Oleh Ahmad Rizali
Berdomisili di Depok, Jawa Barat
Baru kusadari, ternyata upaya memotong ikatan emosiku dengan dunia petualangan di alam terbuka dengan sekian tahun menutup diri dari interaksi dengan Mapala UI, tidaklah menghentikan petualangan itu. Ruh petualangan itu hanya berpindah di kehidupan keseharian.
Aku masih ingat saat seorang kolega senior dalam dunia tersebut bicara tentang keinginan mendaki puncak Everest, lantas berlanjut ke 8.000 meter yang lain, kukejar dengan pertanyaan “sesudah itu…?” Tak pernah kuproleh jawaban yang jelas. Puncak Everest dan 8.000 an meter itu bukan milikku yang amatir, mereka milik para profesional dan sedikit kegilaan seperti tokoh di bawah ini.
Kilas balik, memasuki dunia pendidikan STM Pembangunan adalah sebuah petualangan yang “terpaksa” karena ongkos memasuki SMA tak terjangkau. Di terima di PTN terbaik negeri ini juga petualangan, karena sungguh tak terbayangkan, ikut ujian PP-I di Gelora Senayan, sendirian tanpa kawan. Bak anak kijang masuk desa, saat itu.
Jika bukan petualangan, aku tak akan pindah prodi dari Metalurgi ke Teknik Gas dan Petrokimia, sub dari Teknik Kimia. Petualangan pula yang membuatku memutuskan menunda Kerja Praktek 1 semester di Kilang LNG Bontang Kaltim, hanya karena lulus seleksi ekspedisi Mapala UI untuk mendaki Carstenz Pyramid dan Puncak Jaya.
Petualangan lebih berat adalah bertahan tinggal di sekretariat Mapala UI hingga lulus S-1 dari sana. Sekretariat organisasi pendaki gunung ini menempati satu Zal di Asrama UI Pegangsaan Timur 17 (PGT17) Menteng Jakpus dan sangat “keramat”, tak satupun yang tinggal dan lulus S1 dari sana. Kuselesaikan “puncak PGT17” dari sana sebagai “yang pertama”.
Petualangan di masa sekolah dan kuliah adalah hal biasa dan umumnya para pelaku akan stop ketika memasuki dunia kerja dan menikmati zona nyaman sembari sesekali mencicipi rasa bertualang ketika cuti atau libur akhir pekan. Apakah saya ikuti pakem tersebut ?
Lulus S1, Tahun 1985 seperti biasa saya membuat beberapa surat lamaran ke beberapa perusahaan, meski sempat diundang wawancara seleksi terakhir ke Sumatra oleh sebuah perush minyak, toh akhirnya saya bekerja ke mantan dosen di lokasi pengungsi Vietnam Pulau Galang.
Kegagalan wawancara ke Sumatra itu juga karena petualangan. Ketika menjelang isya’ aku sedang menginap di tengah hutan gunung Gede dalam operasi SAR, seorang kawan melalui Radio berkabar bahwa aku ditunggu besok di Rumbai. Jelas lepaslah kesempatan itu.
Petualangan dalam bekerja terus terjadi dan secara umum, aku tidak pernah menjadi pegawai tetap dan biasanya maksimal hanya 3 Tahun. Uniknya, begitu mudah aku melepas pekerjaan yang “tidak cocok” denganku, namun begitu mudah pula memperoleh pekerjaan (baca “tantangan”) baru.
Ketika memasuki usia 60 Tahun, barulah terasa betapa egoisnya akundengan pilihan-pilihan pekerjaan. LSM Internasional, Nasional, lokal. Dosen, BUMN, ASN kontrak, salesman, menulis, penceramah dan banyak lagi yang aku kerjakan. Namun yang konsisten terlihat benang merahnya adalah, di jalur Pendidikan.
Di usia 60 lebih ini pula terasa begitu lelahnya aku “bertualang” dan tentu betapa sabarnya istriku mengikuti apa yang kukerjakan. Menelantarkan sih tidak, alhamdulillah, namun mengajak hidup sulit dan mendebarkan, seringkali.
Dalam petualangan, tentu ada capaian dan alhamdulillah beberapa capaian “legacy” organisasi dapat aku “banggakan” ikut menghamili dan melahirkan. 3 putra/i selesai di 3 PTN BH Jawa dan sedikit hartabenda dan sangat banyak kawan untuk penangkal kecemasan di kala menjadi Manula.
Jika anda ingin bekerja lurus sesuai passion (maksudnya bertualang), maka lakukan dan nikmati, namun dengan syarat kepandaian dan ketrampilan dalam bidang khusus serta kawan setia anda harus di atas rerata. Jika syarat itu tidak dipenuhi, azab dan sengsara akan anda temui.