Oleh Ahmad Rizali
Berdomisili di Depok
Saya tak hendak bicara teknologi robot “balon”, tetapi sesuatu yang lebih sederhana, yaitu akses manusia sekarang kepada kenikmatan hidup. Bayangkan, meski perut lapar, manusia di sekitar Wifi gratis bisa dengan sepuasnya menciptakan “metaverse” nya melihat – lihat semua makanan lezat se dunia.
Iseng eksplorasi internet dengan HP saya, luarbiasa. Jika 40 tahun yang lalu ingin menikmati karya Miles Davis atau Coltrane, apalagi Bela Bartok, maka kita harus sesekali menyelinap ke DS di jalan Sabang dan menyetel kaset (bukan keset ya kawan muda) contoh. Atau mencari radio yang cukup nyentrik menyetel karya Bela Bartok.
Jika beruntung, TIM mengundang pemusik genre tersebut dan dimainkanlah karya mereka, sehingga jelas tidak ori. Jika ingin mendengar lebih sering, harus punya alat pemutar kasetnya yang terhitung baik. Kadangkala, masih bisa nebeng di ruang kos kawan yang ortunya lumayan tajir.
Teknologi itu semalam yang membuat saya terpukau. Dengan membuka YTM, maka pemusik dan biduan kesayangan sudah tinggal diklik dan dengarlah sak budege. Saya tak lagi berjejal dan diplototi penjaga DS karena kelamaan menyetel suara sax Coltrane. Dengan tiduran, merem melek dan audio yang gemericik, terpukau selama 60 menit lebih.
Almarhum abah pernah berucap, diuji susah biasanya manusia sukses melewati. Nah, bagaimana cara melewati ujian kenikmatan suara sax Coltrane “feat” trumpet Miles Davis yang tinggal klik itu ? Saya berusaha menghindar. Eh, malah menemukan Radio Suara Soneta, full bang Haji, sungguh terlalu.
Merujuk komik “gadis korek api” yang menciptakan “metaverse” nya bertemu sang bunda dengan sekotar korek, teknologi IT dan internet sekarang semoga tak menambah jumlah si gadis di sekeliling wifi gratis. Yang pasti, sungguh semakin berat menyeimbangkan “sengsara dan nikmat” itu.