda yang tinggal di Depok kemudian menjelaskan tentang Jakarta lantas boleh dianggap tidak kompeten dan tidak boleh menjelaskan apa itu Jakarta? Apakah mereka yang sejak lahir sampai tua tinggal di Jakarta, maka dialah yang paling kompeten bicara tentang Jakarta? Apakah orang Betawi yang paling kompeten untuk bicara tentang Jakarta? Apakah orang Jakarta Pusat lebih paham Jakarta ketimbang orang Tangerang, sehingga orang Jakarta bisa melarang orang Tangerang bicara tentang Jakarta? Apakah yang tinggal lebih lama dianggap lebih kompeten untuk menjelaskan tentang Jakarta ketimbang orang yang baru pindah ke Jakarta?
Tidak ada satu orang pun, atau satu kelompok masyarakat pun, yang bisa dianggap paling kompeten untuk bicara tentang Jakarta. Setiap orang boleh menjelaskan seperti apa itu Jakarta sesuai dengan apa yang ia pahami, meski pun itu bisa sangat subyektif. Seseorang bisa saja menyatakan bahwa Jakarta itu kotor, semrawut, kumuh, menyeramkan, jahat seperti ibu tiri, mesum, atau indah, gemerlap, ramah, menjanjikan, sangat menyenangkan, tertib, disiplin, dan lain-lain. Orang yang lain bisa menjelaskan tentang Jakarta berdasarkan kondisi geografi, ekonomi, sosial, keamanan, potensi wisatanya, tempat-tempat hiburannya, dll. Semuanya sah saja.
Begitu juga bicara tentang Islam. Tidak ada satu ulama pun, atau kelompok ulama pun, yang bisa dianggap paling kompeten bicara tentang agama Islam. Orang Syiah jelas menganggap bahwa mereka lebih paham soal Islam ketimbang yang Sunni. Begitu juga sebaliknya. Tapi siapa yang bisa dianggap paling sahih dan kompeten untuk bicara soal penafsiran agama? Belum lagi soal mazhab fikih yang bisa berbeda satu sama lain. Jadi bagaimana kita bisa bilang bahwa kalau semua hal dikembalikan kepada Alqur’an dan hadist, maka akan terjadi kesepakatan? Itu hanya jargon saja. Faktanya tafsir Alqur’an sendiri ada banyak versi. Dan bahkan asbabun nuzul dari sebuah ayat bisa berbeda dan bahkan bertentangan. Itu sumbernya lho…!
Bagaimana kalau ada orang yang menganggap bahwa agama islam itu penuh kekerasan, kejam, irrasional, illogic, penuh pertentangan, dan berbagai tuduhan yang buruk karena pengalaman pribadinya dalam berhadapan dengan umat Islam? Ya itu sama subyektifnya dengan orang yang menyatakan bahwa Jakarta itu kota yang sangat kumuh, mesum, penuh kejahatan, dan tidak manusiawi. Dan jika itu ia sampaikan pada orang yang sangat mencintai Jakarta akan bisa menjadi pertengkaran.
Kalau kita mempelajari sejarah dakwah Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW, maka sebenarnya kita tidak perlu meradang dan menerjang jika ada yang memandang Islam dengan miring atau negatif. Lha wong Nabi Muhammad sendiri dulu pun diejek, dihina, dan didustakan oleh umatnya sendiri. Si pembawa risalah yang langsung menerima wahyu dari Tuhan sendiri pun dihina, diejek, dan bahkan mau dibunuh oleh umat yang hidup di lingkungannya. Padahal kurang baik, lembut, bijaksana apa Nabi Muhammad itu. Toh itu pun dihina, diejek, dilempari batu, dan bahkan selalu mau dibunuh oleh orang-orang yang tidak menyukai risalah yang ia bawakan. Kok bisa ya mereka itu bersikap demikian? padahal mereka itu bertemu dan berkomunikasi langsung dengan Nabi Muhammad? Tapi itulah fakta yang terjadi
Bayangkan dengan saat ini di mana agama Islam direpresentasikan oleh banyak umatnya yang munafik, pembangkang, intoleran, selalu menggunakan kekerasan, sadis, culas, dan lain-lain sifat buruk yang ada. Lalu apakah kita kemudian berharap agar agama Islam dianggap sebagai rahmat dan berkah bagi alam semesta ini jika umat lain selalu melihat hal-hal buruk dari umat Islam itu sendiri? Coba renungkan…
Bagaimana dengan konsep ‘Tuhan’?
Ya sama saja. Ada orang yang tidak percaya tentang adanya Tuhan dan ada yang mengaku bahwa setiap hari ia bertemu dengan Tuhan. Mereka sama subyektifnya. Ada yang mengaku mendapat pencerahan spiritual dalam hidupnya dan menjadi mualaf (lalu banyak yang memuja-mujinya). Tapi ada juga yang sepulang dari umrah malah merasa mendapat pencerahan untuk keluar dari Islam dan masuk ke agama lain (lalu dikecam dan dimaki-maki). Padahal keduanya sama benarnya dari perspektif masing-masing.
Ada orang-orang yang menganggap Tuhan itu kejam, tidak adil, tidak masuk akal, bodoh, tidak layak disembah, dan lain-lain, tapi ada ratusan juta orang yang setiap hari menyembah dan memohon kepada Tuhan. Ada yang menganggap para pemeluk agama adalah orang bodoh dan tidak menggunakan akalnya, tapi sebaliknya para pemeluk agama menganggap mereka sebagai orang tersesat yang akan menjadi umpan api neraka kelak.
Jadi siapa yang benar, yang atheis atau yang beriman? Ya bergantung dari mana Anda melihatnya. Jika Anda termasuk orang yang beriman, maka mestinya Anda percaya bahwa KELAK Tuhan akan menunjukkan kebenaran ada di pihak Anda. Anda masuk surga dan yang tidak percaya pada Tuhan akan masuk neraka. Tapi jika Anda tidak percaya pada Tuhan, maka semua hal tentang hari akhir hanyalah bulshit saja. Setelah manusia mati ya selesai. Tidak ada cerita lagi. Agama itu hanya dongeng zaman lampau bagi orang bodoh.
Bagaimana kalau ada orang yang menistakan agama Islam? Bagaimana kalau ada orang yang mengejek orang yang mengimani hari akhir sebagai orang bodoh?
Untuk hal ini saya mengusulkan agar kita membayangkan bagaimana dulu Nabi Muhammad ketika menyampaikan dakwahnya dan dihina, diejek, dilempari kotoran, diboikot, dan bahkan mau dibunuh oleh orang yang beliau dakwahi. Toh Nabi tidak marah dan ingin memukuli wajah para penghinanya. Bahkan beliau ketika ditawari oleh malaikat untuk membalas perlakukan buruk kaum yang melemparinya dengan batu dan kotoran menolak dan bahkan mendoakan yang baik pada penduduk Thaif yang menyakitinya. Jadi jika kita mengaku sebagai pengikut Nabi Muhammad SAW, maka hendaknya kita mengikuti cara Nabi dalam menghadapi para pembenci dan penghina agama kita.
Surabaya, 12 Mei 2022
Satria Dharma