Oleh Dr. Taufiq A. Rahim
Pengamat Ekonomi, Berdomisili di Banda Aceh
Harga minyak goreng sebagai salah satu dari sembilan bahan pokok yang menjadi wewenang pemerintah untuk menjaga dan melindunginya untuk kebutuhan konsumsi konsumen atau rakyat banyak di negara ini, naik dengan harga yang tinggi dan juga langka. Selama satu bulan ini, kondisi minyak goreng yang berharga cukup tinggi dan sulit diperoleh dan dimiliki oleh masyarakat dengan harga terjangkau untuk dikonsumsi sehari-hari oleh setiap masyarakat pada umumnya. Dalam aktivitas konsumsi masyarakat untuk berbagai bahan dasar konsumsi rumah tangga, dengan cara merubah selera dan memperbaiki rasa dalam setiap masakan, kini menggunakan minyak goreng untuk merubah serta menambah perubahan selera dengan berbagai percampuran bumbu lainnya. Pada zaman dahulu mungkin saja menggunakan bahan dasar air atau lain sebagainya.
Minyak goreng yang berubah sejak 25 atau 30 puluh tahun terakhir, perubahan penggunaan minyak goreng berubah serta bergeser dari sebelumnya menggunakan minyak goreng dari kelapa menjadi kepada tanaman minyak sawit. Negara ini banyak menggunakan kelapa sawit sebagai bahan dasar minyak goreng, sementara itu produksi serta lahan sawit yang terbesar serta terbanyak di dunia diproduksi menjadi minyak goreng, setelah diproses dari crude palm oli(CPO), ini diproduksi di Indonesia.
Dengan berbagai polemik dalam gonjang-ganjing serta tingginya harga minyak goreng serta langka dapat dipastikan ada permainan dari para produsen serta “mafia” dan praktik kartel ekonomi secara bersama-sama menghendaki kenaikan harga barang. Yang sangat menghebohkan secara tiba -tiba dalam rangka mengatasi persoalan minyak goreng, menteri Perdagangan dengan Permendagri Nomor 6 Tahun 2022, keputusan minyak goreng ditetapkan pada harga eceran tertinggi (HET) dalam istilah ekonomi baik barang minyak goreng curah atau kemasan dengan harga “ceiling price”. Secara analisis ekonomi bahwa, Menteri Perdagangan lebih berbuat serta mengambil kebijakan melindungi produsen, bukan harga “floor price” untuk melindungi konsumen. Sehingga pemerintah secara umum sama sekali tidak pro-rakyat terhadap minyak goreng yang mahal dan langka. Demikian juga, dalam hal ini pemerintah berada dalam posisi yang lemah dalam kebijakan harga minyak goreng, bahkan secara terus terang tidak sanggup menghadapi “mafia” minyak goreng yang mempermainkan harga pasar yang bersifat liberalisme ekonomi, semua harga ditentukan oleh transaki pasar.
Dengan demikian, kisah minyak goreng, ternyata terlihat pemerintah tidak mampu melawan kekuatan mafia pasar serta mekanisme pasar, demi kepentingan produsen untuk memperoleh keuntungan yang besar. Riwayat minyak goreng semakin kacau sebagai salah satu konsumsi sembilan pokok masyarakat luas. Negara kalah serta tidak mampu mengatasinya, sehingga kemampuan ini menyengsarakan rakyat ataupun ibu-ibu/emak-emak yang secara prinsipil peduli juga berhubungan langsung dengan minyak goreng untuk masakan. Juga bagi para produsen atau ibu-ibu/emak-emak yang bergerak di sektor informal atau usaha ekonomi kecil merasa kewalahan untuk meningkatkan serta melaksanakan aktivitas produksi dan jual-beli, karena harga minyak goreng mahal dan langka. Sehingga persoalan minyak goreng yang tidak pro-rakyat, dan pemerintah hanya berpihak kepada produsen ataupun “mafia” dengan menetapkan harta atau HET untuk melindungi produsen, juga harga di pasaran jauh lebih tinggi dari harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Demikian juga, pemerintah dipermainkan dengan tidak mampu mengungkap siapa sebenarnya produsen dan “mafia” yang mempermainkan harga, sementara itu tidak terlalu sulit mencari produsen besar minyak goreng dan distributornya.
Riwayat minyak goreng saat ini bukan saja menjadi isu konsumsi ekonomi, juga menjadi isu politik di tengah kehidupan masyarakat sedang sulit dan susah. Kemudian juga berbagai aksi demo digelar juga telah menuntut agar Menteri Perdagangan RI untuk diberhentikan, bahkan agar segera dihentikan atau diganti oleh Presiden RI. Ini tuntutan ekstrim yang merupakan kegeraman masyarakat yang sedang susah, di samping minyak goreng merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang mesti mendapatkan perlindungan pemerintah.
Minyak goreng hari ini menjadi isu yang sangat seksi dan mengancam kedaulatan bangsa, terutama ini menjadi perhatian ibu-ibu/emak-emak yang lebih konsen atau serius memperjuangkannya, termasuk banyak ibu-ibu/emak-emak ikut melakukan antri minyak goreng, bahkan antrian minyak goreng mengorbankan jiwa ibu-ibu atau emak-emak yang secara aktif memperjuangkan mendapatkan minyak goreng dengan cara antrian.
Demikian juga, ada beberapa momen politik serta program vaksinasi ikut dikaitkan dengan minyak goreng, sebagai imbalan untuk mendapatkan minyak goreng curah ataupun kemasan.
Dengan demikian, hari ini minyak goreng juga tetap menjadi perhatian publik yang belum selesai dan semakin seru menjadi isu di tengah kehidupan masyarakat menjadi lebih menyibukkan lagi. Pemerintah juga tidak mampu berhadapan dengan kenaikan harga minyak goreng, selanjutnya derivasi atau turunan yang ikut menyertakan kenaikan untuk produksi dan konsumsi menggunakan minyak goreng semakin kesulitan diperoleh dan juga semakin tidak terkendali harganya, meskipun pemerintah terus memberikan harapan-harapan semu terhadap kondisi minyak goreng berhadapan dengan bulan suci Ramadhan 1443 Hijriah. Dengan demikian, riwayat minyak goreng secara prinsipil yang ditetapkan oleh pemerintah hari ini tidak pro-rakyat atau konsumen, akan tetapi lebih memilih melindungi produsen minyak goreng. Minyak goreng menjadi cerita serta riwayat tersendiri yang memprihatinkan di tengah kondisi kehidupan serta berbagai persoalan kehidupan serta permasalah Covid-19 yang tidak jelas, adakalanya dikatakan sudah aman, tetapi pada kondisi tertentu isu Covid-19 masih dipersoalkan dengan istilah virus jenis “omicron” dengan level-level tertentu.
Minyak goreng memiliki riwayat yang sulit diprediksi di tengah lemahnya kemampuan pemerintah mengatasi harga yang mahal dan langka, juga minyak goreng menjadi permasalahan yang mendasar dalam mengatasi konsumsi sehari-hari konsumen atau masyarakat miskin, susah dan tidak mampu berhadapan dengan ganasnya harga yang tidak mampu dikendalikan pemerintah untuk harga yang lebih murah.