Oleh Firman Fadilah
Mereka saling tatap di depan sebuah kafe. Seorang lelaki dan perempuan. Ke empat mata itu seolah menelisik ragu, kemudian bertanya-tanya apa iya masing-masing di antara mereka sedang berhadapan dengan orang yang benar? Mereka berdua sama-sama memakai masker. Wajah yang semula familiar tampak asing. Namun, dari garis alis dan kerut di dahi membuat mereka kemudian yakin bahwa mereka telah bertemu dengan orang yang tepat.
“Selamat pagi,” ucap seorang lelaki, memecah kecanggungan.
Dalam banyak kesempatan, biasanya lelaki memang terlebih dahulu memulai, kemudian perempuan yang mengakhiri.
Mereka melepas masker dan seketika itu tampak sesungging senyum yang masih canggung. Padahal, mereka berdua adalah pasangan yang sudah bertunangan, seminggu yang lalu.
Mereka berdua duduk di kursi dengan meja bundar yang melingkar. Meja itu memberi kesempatan bagi mereka untuk duduk berhadapan, bertatap muka, seperti sepasang kekasih lain di sekitar mereka.
“Mau pesan apa?” tanya lelaki kepada perempuan yang sibuk dengan blazer dan tas jinjingnya. Ia kemudian merapikan rambut yang melilit sampai ke dada seperti akar beringin, bergelombang dan berwarna cokelat. Lalu, ia mengecek telepon pintarnya. Perempuan itu tak menyahut. Barangkali pikirannya sedang melayang-layang jauh. Raganya di sini, tetapi jiwanya sedang berkelana dengan orang lain.
Sejurus kemudian lelaki itu mendeham, membersihkan tenggorokan yang seolah gatal untuk menarik perhatian.
“Sa-yang…?”
Lelaki itu memainkan jemarinya di atas meja.
“Eh, iya, iya. Maaf. Hmmm, pesan minum saja. Setelah ini aku ada acara lain,” ucap perempuan itu kikuk.
“Buru-buru, ya?” Lelaki itu menilik jam yang melingkar di tangan kirinya. Ia lihat jarum yang makin tinggi dan matanya seolah mengisyaratkan bahwa ia juga harus segera pergi.
Perempuan itu mengangguk. “Tapi, tak apalah. Terlambat sedikit tidak masalah.”
“Kebiasaan orang Indonesia. Hahaha.” Mereka berdua tertawa.
Matahari baru naik setengah. Kendaraan tetap lalu-lalang meski jarang. Suara denting gelas koktail dan percakapan basa-basi yang samar terbetik dari segala arah. Berpasang-pasang kekasih sedang menikmati setiap hidangan juga detik-detik yang barangkali jarang ditemui. Orang-orang kerap sibuk sendiri dengan aktivitas masing-masing hingga kadang lupa bahwa mereka memiliki hak untuk mencintai dan dicinta
Pertemuan adalah barang langka. Terlebih di tengah zaman yang sedang berpenyakitan, merengkuh dan mencium bukan lagi prioritas jika hubungan mereka ingin langgeng. Bisa jadi salah satu di antara mereka membawa virus. Lalu, keduanya terkapar sebelum sempat beradu kasih. Hanya dengan memandang dan bertemu-cakap sudah menjadi hal yang sangat istimewa. Namun, bagi dua orang itu, pertemuan seolah ujian kenaikan kelas yang harus cepat diakhiri.
Masing-masing dari mereka sibuk memainkan ponsel. Sesaat kemudian, dua gelas koktail terhidang di meja bundar berbahan kayu yang mengilat. Wajah mereka terpantul, tampak sedang memikirkan sesuatu.
Lelaki itu mendeham lagi, kemudian mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya.
“Jadi, konsep apa yang cocok untuk pesta pernikahan kita nanti?”
Disodorkannya buku itu kepada perempuan di depannya yang tampak buru-buru meletakkan telepon. Dibukanya buku itu halaman per halaman. Ia kaji dengan saksama sebab konsep pernikahan hanya ada satu dalam seumur hidup.
“Hmmm. Well, aku lebih suka konsep outdoor. Ini, seperti ini.”
Ia menunjukkan salah satu gambar pelaminan dengan warna latar cokelat yang dominan.
“Konsep outdoor bertemakan rustic kurasa sangat elegan. Kita gunakan papan kayu dari bahan bekas. Mewah, tetapi tetap murah. Lalu, kursinya juga dari kayu atau rotan biar lebih ringan. Di atas pelaminan kita hias dengan bunga-bunga putih dan daun-daun plastik berwarna hijau yang melingkar. Aku membayangkan perpaduan warna itu sangat segar. Bagaimana menurutmu?”
“Hmmm. Aku juga suka outdoor, tapi sepertinya tidak mungkin.”
“Karena korona?”
“Tepat!”
“Hahaha! Kau itu sangat lugu. Kita bisa pakai villa Ayahku. Untuk masalah lain biar anak buah Ayah yang ngatur.”
“Bentar, bentar. Coba liat ini.” Lelaki itu mengangsurkan buku yang barangkali dari seorang disainer.
“Tema indoor menurutku lebih intim dan khidmat. Kita undang orang-orang terdekat saja. Kita pakai dekorasi taman biar tetap terlihat megah dan suasananya jadi seperti konsep outdoor.”
Mereka berdua mengamati gambar itu dengan saksama.
“Kita juga harus mempertimbangkan cuaca, Sayang. Belakangan ini cuaca selalu berubah-ubah seenaknya!”
“Kita bisa pakai pawang hujan.”
“Kau masih percaya itu?”
“Apa salahnya kita coba.”
“Kukira hanya orang desa saja yang percaya takhayul.”
Perempuan itu menyunggingkan senyum yang tak nafsu. Pandangan ia edarkan ke orang-orang asing yang duduk di sebelahnya. Sepasang kekasih saling menyuapi hidangan tampak sangat romantis. Pelayan yang hilir mudik mengantarkan pesanan. Pengunjung yang pergi dan datang. Seketika perasaan sepi menggerogoti dirinya di meja bundar itu.
Mereka berdua diam sesaat. Koktail perlahan berkurang dalam sesapan.
“Aku jadi ingat kata-kata guru ngajiku di kampung untuk tidak memercayai takhayul,” ucap lelaki itu tiba-tiba.
Tawa perempuan di depannya tiba-tiba meledak. Giginya seputih susu berbaris rapi seperti pagar. Bibirnya yang merah hingga tampak seperti jalanan aspal yang retak. Lelaki itu menatap heran. Baru kali ini ia melihat perempuan tertawa selepas itu. Yang lebih heran lagi adalah timbulnya pertanyaan, adakah yang salah dari kata-katanya?
“Kau sungguh bocah kampung yang lucu. Hahaha.”
“Apanya yang lucu?”
“Wait, wait…. Sudah berapa tahun kau hidup di kota?”
“Tak tahulah! Tapi kenangan itu sudah lama, lama sekali. Aku jadi penasaran apakah guru ngajiku itu masih ada?”
Perempuan itu menatap layar ponselnya setelah pesan masuk berdenting-denting.
“Kurasa kita harus segera memutuskan konsep pernikahan sekarang.”
“Baiklah terserah kau saja.”
“Outdoor?”
“Iya.”
“Kau tidak keberatan dengan pawang hujan?”
“Apapun untukmu, Sayang.”
Perempuan itu tersipu. Baru kali ini diterimanya kata-kata sayang berkali-kali dari lelaki di depannya. Ia segera berkemas. Ia masukkan telepon dan dompet ke dalam tas jinjingnya. Ia juga bersiap dengan maskernya.
“Tu-nggu dulu,” ucap lelaki itu. Perempuan itu tercekat. Ditatapnya wajah lelaki itu lekat-lekat.
“Aku mau ngomong sesuatu. Aku janji cuma sebentar.”
Perempuan yang telah beranjak duduk lagi di kursi itu. Dilihatnya jam di tangannya. Seolah ia tak punya cukup waktu, tetapi wajah lekaki di depannya itu seperti hendak menyampaikan sesuatu yang amat penting.
Bibir yang bergetar itu seolah merangkai kata-kata yang berat untuk diucapkan. Ia barangkali bingung harus memulai dari kata yang mana sebab ia tak mau menyakiti hati perempuan itu. Namun, toh, sakit hati adalah konsekuensi dari setiap hubungan percintaan.
“Se-benarnya aku mencintai perempuan lain.”
Terjeda sekian detik untuk perempuan itu mencerna kata-kata yang baru saja melayang ke telinganya. Ia mematung sesaat dengan ekspresi datar. Sementara lelaki itu seperti sedang menanggung salah yang teramat dalam. Ia menunduk.
“Aku juga mencintai lelaki lain,” jawab perempuan itu enteng saja.
Lelaki itu terkejut. Ditatapnya wajah perempuan itu lekat-lekat. Lalu, keduanya tertawa. Suasana senyap kian gaduh ulah mereka berdua. Orang-orang menatap heran.
“Apakah ini tidak aneh? Kita hendak menikah, tetapi kita mencintai orang lain?”
“Entahlah!”
“Lalu mengapa kau setuju dengan pernikahan ini?”
“Aku hanya menjalankan wasiat ibu.”
“Wasiat ayah juga begitu. Konon mereka saling mencintai, tetapi takdir tidak merestui. Jadi, mereka ingin menikahkan kita agar mereka bisa saling memiliki.”
“Ah, konyol! Hahaha.”
Tawa mereka kembali riuh.
Memiliki bukan berarti mencintai. Mencintai tidak bisa dikatakan memiliki. Mereka saling memiliki, tetapi sesungguhnya tidak. Namun, pertemuan di antara mereka yang singkat bisa saja menimbulkan bibit-bibit cinta. Pernikahan tanpa dasar suka sama suka hanya akan memeras air mata dan mereka sekonyong-konyong menyetujui perjodohan itu. Mereka berdua barangkali mulai tertarik satu sama lain, tetapi bingung hendak mengungkapkannya.
Setidaknya, mereka telah jujur. Di hari-hari selanjutnya, mungkin tidak akan ada sakit hati jika di antara mereka bertambat dengan hati yang lain.
Setelah tawa yang lepas, mereka berdua berpisah. Perempuan itu meninggalkan kafe sementara lelakinya masih duduk di kursi ditemani meja bundar yang sepi.
“Kau sudah sampai di kafe, kan, Sayang?”
Sebaris kata-kata mencuat dari layar ponsel lelaki itu.[]
Tanggamus, Awal September 2021
*Penulis bernama Firman Fadilah. Tinggal di Lampung. Karya-karyanya termuat di Negara kertas.com, KBM Soloraya, Lampung News, Harian Bhirawa, Kawaca.com, dan berbagai buku antologi. Buku cerpen pertamanya First Kiss (Guepedia, 2021). Surel fadilahfirman651@gmail.com