Recommended

Most Popular

Untaian Sajak-Sajak Pril Huseno

 

Siluet

Postingan Terkait

Oleh Pril Huseno

Mimpi tak sempat datang

Tapi langsung duduk di pangkuanmu.

Bagai meminang anak pelangi

Mungil kau dekap aneka warna warni.

Lalu tubuhmu pun memancar cahaya,

Menyiram kuning jingga dengan merahmu.

Alam pun tersipu, malu ditatap

Senyummu….

Knife

Oleh Pril Huseno

Apakabar malam?

Senyummu menggores langit.

Nasibmu purna dibajak angkara.

Lantas…

Mengapa ada mentari dan rembulan?

Kuncupnya bagai lipstick bernoda darah.

Kilaunya bak belati mencari mangsa.

Tenggelam dalam nada nada biru,

tau tau berkalang tanah.

Akhirnya telah tiba…

Jakarta, 07 November 2021

Solilokui Minimi

Pril Huseno

Ketika kembara selewat pagi mengajakku berdialog tentang zaman dan adab yang membujur kaku sudah

Dawai gitarku menjawab pelan dan hening, dentingnya terdengar sampai ke istana yang muak.

Lengkingan melodiku masih beruntung agaknya

Tak tercemar sampah dusta berbungkus kembang setaman

Apa yang kau bawa ke arah sana kawan, hingga aromanya jadi amis tak karuan.

Maunya harap jadi gagap, maunya tawa jadi duka

Tapi dawai gitarku masih juga menyanyikan lagu cinta

Cinta dalam hati, merana dalam diri, mati dalam sunyi

Demikian syair syair lagu bujang tua…

Dan tak lupa bernyanyi tentang mereka yang kekenyangan

Tentang makanan Jepang…

China, Arab atau India

Atau sambalado khas Minang di mana kita saling menyantap penuh nafsu dan angkara lalu santapan kita dihabisi oleh liur orang orang lapar dari sudut jalan menyeringai kalut memandang hidangan nikmat dari surga.

Surga orang orang calon penghuni siksa

Aku pun menemani gitarku bernyanyi teriakkan lagu rossa rossa

Tentang dosaku pada Sissi dan Ismutia, juga Ruth

Terjengkang tertawa laknat sana sini menabur petaka

Mana lagi mangsa yang kurampok semasa muda

Aiiiiiihh…., ada makhluk aneh di sudut utara

Menatapku penuh sorot mesra

Dan anggun…

Entah darimana datangnya sorot itu, apakah pancaran bola mata serigala

Atau hewan buas piranha …

Siap melumat tulang dan dagingku, tulangmu kawan, juga tulang-tulang yang bertualang di gedung angkuh paripurna.

Konyol sekali kisah cinta kita yang disenandungkan dawai dawai putus ini…

Bergurindam dua belas tambah dua puluh empat stanza

Genit melenggak lenggok bagai putri salju

Mampuslah mereka yang tertipu oleh malam malam jahanam pembawa robeknya jiwa

Karena mereka tak mampu berlaku ucap jujur bagai para nabi.

Zeth, Mari sini kita berbincang tentang perut yang telah maju menuju pusara.

Monumen keserakahan kecil bukti kita tak mampu berbicara dengan diri kita sendiri.

Ironis, padahal setiap saat, menit, waktu, kita berbincang dalam bisu dengan gawai dan surat kabar yang hampir mati.

Tapi kebanyakan kita tak lagi pandai memelihara kesantunan peradaban lisan.

Kita jadi makhluk makhluk aneh dengan kepala tertunduk, berjalan ke sana kemari atau duduk, atau berdiri mematung tetapi tetap dengan kepala tertunduk.

Kita jadi spesies paling aneh di semesta alam ini, sementara hewan pun masih bebas meraung, menerkam-mengejar dan berkomunikasi dengan sesamanya dalam Bahasa yang tidak kita mengerti.

Tapi hewan tidak duduk, tegak mematung atau Ngariung berkeliling dengan kepala tetap tunduk di tengah kebisuan.

Sementara kita kehilangan strategi kebudayaan untuk mengembalikan kehidupan.

Ruth, kamu yang paling tenang ketika kuajak berdiskusi

Tidak seperti Sissi yang maunya bergelinjangan, atau Ismutia yang rada gila.

Ruth, jawab aku. Zaman apa ini. Dirimu paling suka menerangkan dengan sedikit berfilsafat ala sekolah minggu.

Zaman ini, zaman Kala katamu, Kadangkala gila kadangkala waras. Tapi yang mampu menerangkan selanjutnya adalah orang lupa ingatan selewat tadi. Karena diapun tetap sejuk, tak soal bumi mau pecah sekalipun. Aku ingin sejuk seperti dia, katamu.

Lalu kuberi engkau Ruth, sekuntum mawar merah, tanda kasihku…

Agar drama ini segera berakhir, sudah barang tentu…

Yogyakarta, 24 Oktober 2021

Embun Pagi dan Hujan, Namaku

Oleh: Pril Huseno

Embun pagi dan hujan, namaku…

Usah kau bertanya melulu nanti aku bosan menjawab.

Aku terlahir dari kerinduan matahari dan pelangi

Tumbuh dengan kasih sayang awan berarak

Bermain dengan bayu dan rintik

Aku diasuh oleh bibi lembayung

Dengan kasih sayang mentari pagi yang hangat

Mataku indah bagai telaga kahuripan

Airnya biru bak danau situ Cilembang

Bila subuh hari, kubasuh wajah rembulan dengan air surgawi

Kusirami dengan percik kesejukan,

Agar segar terbangun menyongsong mentari

Aku basah, iya.. Karena aku juga hujan

Yang memberi kehidupan pada semesta alam.

Jangan bertanya asalku darimana

Tanyalah pada paman kraton nun jauh di sana

sepiring cawan sekapur sirih telah diperadukan

Tinggal menanti kabar yang datang

Tapi telah kuberi tau dirimu wahai bujang

Namaku hanya embun dan hujan

Yang lebatnya bersuara merindukan…

Yogyakarta, 18/10/2021

Redaksi hanya melakukan penyuntingan teknis, seperti: - Mengoreksi kesalahan ejaan, tanda baca, dan struktur kalimat. - Mengatur format dan tata letak teks. - Memastikan konsistensi gaya penulisan. Namun, redaksi tidak melakukan perubahan pada: - Isi dan substansi teks. - Pendapat dan opini penulis. - Data dan fakta yang disajikan. Dengan demikian, penulis tetap bertanggung jawab atas isi dan substansi teks yang ditulis.

Kisah Seorang Pria
Izinkan aku bercerita tentang seorang pria...
Eros, Thanos dan Kita
“manusia dianugerahi akal yang denganakal itu,...
Membaca Sebagai Lifestyle
Feri Irawan Kepala SMK Negeri 1...
Korupsi, Kapankah Berakhir?
Oleh: Siti Hajar Korupsi dalam sektor...
Bir Pala darı Negeri Tuan Tapa
Oleh Teuku Masrizar Selesai makan siang...

SELAKSA

Welcome Back!

Login to your account below

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Add New Playlist