Oleh Khairudin Budiman
Kepala SMA Negeri 1 Matangkuli, Aceh Utara
Entah kenapa tiba-tiba di Cokro TV, sebuah saluran YouTube yang dikelola oleh Ade Armando, Denny Siregar dan Eko Kunthadi, menayangkan tentang kisah Zainab yang menikah beda agama.
Narasumbernya Guntur Romli. Sang narasumber yang menceritakan tentang kisah Zainab tidak lupa membumbui bahwa inilah pengalaman hidup “memalukan” Rasulullah SAW. Kata memalukan yang disematkan oleh Guntur Romli seolah membuat cacat bagian hidup Rasulullah SAW.
Selebihnya apa yang diceritakan oleh Guntur Romli mengkonfirmasi apa yang pernah saya baca dalam beberapa Sirah Nabawiyah, termasuk dari pengarang non muslim Karen Armstrong, Mohammed the Greatest Prophet All the Times.
Benar bahwa Rasulullah SAW menikahkan putri sulungnya Zainab (hasil pernikahan dengan Khadijah RA) dengan Musyrik Pagan, Abu al-As bin al-Rabi’. Pernikahan itu berlangsung sebelum Muhammad SAW memperoleh wahyu pertama serta wahyu yang melarang pernikahan beda agama. Pernikahan itu boleh dibilang saat usia Zainab masih belia, karena Zainab sendiri wafat pada usia yang relatif muda, 29 tahun. Sementara sang menantu Abu Al-As adalah orang yang taat beragama dan penuh komitmen.
Setelah adanya wahyu, Rasulullah meminta berpisah Abu Al-As dengan Zainab. Namun istri tetap milik suami, bukan hanya tradisi Arab, namun juga ajaran agama. Bahkan dalam perang Badar kedua menantu dan mertua ini saling berhadapan. Abu Al-As sangat menghormati Rasulullah, setengah hati pula beliau bertempur. Perang yang dimenangkan oleh Muslim membuat Abu Al-As menjadi tawanan. Rasulullah melepaskan Abu Al-As dengan syarat Zainab dikembalikan ke Rasulullah, karena Abu Al-As belum bersedia menjadi muslim. Sayyidatul Zainab akhirnya tinggal bersama Rasulullah di Madinah
Abu Al-As juga pernah memimpin kelompok dagang Mekkah ke Madinah dan mereka kembali ditangkap. Abu Al-As meminta perlindungan dari Zainab. Namun karena Zainab merasa status mereka tidak sah, Zainab melapor pada muslimin Madinah. Rasulullah melepas kembali Abu Al-As, karena beliau harus mengembalikan barang dagangan ke Mekkah. Di sini menunjukkan bahwa Abu Al-As orang yang sangat amanah.
Setiba di Mekkah, Abu Al-As berkata “utang saya pada kalian sudah saya tuntaskan, kini saya akan kembali ke Madinah, bersyahadat dan berumah tangga dengan Zainab, kekasih saya”. Akhir romansa yang menghanyutkan, Abu Al-As dan Sayyidatul Zainab berumahtangga setelah Abu Al-As menjadi muslim. Mereka memiliki dua anak, Umamah dan Ali.
Apakah peristiwa itu membuat kisah hidup Rasulullah SAW memalukan? Bagi saya, tentu saja tidak. Semua yang terjadi dalam hidup Rasulullah adalah syariah, artinya Allah menunjukkan bahwa tidak boleh pernikahan beda agama. Hidup terpisah sampai kemudian beriman keduanya. Semua kisah di atas, pasti sudah di”skenario kan” Allah, karena bisa saja Allah mengetuk hati Abu Al-As untuk beriman sedari awal. Bagi saya, ini bukan hanya tentang kisah romansa Zainab dan Abu Al-As, namun menjadi penguat syariah, bahwa Rasulullah saja memisahkan anaknya yang bersuami dengan musyrik. Jelas sekali pesannya dan tidak ada bagian yang memalukan, termasuk pujian yang disampaikan oleh Karen Armstrong.
Lalu bagaimana dengan Ahlul Kitab? Ini khilafiyah banget, kriteria yang sangat sumir, nyaris tidak ada lagi di zaman sekarang.
Saya pikir kalau Guntur Romli mau jadi influencer atas pernikahan beda agama staff ahli presiden, ceritakan saja secara objektif tak perlu tendensius. Pengarang buku seperti Karen Armstrong yang non muslim saja melakukan riset atas kehidupan Rasulullah dan sangat mengagumi Rasulullah Muhammad SAW, namun sampai hari ini tidak beriman. Urusan iman, urusan hidayah, Allah penentunya. Sementara urusan syariah, Nabi Muhammad SAW membawa risalah ajaran Allah, pasti paham dan sudah benar apa yang dilakukannya. Kenapa harus “memalukan”?
Matangkuli, 26 Mar 2022