Oleh Diah Irawaty
Kandidiat Ph.D., Departemen Antropologi, State University of New York (SUNY) Binghamton, New York, AS; Pendiri LETSS Talk (Let’s Talk about Sex n Sexualities)
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayan, Riset dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi memicu kontroversi dan polemik. Beberapa pihak menolak keras aturan tersebut dan meminta Mendikbud Ristek mencabutnya dengan alasan Permendikbud Ristek ini mendorong dan mengampanyekan seks bebas (free sex) di kalangan warga perguruan tinggi kita.
Mengapa inisiatif penting yang ditunjukkan negara, lewat Kemendikbud Ristek, untuk menguatkan peran lembaga pendidikan tinggi dalam penghapusan kekerasan seksual hingga titik nol (zero tolerance) justru ditolak sebagian publik, bukan justru mendapatkan dukungan? Bagaimana memanfaatkan momentum Permendikbud Ristek ini, dengan segala polemik yang berkembang, untuk mendorong lebih lanjut reformasi pendidikan, khususnya perguruan tinggi, di Indonesia? Aspek terpenting apa dari pendidikan tinggi yang perlu menjadi target agenda reformasi? Polemik atas Permendikbud Ristek ini, bagi saya, benar-benar perlu dijadikan momentum untuk menguatkan reformasi pendidikan tinggi kita.
Salah satu hal yang sering menjadi bahan kritik yang ditujukan pada perguruan tinggi kita saat ini terkait komunitas kampus yang dinilai semakin lemah sensitivitas dan kepedulian sosialnya. Baik kalangan dosen maupun mahasiswa dinilai tidak menunjukkan keterlibatan (engagement) yang intensif terhadap masalah-masalah sosial yang berkembang dalam masyarakat. Sementara para dosen terlalu terkuras waktu dan fokusnya untuk mengejar kenaikan pangkat dan karir, meski dengan melakukan kegiatan-kegiatan akademik, para mahasiswa lebih cenderung pada aktivitas-aktivitas pragmatis. Banyak yang melihat, kecenderungan kegiatan menulis di jurnal-jurnal yang saat ini menjadi tren sangat massif dalam pendidikan tinggi kita lebih didorong kepentingan meraih gelar guru besar secepat mungkin daripada orientasi ilmiah atau sensitivitas sosial.
Belum lagi melihat fenomena bagaimana dosen-dosen dibebani banyak beban adminsitrasi dan birokrasi. Seorang profesor hukum senior di Universitas Indonesia terang-terangan menuliskan komplain di media sosialnya terkait beban administrasi dan birokrasi yang seringkali justru menguras waktu dan tidak bisa lagi bisa 100 persen melakukan kegiatan akademik. Tentu saja situasi ini merupakan sebuah anomali. Lembaga pendidikan tinggi seharusnya menjadi lembaga akademik yang konsisten dan kondusif bagi pengembangan keilmuan dan pengetahuan, penemuan hasil riset, mengajarkannya pada mahasiswa, dan publikasi yang tidak melulu untuk kenaikan pangkat, tapi demi menyediakan berbagai solusi atas persoalan-persoalan yang berkembang dalam masyarakat.
Tidak terbantahkan, kekerasan seksual merupakan persoalan sosial-kemanusiaan sangat serius saat ini, baik dari segi kuantitas maupun kualitas kasus. Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi zona nol kekerasan seksual justru tidak sedikit yang menunjukkan kondisi sebaliknya: menjadi ruang aman dan nyaman bagi pelaku berbagai bentuk tindakan kekerasan dan pelecehan seksual. Hubungan akademik yang seharusnya menihilkan bahkan melarang berbagai bentuk kekerasan, apalagi kekerasan seksual, tidak jarang dijadikan modus dan legitimasi untuk melakukan kekerasan seksual.
Kita pernah mendengar berita seorang sastrawan-akademisi terlibat tindakan pemaksaan seksual terhadap seorang mahasiswi atas nama “diskusi sastra.” Seorang dosen di Universitas Andalas juga diberitakan melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswi. Di antara kasus kekerasan seksual yang melibatkan “orang kampus” itu terjadi dalam posisi mereka sebagai akademisi yang sedang melakukan kegiatan akademik –bimbingan, konsultasi, diskusi, hingga penelitian. Jika kita memperluas cakupan kekerasan seksual pada kekerasan-kekerasan dan pelecehan dalam bentuk serangan di ranah virtual yang menjadi salah satu fenomena akhir-akhir ini, sangat mungkin angkanya akan menggelembung.
Selama ini, banyak kasus kekerasan seksual yang melibatkan kalangan pendidikan tinggi tidak tersentuh oleh hukum. Sementara para pelaku terus aman (secured) melakukan tindakan kekerasan dan pelecehan seksual, para korban depresi dalam trauma tak berkesudahan. Para korban berjuang sendirian karena lembaga pendidikan tinggi kita tidak cukup memiliki alat dukung, baik secara sosial, psikologis, medis, atau legal. Mereka menghadapi trauma seorang diri karena komunitas kampus tidak cukup memiliki kepedulian untuk sekadar tidak menyalahkan mereka.
Permendibud Ristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual ini menjadi upaya sangat krusial untuk menguatkan lagi kepedulian perguruan tinggi pada berbagai persoalan sosial-kemanusiaan. Kepedulian mereka pada persoalan kekerasan seksual, minimal di lingkungan kampusnya, akan menjadi faktor pendorong penting bagi tumbuhnya sikap serupa pada persoalan sosial-kemanusiaan lain di luar kampus. Kita memerlukan kalangan kampus yang aktif memberikan berbagai kontribusi bagi penyelesaian persoalan-persoalan sosial-kemanusiaan.
Kepedulian terhadap korban kekerasan seksual akan menjadi fondasi penting bagi kepedulian pada persoalan sosial-kemanusiaan lain. Kekerasan seksual, dalam situasinya yang paling serius sekalipun, sering tidak memunculkan keprihatinan kuat di kalangan publik. Banyak di antara kita dipenuhi asumsi keliru tentang kekerasan seksual: kekerasan seksual adalah persoalan “pribadi”; kekerasan seksual dipicu oleh korban sendiri –dari yang tidak hati-hati sampai yang “bersikap menggoda;” korban yang juga “menikmati” tindakan seksual tersebut, dan asumsi keliru yang sangat kejam terhadap para korban.
Asumsi ini menjadi mainstream bahkan hegemonik, tak jarang berbagai legitimasi dihadirkan, termasuk agama yang menjadi legitimasi sangat dominan.
Di luar aspek kepedulian sosial, Permendikbud Ristek beserta segala polemiknya perlu dimanfaatkan sebagai momentum membangun lingkungan dan tradisi akademik yang menjamin kebebasan akademik untuk mengkaji, mendiskusikan, meneliti, dan mengajarkan isu-isu gender, seks, dan seksualitas. Kebebasan akademik menggaransi keberagaman pandangan, pendapat, dan pemikiran; kebebasan akademik tidak membayangkan penyeragaman dan keseragaman pendapat; pro dan kontra atas berbagai isu gender, seks, dan seksualitas didekati dan dikelola dengan cara akademik-ilmiah dalam bentuk diskusi, kajian, dan penelitian.
Salah satu reaksi keras terhadap Permendikbud Ristek didasarkan pernyataan yang tertera dalam dokumen tersebut tentang “persetujuan (consent).” Tidak terbantahkan tentu saja, tindakan pemaksaan sepihak alias tanpa persetujuan (non-consensual) menjadi indikasi utama setiap tindakan kekerasan seksual. Meski tanpa ditulis di dokumen, seharusnya kita semua paham aspek pemaksaan dalam tindakan kekerasan seksual. Apakah dengan dituliskan secara literal di dokumen membuat makna pemaksaan berubah menjadi, misalnya mendorong dan mengampanyekan praktek perilaku dan hubungan seksual di luar perkawinan (free sex), seperti kekhawatiran mereka yang menolak Permendikbud?
Dalam ruang akademik, pertanyaannya ini harus menjadi pertanyaan terbuka (open-ended question) di mana jawabannya tidak sekedar jawaban simpel ya atau tidak. Artinya, meski konteks persetujuan (consent) dalam Permendikbud Ristek jelas pada kasus kekerasan seksual, sebagai penegasan, mereka yang menolak dengan berdasarkan asumsi persetujuan mendorong free sex, dalam ruang akademik, memiliki hak untuk menyampaikan pendapat, pemikiran, dan argumennya.
Di sisi lain, mereka juga harus siap, pemikiran dan argumennya dibantah dan ditolak jika argumen-argumen itu dinilai memiliki kelemahan secara ilmiah. Para penolak harus menunjukkan berbagai bukti dan data, melakukan kajian dan studi, untuk meyakinkan publik jika asumsi mereka mengandung kebenaran. Sangat disayangkan jika tujuan mahapenting menjadikan lembaga pendidikan tinggi sebagai garda depan penghapusan dan penanganan kekerasan seksual diganggu asumsi dan sentimen tanpa proses akademik-ilmiah.
Di sinilah, sekali lagi, Permendikbud Ristek Pencegahan dan Penanganan Seksual beserta polemiknya perlu dioptimalkan untuk membangun tradisi akademik yang menjamin kebebasan (freedom) dalam produksi dan distribusi pengetahuan dan informasi terkait gender, seks, dan seksualitas.