Oleh Ahmad Rizali
Pendiri Ikatan Guru (IGI), Berdomisili di Depok
Membaca To Kill A Mockingbird, karya Harper Lee membawaku mengingat ulang pengalaman masa kecil di kota kecil, buku masa SD yang kubaca dan “Toto Chan” karya Tetsuko Kurayanagi. Karya ini, yang ujar sahabatku menjadi bacaan wajib murid jenjang SMA di USA juga mendukung tesisku tentang lebih baiknya anak anak bersekolah di SD Inpres di pelosok Indonesia daripada SD “bermerk”, lho ?
Di SD Inpres, guru lebih sering tak ada dari pada SD bermerk, sehingga waktu kosong (scholae) banyak dipakai murid-murid bermain sesuai imajinasi seusia mereka. Scout gadis kecil yang tanpa dipaksa mampu membaca majalah, meski banyak yang tak faham artinya, dengan sebal mengikuti cara guru mengajari kelasnya mengeja huruf secara desimal Dewey, karena bosan, scout menggambar dan bertingkah lain dan dihukum gurunya.
Aku tersenyum ketika Scout menolak dipangku ayahnya sambil membaca majalah, karena dia bercerita kepada bu guru tentang “ritus” yang menyebabkan dia bisa membaca dan disalahkan bu guru dan dilarang melakukan kegiatan itu lagi dan ketika dia ngeyel, scout dihukum berdiri di depan kelas. Karena tak ingin dihukum lagi, scout menolak.
Mungkin Scout mirip dengan Toto Chan yang selalu dihukum guru karena selalu berulah, ketika dia bersekolah di SD Umum dan berubah ketika sekolah di SD khusus. Membaca dua buku ini seperti mengaca dan melihat bayangan kondisi SD kita saat ini yang masih seperti SD di Amerika di akhir Tahun 1800 an di Alabama USA.
Setting kisah itu adalah sebuah kota kecil yang masih menyisakan sentimen perbudakan, dominasi gereja yang tekstual, etika masa itu yang sangat stereotipis sexis: perempuan terhormat itu memakai rok, di dalam rumah saja dan sebaiknya di dapur dan semua tradisi abad ke 19. Di kota kecil itu, meski budak sudah tiada, namun masyarakat masih terbelah menjadi dua komunitas, kulit hitam dan kulit putih dan di sebuah gereja episkopal kulit hitam, semua jamaahnya, hanya 4 yang melek huruf.
Bayangkan seru dan unik, mengharukan, scout gadis kecil dan kakaknya Jeremy lelaki kecil hidup dan dididik oleh Atticus ayah yang pengacara negara dalam kebebasan sikap, nalar, hak namun masih wajib mengakomodasi tradisi masa itu. Scout dibiarkan tomboy di masa bocahnya dan bisa tersingung dan berkelahi dengan kawan lelakinya ketika dia diejek berperilaku seperti perempuan (karena dia bermain dengan anak anak lelaki).
Toto Chan menemukan kebahagiaan masa kecilnya dan potensi nalar dan sikap serta semua potensi kemanusiaannya tumbuh dan menjadi dasar kala dewasa, Toto Chan sempat menjadi Dubes di PBB.
Sekolah di bekas Bis seperti SD Toto Chan, akan sangat sulit diduplikasi oleh sistem sekolah masa kini, karena ujaran seorang Gubernur seakan menemukan pembenaran “Murid kita ini abad ke 21, sementara gedung sekolahnya ala abad ke 20 dan (maaf) gurunya masih sama sepetti abad ke 19” Sungguh panjang “time lag” ketika anasir penting persekolahan itu.
Harper Lee memberi kita “kaca benggala” yang akhirnya jika mau mengikuti nurani yang tak akan terkuasai oleh kebenaran mayoritas, menemani anak bertumbuh sesuai potensi dan imajinasi dan karakter kebebasan manusia adalah sesuatu yang asasi. Potensi manusia sejak bayi ini seringkali dibonsai oleh kesoktahuan orang tua yang berselingkuh dengan gurunya. Kreatifitas dipasung mengikuti kreatifitas mereka yang sering tidak kreatif.
Pantas saja Bertrand Russel berang dan mengatakan bahwa pendidikan (yang tak benar-AR) lah yang membuat bodoh manusia. Celaka 13, akunmenelaah RUU Sisdiknas, pembodohan ini akan dilembagakan pula dengan isi RUU yang mengutamakan Pengajaran daripada Pendidikan. Dengan hanya pengajaran, maka yang akan diperbudak adalah nalar manusia Indonesia.
Lee juga menuliskan dengan indah, bahwa Atticus hanya berpura pura marah kepada Scout, meski paman Scout yang dokter itu marah beneran, saat Scout si gadis kecil yang pemberang itu menyelipi kata “perempuan jalang” dalam kata-katanya jika kesal. “Bahasa yang buruk adalah tahap yang akan dilalui oleh semua anak dan mereka akan stop dengan sendirinya ketika mereka mengetahui bahwa tak akan mendapatkan perhatian dengan cara itu”.
Lee, mengajari kita melalui Atticus yang sedang menasehati adiknya, paman Scout yang tak kawin itu, bahwa manusia itu harus terus menjadi manusia yang abu abu, bukan malaikat yang tak pernah salah atau setan yang tak pernah betul.