Oleh Tabrani Yunis
Akhir-akhir ini, sejak tempat ngopi favorit Gerobak Arabicca coffee pindah ke kawasan Lamnyong, aktivitas ngopi pindah ke A One yang letaknya tidak jauh dari POTRET Gallery, di jalan Prof. Ali Hasyimi, Pango Raya, Banda Aceh. Alasannya tentu karena lidah sesuai dengan rasa kopi yang disajikan. Selain itu, penulis sering membawa anak dan istri menikmati sajian menu makanan India yang berada di kawasan bangunan yang sama. Di Indian Coffee house Aceh ini, penulis bisa berkelana imaji. Mengenang pengalaman perjalanan di Madras, India pada tahun 2005.
Tak dapat dipungkiri bahwa semakin jauh kita berjalan, semakin banyak yang kita bisa lihat dan rasakan. Bahkan seringkali kita menemukan hal- hal yang aneh atau asing dari apa yang pernah kita lihat dan rasakan di lingkungan keseharian kita. Tentu kala kita berada di tempat lain yang berbeda budaya, berbeda bahasa dan lainnya. Terkadang, hal-hal tersebut membuat kita tertawa atau malah merasa heran. Padahal perbedaan itu, bisa jadi karena perbedaan bahasa. Misalnya, ketika di tahun 2005, penulis mendapat kesempatan membawa 10 orang anak Aceh ikut kegiatan International sport year dan children camp di Pestalozi foundation, Trogen, Switzerland. Ya, ketika berada di sana, penulis banyak menemukan nama kota atau tempat yang dekat atau familiar dengan Aceh. Misalnya nama kota Bern yang di Aceh ada Bireun. San Galon, yang di Aceh ada Sangkalan. Begitu juga kalau ketika beberapa kali ke Phuket, penulis menemukan nama daerah yang sama dengan kecamatan di Aceh Jaya, yakni Panga atau Phanga.
Lalu, apa kaitannya dengan Indian Coffee house of Aceh di jalan Prof. Ali Hasyimi tersebut? Ada baiknya penulis bernostalgia sejenak. Ya, suatu ketika di tahun 2005, di bulan Februari, saat penulis masih dalam keadaan kalut dan tidak stabil, karena mengalami musibah bencana tsunami. Saat itu, penulis mendapat kesempatan berkunjung dan belajar tentang child help line, sebuah metodologi penangan kasus-kasus kekerasan terhadap anak di India. Penulis bersama sejumlah sahabat yang bekerja untuk isu anak-anak, dibawa oleh Plan Internaional yang berkantor di Jakarta. Mereka sudah lama memiliki pengalaman dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap anak. Oleh sebab itu, kami mendapat kesempatan untuk mempelajari tentang cara-cara penagangan kasus yang menimpa anak- anak di India. Pada waktu yang bersamaan ada wilayah dekat pantai di Nagatipatinem yang dihantam dahsyatnya gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004.
Kesempatan ini, bagi penulis sangatlah berguna dan berharga, karena ketika itu penulis masih diselimuti trauma tsunami, karena kehilangan anak dan isteri serta harta benda, penulis mendapatkan kesempatan untuk bisa berangkat ke India. Dalam niat saat itu, penulis bisa mencari orang-orang kesayangan yang hilang. Siapa tahu, atas kekuasaan Allah, salah satu dari mereka ada yang terdampar di sana. Maka, ketika penulis ditelpon oleh pihak Plan Internaional pada saat itu, langsung memberikan jawaban yang menyatakan kesediaan, walau pada saat itu, penulis sudah tidak memiliki passport lagi. ya sudah hanyut dibawa tsunami. Namun, penulis sanggupi dan mengurus passport baru di Lhok Seumawe, Aceh. Alhamdulilah prosesnya cepat dan penulis kembali memiliki passport yang memudahkan dan bisa berjalan ke luar negeri lagi.
Perjalanan ke India saat itu dilewati lewat Jakarta, setelah bertemu dengan teman-teman yang akan berangkat bersama. Setelah mendapatkan pembekalan, kami berangkat lewat Bandara Soekarno- Hatta, Cengkareng, lalu transit di KL dan melanjutkan perjalanan ke India. Kota tujuan kami adalah Chenai, Madras, India. Perjalanan dari KL ke Chenai, mungkin sekitar 3 jam ya. Jadi lupa, karena sudah lama.
Kegiatan pertemuan dan training itu berlangsung di sebuah hotel di kota Madras. Setelah 3 hari melakukan workshop di hotel ini, kami berangkat menuju Madurai, Tricy dan Nagatipatnem dengan pesawat dan melanjutkan perjalan dengan bis wisata ke Nagatipatinem yang letaknya dekat pantai Lautan India. Nah, apa yang membuat penulis menuliskan tulisan ini? Jawabnya adalah karena ada yang menarik untuk ditulis dan dibagikan kepada pembaca.
Ya, ketika memasuki hotel di Madurai, penulis dikagetkan dengan sebuah pengumunan tentang Festival dosa. Pernahkah pembaca mendengar atau menyaksikan festival Dosa? Pasti dalam hati akan bertanya, lho kok ada festival dosa? Masa iya sih dosa difstivalkan? Ya, bisa saja sejumlah pertanyaan akan mencuat di pikiran kita saat mendengar ada pengumuman atau selebaran tentang festifal dosa tersebut. Kita pasti akan berkata, ah gila, ada -asa saja manusia sekarang, dosa saja sudah difestivalkan. Ini benar-benar kerjaan orang gila. Ya begitulah sejumlah ungkapan yang muncul dari mulut kita.
Nah, benarkah festival dosa itu sebuah pekerjaan yang gila? Jawabnya tidak. Setelah penulis menggali informasi pada orang-orang India yang penulis temukan di dalam perjalanan itu, penulis menemukan jawabannya. Ternyata dosa, bukanlah dosa yang kita fahami di dalam bahasa Indonesia, yang dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI atau dosa dalam konteks agama, tetapi dosa di India adalah nama makanan atau penganan. Bukan hanya dosac tapi juga ada dosa mashala, idli dan lainnya.
Jadi Festival dosa itu adalah acara festival makanan yang diperlombakan oleh masyarakat di India. Dosa dan dosa masjalah bisa ditemukan ketika kita sarapan pagi di India. Rasa penasaran itu pun hilang setelah tahu dan mencoba menikmati dosa di di India itu. Sehingga, rasa kaget sepert “ Wah, ini benar-benar keterlaluan. Masa iya sih, dosa difestivalkan? Apa benar dosa menjadi bahan untuk dilombakan atau difestivalkan? Semua telah terjawab.
Setelah lebih 10 tahun berlalu, keinginan untuk menikmati sajian menu India itu sering muncul. Ingin bisa menikmati lagi makanan India. Maka, ketika di dekat POTRET Gallery ada warung atau Cafe India, penulis kini bisa menikmati berbagai sajian menu India. Ada parota, ada dosa, nasi Briyani dan lainnya. Ramainya aroma menu India di cafe ini, penulis bisa mengobati rindu memakan atau menikmati makanan India.