Oleh Siti Raihan Salsabila B.S.
Hari Minggu merupakan hari yang sedikit menyebalkan bagiku. Karena di hari ini, aku yang berstatus sebagai seorang santriwati harus bangun jauh lebih awal sebelum menjelang subuh. Itu semua kulakukan mengingat fasilitas tempat jemuran di Ma’hadku yang masih jauh dari kata memadai.
Subuh Minggu kali ini, aku bangun pukul 03.55 dini hari. Aku bangun sedikit lebih awal karena subuh ini kain jemuranku sedikit lebih banyak dari biasanya. Tanpa banyak mengulur waktu, aku langsung bangun mengambil kain jemuran dan berjalan dengan sedikit berjingkrak-jingkrak untuk meminimalisir peluang terbangunnya santriwati lain yang bakal menjadi sainganku untuk mendapatkan tempat jemuran terbaik yang ada di Ma’hadku. Ah, terkadang politik sangat dibutuhkan di saat-saat seperti ini.
Aku tersenyum lega ketika mendapati tali jemuran masih kosong melompong. Tidak ada sehelai kainpun tergantung di sana. Dengan hati yang berbunga-bunga aku mulai menjemur kain-kainku di tempat favoritku. Tempat yang telah digelar dengan istilah ‘The Best Place’ oleh santriwati se-Ma’had. Dan tempat itu selalu berhasil kutempati setiap subuh Minggu.
Biasanya kokokan ayamlah yang menemaniku menjemur di pagi buta. Tapi subuh kali ini berbeda. Tidak ada suara kokokan ayam. Mungkin saja karena masih terlalu awal, jadi ayam-ayam itu belum terbangun. Di tengah keheningan itu, ketika aku baru menjemur setengah dari kain jemuranku, aku dikejutkan oleh kehadiran seorang santriwati yang mendadak ada di hadapanku. Hampir saja rohku melayang meninggalkan jasadku. Untungnya aku cepat beristighfar dan meyakinkan diri bahwa sesosok perempuan yang ada di hadapanku itu adalah seorang manusia. Akupun menghela napas lega dan cepat-cepat menyelesaikan aktivitas menjemurku. Ketika ingin meninggalkan tempat jemuran seperti sudah menjadi tata krama santriwati di sini untuk sekedar berbasa-basi.
“Ana duluan, ya,” ucapku.
***
Sudah menjadi kebiasaanku bermuraja’ah qabla subuh. Mencoba mengingat hafalan Al-Qur’an sambil menunggu azan subuh berkumadang. Tapi tidak untuk subuh ini, muraja’ahku terganggu hanya karena aku teringat pada perempuan yang menjadi temanku saat menjemur tadi. Entah kenapa sejak usai menjemur tadi aku selalu saja memikirkannya. Ya, mungkin karena wajahnya sangat asing dari penglihatanku. Aku sama sekali tidak pernah melihat perempuan itu sebelumnya. Siapakah dia? Apakah dia santriwati baru di sini? Jika memang dia santriwati baru, mungkin wajar saja aku tak mengenalnya. Tapi sebaliknya jika ternyata dia bukan santriwati baru, betapa autisnya aku karena tidak mengetahuinya padahal santriwati di sini hanya berjumlah lima ratusan.
Lamunanku tentang perempuan asing itu terhenti ketika suara mengaji seorang santriwan menggema ke seantaro Ma’had dari mikrofon mesjid. Aku beristighfar. Ah, betapa ruginya subuhku hari ini. Aku kehilangan banyak waktuku hanya untuk memikirkan hal yang tidak penting. Dan sekarang aku hanya mempunyai 10 menit waktu yang tersisa. Alhasil aku hanya dapat mengingat hafalanku sebanyak 15 ayat. Benar-benar disayangkan, pikirku.
***
“Kenapa, Was? Apa yag terjadi? Kok kelihatan buru-buru banget,” Anita melempariku dengan berbagai pertanyaan ketika aku baru saja kembali ke kamar.
“Enggak kenapa-kenapa,” jawabku sekenanya. Lalu aku duduk di atas ranjang tempat tidurku yang bersebelahan dengan Anita.
“Anita, setahu Anti di kelas XII-C ada santriwati baru, tidak?” tanyaku serius.
“Santriwati apa santriwan?” ledeknya mencandaiku.
“Ana serius, Anita. Ada, tidak?” tanyaku lagi agak kesal.
“Iya, Wasliah. Ana juga serius kok.” Anita menahan senyum.
Ya beginilah Anita. Sudah menjadi tabi’atnya. Dia memang sangat suka mencandaiku hingga aku kesal ketika aku begitu serius bertanya padanya. Akhirnya aku memilih diam dengan hati yang sedikit panas.
Melihat aku yang tidak lagi merespon, dengan senyum kemenangan karena berhasil membuatku kesal siang ini dia menghampiriku.
“Mulai lagi deh. Penyakit ngambeknya kambuh lagi.” Anita masih saja belum puas. Aku tetap diam dan menatapnya dengan ujung mata.
“Haha…. Oke, oke. Ana serius, Was. Memangnya kenapa sih?” Anita baru mau mulai serius.
“Ana cuma tanya, ada apa nggak? Bukan yang lain,” jawabku dengan sisa-sisa kekesalanku.
“Kayaknya enggak ada, deh,” Anita menjawab sekenanya.
***
Ini adalah minggu ketiga dari subuh inggu pertama kali aku berjumpa dengan perempuan berwajah asing itu. Sejauh ini aku masih saja belum mengetahui siapa dirinya. Padahal sudah tiga minggu berturut-turut jadwal menjemur dan mencuciku selalu sama dengannya. Tapi belum terjadi obrolan sama sekali di antara kami.
Rasa penasaranku kepada perempuan itu semakin menjadi-jadi setelah mendengar keterangan dari Anita bahwa di Ma’had ini tidak ada santriwati baru dalam beberapa bulan ini. Lantas jika dia bukan santriwati baru kenapa dia hadir tiba-tiba saja di Ma’had ini? Aku bahkan tidak mengenalnya dan sama sekali tidak mengingat wajahnya.
Begitu juga dengan Anita, dia ikut penasaran setelah mendengar ceritaku yang sering bertemu dengan perempuan misterius itu tetapi tidak pernah saling menyapa. Anita sangat ingin bertemu dengan perempuan itu tetapi selalu saja tidak berhasil karena jadwal menjemur dan mencuciku dengan Anita tidak pernah bersaman.
Jadwal mencuciku di hari Minggu, siang hari menjelang dhuhur. Aku memilih waktu itu karena pada saat-saat itulah sumur kami agak sepi dan aku sangat suka suasana seperti itu karena aku akan lebih leluasa mengambil tempat untuk mencuci pakaian-pakaianku.
Siang Minggu kali ini hanya kami berdua yang mencuci diantara santriwati-santriwati yang berada di sumur. Sedangkan santri yang lain hanya sekedar untuk mandi atau berwudhuk. Setelah santriwati-santriwati yang berkepentingan mandi dan berwudhuk itu selesai, tinggallah kami berdua di sumur yang mulai hening itu.
Entah kenapa, aku merasa perempuan misterius itu memerhatikanku. Pandangannya seakan hanya tertuju kepadaku, bukan pada baju yang ia cuci. Karena merasa diperhatikan terus,akhirnya aku memberanikan diri untuk membalas pandangannya. Benar saja dia sedang menatapku. Karena pandangan kami sudah saling bertemu, tidak ada pilihan lain selain menyapanya.
“Kayaknya jadwal kita selalu sama, ya,” ucapku mengawali pembicaraan.
Dia tersenyum manis kepadaku. Ah, ternyata dia seorang yang pemurah senyum.
Dalam waktu yang singkat aku berhasil menginterviewnya. Sekarang aku sedikit mengenalnya. Ternyata dia adalah santriwati yang berasal paling jauh dari Ma’had ini. Dia dari Pidie Jaya, tepatnya Meureudu. Aku kagum padanya karena dalam usia yang masih belia dia nekad merantau jauh ke Aceh Selatan untuk menimba ilmu. Suatu keberanian yang patut diacungi jempol.
Perkenalan kami terputus karena aku lebih dulu menyelesaikan cucianku. Aku mengakhiri obrolan singkat itu dengan harapan di waktu lain kami bisa kembali menyambung percakapan yang terputus. Dan dia setuju.
***
Minggu ini adalah minggu kedua setelah terjadi obrolan antara aku dengan Cut Jeumpa, gadis yang awalnya kuanggap wanitamisterius. Jeumpa, nama yang indah bukan? Nama yang sangat mencerminkan identitas ke-Aceh-annya. Kata Cut yang ada pada awal namannya itu mengisyarahkan bahwa dia bukanlah perempuan biasa. Setidaknya kakeknya atau kakek dari kakeknya pernah menjadi raja di Aceh. Ya, Jeumpa adalah keturunan “Teuku”, identitas keturunan dari raja Aceh.
“Sekarang nama Teuku dan Cut itu tidak ada apa-apanya lagi, Was. Tidak menjadi sebuah keagungan dan tidak patut untuk dibanggakan. Menurutku semua orang di dunia ini sama saja, baik dia dari keturunan raja maupun dari keturunan biasa, tetap yang menjadi titik penilaian Allah pada ketaqwaannya. Bukan begitu?” Begitulah respon Jeumpa atas pujianku terhadap gelar Cut yang ia miliki.
Aku mengiyakannya saja.
***
Entah apa yang terjadi diantara kami. Hubunganku dengan Anita tidak seperti biasanya dan itu sudah berlangsung lama. Ya, itu bermula dariku. Aku yang menjahuinya. Aku yang cuek dengannya. Ini semua terjadi karena kebiasaannya sering bercanda ketika aku serius. Sampai-sampai ketika aku berbagi cerita tentang Jeumpa dia masih saja begitu.
“Hahaha, Anti jangan buat diri kayak orang gila, Was. Manaada Jeumpa. Itu hanya hayalan Anti, Was.” Itulah komentar terakhir Anita setelah aku bercerita tentang Jeumpa. Setelah itu aku memilih untuk menutup diri dari Anita, juga dari teman-teman yang lain. Aku tak pernah lagi bercerita tentang Jeumpa.
“Was, Anti mau kemana sih? Kasih tau Ana,” pinta Anita padaku yang buru-buru mau pergi.
“Bukan urusan Anti,” jawabku sinis.
“Jangan begitu dong, Was,” rayunya.
“Plese, jangan ngomong sama Ana kalau Anti pengen Ana nggak tambah benci sama Anti, Ta.”
Tiba-tiba saja aku mengeluarkan kata-kata kasar pada Anita. Aku seperti tidak sadar. Dan setelah mengatakan itu aku keluar dari kamar meninggalkan Anita yang mulai menitikkan air matanya. Aku tak ingin memikirkannya. Yang terpenting bagiku sekarang adalah bertemu dengan Jeumpa untuk mendengarkan cerita-cerita pengalamannya.
Jeumpa tersenyum ketika melihat aku keluar dari lorong sebelah kanan asrama II menuju ke arahnya. Aku duduk di sebelah kirinya. Kuperhatikan wajahnya dari samping dan dalam hati aku kembali memuji kecantikan asli gadis tanah Rencong ini. Walaupun dia sering kelihatan pucat pasi tapi itu sedikitpun tidak mengurangi kecantikannya. Lama-lama kuperhatikan wajahnya, sepertinya ada yang berbeda dengannya hari-hari sebelumnya. Wajahnya kelihatan sedikit muram.
“Kenapa Jeumpa? Kok muram banget, sih?” aku mulai menanyakan perihalnya.
Ternyata benar. Jeumpa memang sedang sedih hari ini.
“Cerita saja, Jeumpa. Aku siap mendengarkanmu,” ucapku bak seorang hero.
Tanpa ragu diapun mulai bercerita. Jeumpa merindukan keluarganya, terutama Uminya.
“Memangnya Umimu nggak pernah ke sini?” tanyaku merespon.
Jeumpa menjawab bahwa Uminya tak pernah tau tentang keberadaannya. Aku mulai bingung. Karena melihat kebingunanku, Jeumpa pun berinisiatif untuk menceritakan semua tentangnya.
Dan dari cerita itulah kekagumanku padanya bertambah-tambah.
Jeumpa adalah anak yatim. Abahnya meninggal ketika dia berusia 18 tahun, tepatnya tahun 2000. Abahnya meninggal sebagai korban konflik Aceh beberapa belas tahun yang lalu. Pada waktu itu, selain kaya Abahnya juga memegang jabatan sebagai Kepala Desa di desanya.
Suatu malam, tepatnya tanggal 22 Mei, rumahnya kedatangan sekelompok anggota TNI. Ketika itu hanya ada dia dan Abahnya di rumah. Sedangkan Umi dan adiknya, Salwa berada di rumah saudara mereka yang sedang mengadakan hajatan di Padang Tiji.
Anggota TNI itu menggrebek rumahnya. Ternyata ada yang menfitnah Abahnya, bahwa Abahnya telah membantu GAM, gerakan separatis itu. Tanpa diberi kesempatan untuk membela diri Abahnya langsung ditembak sebanyak tiga kali. Dan hanya suara teriakan ‘Allahu Akbar’ Abahnya yang ia dengar di setiap tembakan. Setelah itu, ia tak sadarkan diri. Ketika sadar Jeumpasudah berada di Aceh Selatan. Dia dibuang di pinggir jalan. Dia tidak tahu apa yang terjadi terhadap dirinya selama perjalanan itu.
“Sekarang apa yang ingin kau lakukan, Jeumpa?” tanyaku setelah mendengar cerita Jeumpa yang sangat memilukan itu.
Jawaban Jeumpa hanya satu. Dia ingin bertemu dengan Umi dan adiknya. Dia sangat merindukan mereka. Aku melihat airmata mengalir deras dari mata beningnya. Aku tak dapat menahan diri. Aku juga ikut menangis bersama Jeumpa.
“Ya, Jeumpa. Aku akan membantumu. Aku janji akan membawamu pulang ke Meuredu libur semester ini. Aku janji, Jeumpa,” ucapku sungguh-sungguh. Aku melihat ada sekilassenyum di sudut bibirnya.
Ketika keheningan terjadi di antara kami, dari lorong sebelah kanan asrama II terdengar suara gaduh. Suara jalan dan orangberlari berpuluh-puluh pasang kaki menuju ke arah kami. Aku dan Jeumpa ketakutan.
Aku sangat terkejut ketika dari lorong itu keluarlah Mak, Abang Awik, Ustadzah Sintia –-kepala asrama kami–-, Anita, dan beberapa teman-temanku yang lain. Sebagian mereka berdiri di pintu lorong untuk menghalangi yang lainnya masuk. Mak menangis dan berlari memelukku. Aku bingung apa yang terjadi dengan Mak. Aku juga bingung kenapa mereka tahu keberadaanku dengan Jeumpa di sini.Dan kenapa pula mereka beramai-ramai kemari seperti akan menangkap orang berkhalwat? Pahadal aku hanya berdua dengan Jeumpa.
“Wasliah, ayo kita pulang, Nak,” ajak Mak sesugukan.
“Kenapa, Mak? Apa yang terjadi? Ayah sakit kah?” tanyaku panik. Mak tak menjawab pertanyaanku. Beliau dibantu bang Awik memegangiku, mengajakku pulang.
“Tunggu dulu, Mak. Aku mau pulang. Tapi setidaknya biarkan aku pamit terlebih dahulu pada Jeumpa,” ucapku sambil menunjuk Jeumpa yang hanya terdiam menyaksikan semua ini. Jeumpa hanya mengangguk saat aku kembali berjanji bahwa aku akan memenuhi keinginannya.
Mak tambah terisak-isak melihat keadaanku yang mengucapkan ikrar pada Jeumpa. Dengan rawutnya yang penuh keheranan, bang Awik membawaku paksa dan aku hanya bisa melambaikan tangan pada Jeumpa.
Di depan asrama ketika menyerahkan tas yang berisi pakaianku pada Mak, tiba-tiba Anita menangis dan memelukku erat-erat.
“Maafkan Ana, Wasliah. Ana yang meminta ustadzah menelepon Mak untuk datang kemari. Ana harap Anti tidak tambah benci sama Ana. Ana sayang Anti, Was. Lekas sembuh dan kembali menjadi Wasliah yang Ana kenal,” ucap Anita dalam isakannya.
***
Aku, Mak, dan bang Awik duduk di bangku antri di sebuah tempat pengobatan tradisional yang ada di kampung tetangga. Entah apa yang terjadi dengan Mak, beliau selalu menangis melihat tingkahku apalagi ketika aku bercerita tentang Jeumpa dan janji-janjiku pada Jeumpa.
“Mak sakit apa?” tanyaku mencoba menghilangkan sesaat pikiranku tentang Jeumpa. Mak tak menjawab, tapi hanya memandangku dengan air mata yang menetes di pipinya.
Ketika tiba giliran kami dipanggil, Aku, Mak, dan bang Awik memasuki ruangan pengobatan itu. Sang dukun, perempuan itu memerintahkan agar aku dibaringkan di tempat pesakitan. Tapi Mak diam saja. Aku menoleh pada Mak mengisyarahkan bahwa Mak harus menuruti apa yang dikatakan si dukun.
“Ayolah, Mak. Nenek itu akan mengobati Mak supaya Mak cepat sembuh,” bujukku.
“Wasliah! Kamu yang harus berbaring di situ,” bentak bang Awik tiba-tiba. Aku kaget kenapa bang Awik malah marah padaku?
“Aku tidak sakit, bang,” bantahku.
“Jangan banyak cakap. Cepat, berbaring!” bentakan bang Awikmembuatku terpaksa menuruti keingianannya.
Nenek dukun itu memeriksaku. Setelah menghembuskanku dengan asap kemenyan dan jampi-jampi dia berkata pada Mak.
“Maaf. Bu. Saya tidak bisa mengobatinya. Tempat berobatnya bukan di sini. Lebih baik dia dibawa ke Rumah Sakit Jiwa.”
“Tidak. Aku tak mau. Aku tidak gila, Mak. Aku harus kembali ke Ma’had. Aku sudah berjanji pada Jeumpa akan membawanya pulang ke Meureudu. Antar aku kembali, Mak. Aku ingin bertemu Jeumpa…. Tolong aku, Mak.”
Mak tak menjawab. Mak semakin terisak. Dan orang di sekitar kami hanya menggeleng iba melihatku.
Tamat
Jumat, 29 Desember 2017
Tentang Penulis
Siti Raihan Salsabila B.S. adalah anak ketiga dari enam bersaudara dilahirkan pada 16 Februari 2000 di sebuah kota kecil Kabupaten Aceh Selatan, Aceh. Anak dari pasangan Drs. Bussairi D. Nyak Diwa dan Sri Helma Rizqi ini sejak SMP sudah gemar membaca dan menulis. Status ayah dan ibunya sebagai guru sangat mendukung kegemarannya di dunia membaca dan menulis itu. Semasa di bangku SMP, Raihan sudah mulai menyalurkan hobi dan kegemarannya. Pernah memenangkan lomba baca puisi di tingkat sekolah dan lomba menulis cerpen tingkat kabupaten. Di samping itu, di bidang akademik Raihan pernah memenangkan lomba Olimpiade Siswa Madrasah Aliyah Tingkat Provinsi Aceh tahun 2017. Dan di tahun 2018 menggondol predikat lulusan terbaik dari Madrasah Aliyah Darul Aitami Kabupaten Aceh Selatan dengan memperoleh juara umum.
Saat ini Raihan tercatat sebagai mahasiswa pada Jurusan Kimia, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Darussalam – Banda Aceh. Aktif di beberapa organisasi mahasiswa seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Himpunan Mahasiswa Aceh Selatan (HAMAS), Himpunan Mahasiswa Kimia, dan aktif sebagai Asisten Laboratorium Kimia di kampusnya.