Oleh Tabrani Yunis
1997, kala itu baru saja setahun lamanya kami menempati rumah RSS, yang dibeli secara kredit pada tahun 1995 di komplek Pola Yasa yang masuk ke wilayah desa Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar. Ya, kami menempati rumah sangat sederhana ( RSS) yang berdinding batako, tanpa plester, tanpa plaflon dan berukuran hanya 36 meter, hingga disebut dengan type 36. Kami menempatinya pada bulan November 1996, setelah rumah yang kami sewa di jalan Durian, Prada Utama, berakhir.
November 1996 itu, aku, Istriku Salminar dan anakku yang masih bayi, Albar Maulana Yunisa, menempati rumah yang kala itu masih seperti perahu yang sedang berlabuh di dermaga. Ya, karena di sekeliling rumah yang dibangun di areal sawah, masih penuh air. Di sekeliling rumah, masih belum ditimbun dengan tanah. Kondisinya sangat menyedihkan dan bahkan terasa menakutkan. Belum banyak orang yang menempati rumah-rumah yang sedang dalam masa pembangunan saat itu. Kami, bertiga adalah penghuni kedua di blok D 30 itu.
Lalu beberapa bulan kemudian, temanku yang seprofesi, guru juga menyusul menempati rumahnya di Blok D, tetapi berbeda lorong. Ya, Sayuti Cut Adek, yang merupakan guru bahasa Inggris di Madarasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Banda Aceh yang juga sebagai teman mengajar di kursus bahasa Inggris di Intensive English Course (IEC) Cabang Banda Aceh. Sementara aku saat itu adalah guru bahasa Inggris di SMA Negeri 3 Banda Aceh dan juga sebagai guru bahasa Inggris di IEC Jakarta, Cabang Banda Aceh.
Hidup di rumah yang berlabel RSS itu adalah cerminan atau bukti bahwa aku tidak mampu membeli rumah yang lebih baik, rumah sederhana atau rumah yang lebih layak huni, karena saat itu kondisi ekonomi masih belum baik. Namun, kami bersyukur sudah punya rumah yang sangat sederhana, tanpa ada perabotan yang mengisi ruang tamu, kecuali tempat tidur atau ranjang untuk kami tidur bertiga beranak.
Untung pulalah untuk transportasi dari rumah ke kota tempat aku mengajar, ada sebuah sepeda motor Astrea Supra yang kubeli dengan cara cicilan atau kredit kala itu. Aku bersyukur kepada Allah karena sudah mampu membeli sepeda motor dan rumah. Alhamdulilah, Allah telah melimpahkan rahmatNya dan mengabulkan doaku untuk bisa hidup lebih baik dari orangtuaku, walau belum mampu membeli mobil dan rumah yang lebih layak. Paling tidak, sudah tidak lagi harus menyewa kamar atau rumah kecil. Kami merasa bahagia dan mensyukuri de apa yang ada. Apalagi Allah telah mengaruniai kami seorang anak laki-laki sebagai buah hati.
Namun, seringkali musibah datang tanpa diharap, tanpa diundang atau diinginkan. Sebuah pengalaman pedih yang tak dapat dilupakan terjadi. Suatu sore, ketika membawa istri dan anak jalan-jalan keliling kota Banda Aceh, tiba-tiba anak satu-satunya saat itu menangis tepat di bundaran masjid Raya Baiturahman Banda Aceh. Ia menangis karena sakit perut. Mungkin perutnya mulas dan sakit. Kami berhenti dan melihat di pampers yang dipakainya, ternyata ada kotoran. Kami pun melanjutkan perjalanan pulang ke rumah bock D nomor 30 di Kajhu, kecamatan Baitussalam, Aceh Besar. Malam pun tiba. Malam itu badan anak lelaki itu terasa panas. Albar mengerang kesakitan semalam suntuk. Namun ia tampak sangat sabar, karena tidak menangis menjerit-jerit, sebagaimana layaknya atau kebanyakan anak atau bayi lain. Kami mengira ia hanya demam biasa dan tidak tahu apa sakitnya, Albar tidak dibawa ke rumah sakit. Apalagi saat itu, kami kehabisan uang. Lalu, keesokan harinya kami melihat Albar semakin parah. Badannya sudah membiru. Tak dapat ditunda lagi, Albar harus dibawa ke dokter. Hal yang sangat menyedihkan adalah saat itu, benar-benar tidak punya uang. Maka, dipagi buta itu, tetangga sekalian teman akrab yang ada, adalah Pak Sayuti Cut Adek sekeluarga. Aku meminta dipinjamkan uang. Alhamdulilah saat itu mendapat pinjaman sebesar 30 ribu rupiah. Kami pun bergegas membawa Albar ke praktik dokter anak. Kami menuju ke dokter Nurjanah yang saat itu masih menempati rumah dinas di komplek RSUDZA. Kala itu lebih dikenal dengan rumah sakit Zainal Abidin.
Betapa kagetnya kami, kala itu dokter mengatakan bahwa Albar harus dibawa ke rumah sakit dan hari itu juga ia harus dioperasi. Kondisinya sito. Aku menggendong Albar yang merintih sakit sambil menangis sedih. Semakin sedih dan gundah ketika melihat gigi Albar berdarah, karena menahan sakit. Aku benar-benar sangat bingung dan begitu juga almarhumah istriku Salminar. Rupanya Albar mengalami usus berlipat atau dalam istilah kedokteran disebut dengan invaginasi. Tak terbayangkan bagaimana mungkin Albar yang kala itu masih berumur 8.5 bulan, ia harus dioperasi besar. Ya ia masih sangat kecil. Namun, itulah takdir Allah. Musibah terbesar dalam hidup kami saat itu. Ya, tatkala kami sedang menikmati kebahagiaan memiliki buah hati yang masih kecil itu, Allah menguji kami. Ya, Allah l, anakku Albar Maulana Yunisa masih bayi berusia 8.5 bulan itu harus mengalami nasib yang begitu pedih dan menyakitkan.
Rasa sakit Albar adalah rasa sakit yang sangat pedih, karena selain Albar harus mengerang kesakitan, saat itu pula tidak ada uang untuk mengobatinya. Jadi, sangat menyedihkan. apalagi dalam keadaan tidak punya uang sama sekali, aku menjadi Semoga seperti orang bingung. Padahal aku sudah berstatus sebagai PNS yakni, guru saat itu. Dalam keadaan kalut, aku harus memutuskan memberi izin agar anakku Albar Maulana segera dioperasi. Lalu, kala itu aku pun teringat ke sekolah SMA Negeri 3 Banda Aceh, tempat aku mengajar. Aku ingat saat itu ada abang sepupuku yang mengajar di sekolah yang sama denganku. Beliau, Almarhum Rusli Arsyad, yang kala itu adalah wakil kepala SMA Negeri 3 Banda Aceh. Aku menyampaikan masalahku kepadanya sambil menangis dan meminta sarannya apakah saya harus setuju agar Albar dioperasi.
Untuk menjalani operasi, saat itu membutuhkan darah O. Hal itu pun kusampaika pada rekan-rekan guru di sekolah, lalu pihak sekolah mengumumkan kepada para siswa yang mau donor darah. Subhanallah, masalah kebutuhan darah tercukupi karena ramai sekali siswa yang bersedia menyumbangkan darah. Ini adalah pertolongan Allah terhadap aku dan keluargaku yang sedang diuji oleh Allah.
Nah, ketika proses operasi berjalan, aku kembali bingung karena harus mengambil obat di Apotek, sementara aku tidak ada uang, karena belum sempat mengurus asuransi kesehatan (askes). Yang lebih menggelisahkanku saat operasi dan mengambil obat adalah aku harus bolak-balik mengambil obat di Apotek lagi dan lagi. Untunglah saat itu di Apotek ada teman sekampung yang bekerja di situ membantu agar bisa mengambil obat dengan lebih mudah. Alhamdulillah. Aku merasa mengambil dan membeli obat seperti orang membeli kacang goreng. Namun, Allah memperlihatkan kebesaran-Nya dengan membuka mata dan hati banyak orang untuk menyelesaikan masalah yang kami alami kala itu.
Usai operasi sukses dilakukan oleh dr. Tgk. Farizal, anakku Albar dibawa ke ruang ICU anak dalam pengawasan dokter secara intensif. Selama 15 hari berada di ruang ICU, lalu 15 hari kemudian dirawat di ruang anak. Kami pun berhari raya Idul Adha di rumah sakit saat itu. Banyak siswa SMA Negeri 3 yang merupakan siswaku di sekolah itu datang membezuk. Segala kesulitan yang aku alami menjadi ringan. Allah telah menguji kami dan Allah pula yang meringankan penderitaan kami lewat tangan-tangan sahabat, siswa dan semua pihak yang ikut bersimpati dan empati. Aku sadar bahwa dengan aku menjadi guru di SMA Negeri 3 Banda Aceh ini, aku semakin menemukan fakta, Indahnya menjadi guru. Mereka banyak membantuku karena aku guru. Terima kasih banyak bu dokter Nurjannah, dan dokter Tgk. Ferizal yang telah membantu proses operasi dan penyembuhan anaku Albar Maulana Yunisa, yang telah kembali ke haribaan Allah pada tanggal 26 Desember 2004. Semoga Allah membalas semua jasa dan bantuan kepada Albar dan kami. Amin