Oleh Ahmad Rizali
Berdomisili di Depok
Ketika saya diajak oleh sebuah organisasi pendidikan menjadi salah satu anggota mereka yang akan memberi masukan RUU Sisdiknas revisi, saya menolak karena merasa sudah tidak layak lagi ikut dalam urusan strategis dan penting serta menyangkut masa depan anak bangsa. Bukankah di preambul UUD disebut “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” ?
Namun, ketika beberapa kawan muda itu menyeret saya untuk membaca RUU itu saya tersentak, isinya sungguh mencemaskan. Ya seperti yang dikomentari kritis oleh sangat banyak pegiat itu. Untunglah RUU ini masih dalam tahap awal, bukan seperti Omnibus yang “ujug ujugly” disahkan dan isinya membuat geger se Nusantara.
Yang saya masih belum faham adalah sifat kerahasiaan dari RUU tersebut, bahkan beberapa organisasi yang diundang ikut memberi masukan, masing masing kurang dari 5 menit dalam FGD itu dikirimi berkas yang dikunci” dengan stempel nama organisasi tersebut, sehingga jika saya memperoleh dan menyebarkannya, maka organisasi yang namanya ada di berkas saya akan habis dikuyo kuyo dan bisa diancam membocorkan RHS Negara, ngeri sekali.
Akhirnya dengan gaya Sherlock Holmes, saya carilah alasan mengapa dirahasiakan. Saya dengar beberapa kesaksian wakil organisasi yang ikut, apa yang dibicarakan dan lain sebagainya. Maaf, saya gagal menemukan alasan mengapa draft RUU itu dirahasiakan.
Khusnudzon saya, ini mirip dengan remaja yang merahasiakan tugas menulis pertamanya karena malu terlihat seorang handicapped (saya sungkan menyebut bodoh) karena hasilnya ancur ancuran. Dalam kasus RUU Sisdiknas ini, kelihatannya khusnudzon saya, maaf (mau puasa soalnya) pelan pelan menemukan bukti.
Jadi, tidak ada yang Rahasia dalam RUU itu, tidak ada. Yang ada justru kesalahan – kesalahan mendasar dan wajar saja. Yang tidak wajar adalah jika tidak mengakui kesalahan tersebut.