Oleh Tabrani Yunis
Sore ini, saya bersama dua anak, Ananda Nayla Tabrani Yunis dan Aqila Azalea Tabrani Yunis singgah lagi di A1 BaseCamp yang membuka warung kopi dengan berbagai sajian kopi Arabika Gayo. Letaknya strategis, di pinggir jalan umum yang sibuk dilalui kenderaan roda 2, roda 4, roda enam bahkan 10 atau 12. Jalan yang baru dibangun pada tahun 2008 dan baru digunakan pada awal tahun 2010, diberi nama dengan jalan Prof. Ali Hasyimi. Ya, satu jalan dengan POTRET Gallery yang menjual berbagai macam produk souvenir pernikahan, souvenir kerajinan Jepara dan Jogja lainnya, mainan umum, mainan edukasi serta alat-alat tulis yang lebih lengkap dan lebih murah.
Sore ini kami mengambil posisi di teras depan yang dilengkapi dengan 10 meja bulat terbuat dari besi dan kaca. Masing-masing meja dilengkapi dengan dua kursi warna putih dengan sintetis nan estetis. Seperti biasanya, saya memesan double espresso yang agak encer. Sementara Ananda Nayla memesan milo blend dan Aqila hanya memesan air mineral. Untuk makanan, kami memesan beef burger dan hotdog plate di warung India yang berada di sebelahnya.
Sambil menunggu minuman dan makanan yang dipesan, mata tertuju ke jalan raya menikmati suasana sibuknya jalan ini yang dilalui motor dan mobil-mobil bagus yang menggambarkan wajah kota Banda Aceh yang merupakan ibu kota Provinsi Aceh. Kota kecil yang terletak di ujung paling barat Indonesia dengan penduduknya sekitar 252.000 jiwa itu, sedangkan Aceh jumlah penduduknya sebanyak 5.2 juta jiwa yang tersebar di 23 kabupaten dan kota.
Memperhatikan kenderaan yang lalu lalang di jalan itu, pikiran terbawa ke isu hangat yajg berkembang di tanah air. Aceh secara keseluruhan dinyatakan sebagai provinsi termiskin di Sumatera. Hati bertanya-tanya, mengapa Aceh mendapat predikat sebagai provinsi termiskin? Sungguh tidak masuk akal bila kemiskinan itu kita bandingkan dengan beraeliwerannya mobil-mobil bagus di kota Banda Aceh. Namun, indikator kemiskinan provinsi yang pernah terlibat konflik bersenjata selama hampir 30 tahun ini, menyimpan banyak indikator lain yang kemudian menjadikan daerah yang kaya dengan sumber alam ini menjadi provinsi termiskin.
Predikat Aceh sebagai provinsi termiskin ibarat liryk lagu dangdut, yang dipopularkan oleh Hamdan ATT di tahun 1980 an itu menjadi polemik yang sangat hangat di tengah masyarakat Aceh. Ya, persoalan kemiskinan yang disandang Aceh menjadi diskursus yang hampir tidak pernah habisnya. Apalagi status atau predikat itu bukan saja didapatkan Aceh pada tahun-tahun sebelumnya, tetapi jika di tahun 2022 ini. Berulangnya predikat termiskin di tahun 2022 ini membawa dampak buruk bagi rezim pemerintahan tunggal Iriansyah ini.
Wajar kalau banyak kalangan di Aceh maupun di luar Aceh bertanya, apa benar Aceh miskin? Bila benar Aceh miskin, mengapa Aceh yang selama ini dikatakan makmur bisa jatuh miskin dan bahkan termiskin di Sumatera? Sebagai orang awam akan terus bertanya, mengapa bisa? Padahal di dunia ini tidak ada yang tidak bisa, there is nothing impossible, ya everything is possible. Begitu pula halnya dengan Aceh yang selama ini dininabobo dengan sanjungan dan klaim sebagai daerah modal, daerah kaya bahkan memiliki sebutan di wilayah penghasil gas bumi masa lalu sebagai kota petrodolar yang menyembunyikan kemiskinan struktural dan kemiskinan absolut. Sayangnya kemiskinan yang dialami banyak orang Aceh dianggap sebagai hal yang memalukan itu tersimpan rapi di file. Ternyata ketika membaca berita media massa seperti CNN Indonesia edisi 02 Februari 2022 yang memberitakan bahwa Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat kemiskinandi Acehmeningkat 0,20 persen atau 16 ribu orang sejak Maret 2021 hingga September 2021 menjadi 15,53 persen. Secara total, jumlah penduduk miskindi Aceh mencapai 850 ribu orang, membuat orang Aceh sendiri terkaget-kaget dan juga ikut berjoget.
Semakin miris karena menurut BPS, peningkatan orang miskin menambah panjang rekor Aceh menjadi provinsi termiskin di Pulau Sumatra. Aceh juga masuk dalam lima provinsi dengan penduduk miskin tertinggi di Indonesia.
Pada 2020 lalu, BPS mencatat penduduk miskin di Aceh berkisar 15,43 persen atau sebanyak 833 ribu orang. Ironis bukan?
Lebih lanjut disebutkan bahwa persentase penduduk miskin Aceh pada September 2021 mencapai 15,53 persen per Maret 2021-September 2021,” ujar Koordinator Fungsi Statistik BPS Aceh Dadan Supriadi dalam konferensi pers secara daring, Rabu (2/2). Dengan demikian, garis kemiskinan di Aceh disumbang oleh komoditas pangan sebesar 75,65 persen, antara lain beras.
Jadi memang sangat ironis, bahkan miris dan memalukan. Aceh yang jumlah penduduknya hanya sekitar 5.2 juta jiwa dan memiliki wilayah yang luas mencapai 58.337 km yang dianugerahi berbagai jenis sumber daya alam, seperti emas, batu bara, minyak dan gas, serta wilayah hutan yang luas yang menjadi paru-paru dunia itu. Tentu saja ironis kalau dihitung dari kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Aceh. Namun, yang namanya kemiskinan sesungguhnya sangat relatif dan bisa multi interpretasi. Namun, terlepas dari diterima atau tidaknya klaim menurut data BPS tersebut dan dilihat dari perspektif lain, bila Aceh memang miskin saat ini, selayaknya kita bertanya mengapa Aceh miskin? Apa saja faktor yang menyebabkan Aceh tergolong ke dalam kategori provinsi termiskin di Sumatera. Cukupkah indikatornya dengan mengukur standar komoditas pangan dan jumlah pengangguran? Silakan didiskusikan.
Pokoknya, setuju atau tidak, di tengah begitu banyak reaksi masyarkat terhadap buruknya wajah Aceh yang berselimut dengan predikat provinsi termiskin ini, kita memang harus mau bangkit membongkar stigma buruk itu dengan melakukan kajian lebih mendalam serta secara bersama-sama merumuskan kondisi Aceh kini secara objektif dan analitik, serta membaca kembali visi dan misi dearah dalam upaya mengentaskan kemiskinan yang dinobatkan pemeganga predikat juara di bisang kemiskinan tunggal. Sudah selayaknya masyarakat Aceh melakukam introspeksi dan merefleksi kondisi kekinian dengan menatap masa depan Aceh yang lebih baik ke depan. Aceh harus mampu keluar dari status termiskin. Sehingga bukan saja, langit -langit dunia maya atau metaverse penuh dengan untaian kata yang bernada prihatin, tanda tanya, meme dan lainnya termasuk olok-olok dan ulok yang bahkan tidak jauh dari aksi bully, tetapi harus mampu memperlihatkan wajah Aceh yang aman, makmur, baldatun, taiyibatun warabbun gafur. Untuk itu, Aceh harus dibangun dengan bijak dan cerdas, karena status Aceh daerah modal selama ini hanya tenggelam dalam birahi kejayaan masa lalu. Aceh yang katanya kaya dengan berbagai macam ragam sumber daya alam melimpah hanya tinggal dalam ungkapan-ungkapan basi. Aceh hanya memiliki banyak sumber daya alam, tetapo posisi orang Aceh hanya sebagai penonton dan penikmat hasil akhir berupa produk hasil olahan, karena semua bahan baku dikirim ke luar dan tidak diolah sendiri, sehingga ketergantungan Aegala kebutuhan Aceh dientukan oleh pasar di luar Aceh dan membuat orang Aceh sebagai konsumen sejati yang semuanya harus dibeli dari luar Aceh. Padahal uang sebagai alat tukar yang harusnya beredarbanyak di pasar, menipis, hilang dan membuat daya beli rendah serta dinamika pasar di Aceh berjalan di tempat. Nah, kembali ke judul tulisan di atas, bisakah kita jawab bersama persoalan tersebut?
Yang jelas Aceh tidak mungkin miskin dan kurang makan, karena selain memiliki kekayaan alam melimpah, Aceh menerima kucurab dana otsus yang begitu besar setiap tahunnya. Jadi, layakkah Aceh disebut miskin, apalagi termiskin di Sumatera dan menjadi juara bertahan sebagai provinsi termiskin? Kita harus malu dan sebaiknya pastikan Aceh tidak miskin, karena sesungguhnya Aceh disebut miskin, hanya karena salah urus. Ya miskinnya orang di Aceh, adalah karena kesalahan orang-orang yang mengurus Aceh selama ini. Anda tidak setuju? Silakan berikan tanggapan anda.