Oleh Tabrani Yunis
Setiap orang tua, apa pun latar belakang kehidupannya, baik yang berlatar belakang ekonomi lemah, menengah, maupun kelas atas, pasti ingin memberikan pendidikan terbaik buat anak-anaknya. Konon lagi dari kalangan elit, the havealias kaya raya, untuk urusan sekolah pasti ingin menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah – sekolah hebat. Ya, sekolah-sekolah yang favorit maupun sekolah-sekolah yang berlabel sekolah unggul, bahkan dengan label sekolah Internasional seperti dahulu pernah menjamur di Negeri kita tercinta ini.
Tak pelak lagi kalau sekolah-sekolah berlabel unggul, favorit dan bahkan internasional, selalu diburu oleh orang tua dan anak. Bila di daerah mereka tidak ada sekolah-sekolah unggul tersebut, orang-orang dari kalangan mampu dan elit, mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah internasional yang berada di kota. Artinya, begitu besar ekspektasi mereka terhadap pendidikan yang berkualitas. Mahalnya biaya pendidikan yang akan dikeluarkan, lebih cenderung diabaikan. Yang penting, mendapat sekolah idaman. Jadi, tak peduli akan mahalnya biaya pendidikan. Yang penting bisa memberikan pendidikan terbaik buat anak-anak mereka. Ini patut kita acungkan jempol. Ini dahsyat bukan? Dahsyat memang.
Bukan hanya itu, lebih dahsyat lagi di era ini, ketika proses demoralisasi yang melanda anak negeri ini sebagai dampak dari segala kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang segalanya sudah berbasis digital, telah menimbulkan kegalauan pada banyak orang tua. Para orang tua banyak yang galau melihat perubahan gaya hidup dan perilaku anak-anak sekarang yang berubah begitu cepat yang bisa semakin jauh dengan agama. Dalam komdisi semacam ini, membuat orang tua harus berfikir dan bertindak lebih bijak, termasuk dalam hal memilih sekolah. Untuk saat ini, pilihan yang dianggap tepat adalah memilih sekolah yang tidak hanya mengejar kemampuan akademik yang unggul, tetapi juga harus unggul dengan pemahaman dan perilaku beragama yang baik. Jadi, jelas tidak hanya sekolah unggul yang secara akademis, yang dikejar, tetapi juga sekolah-sekolah yang agamis, sekolah yang memiliki kelebihan dalam hal agama.
Memilih sekolah yang memiliki lelebihan atau pun berimbang antara pendidikan umum dan pendidikan agaman yang sesuai dengan kondisi kekinian tersebut serta kebutuhan anak menyiapkan masa depan yang penuh tantangan, adalah sebuah keniscayaan. Oleh sebab itu, memilih pendidikan yang berkualitas secara akademik dan beakhlak mulia adalah pilihan yang tepat, walau mahal dan sangat kompetitif. Bukan hal yang aneh lagi saat ini bila banyak sekolah unggul, dengan label IT maupun IC atau terpadu bermunculan di tengah masyarakat kita sejalan dengan semakin tingginya kebutuhan masyarakat. Selain memilih sekolah unggul, kini tidak sedikit pula orang tua yang memilih mengantar anak-anak mereka ke pesantren atau dayah -dayah biasa, serta yang dayah atau pesantren berlabel modern atau boarding dan sebagainya. Semus ini merupakan keinginan anak dan orang tua yang tersadar dengan kondisi saat ini dan tantangan masa depan. Itulah kecenderungan orang tua yang memang luar biasa saat ini dalam memberikan pendidikan yang terbaik buat anak-anak mereka. Kesadaran ini perlu kita apresiasi dan acungkan jempol.
Sayangnya, di tengah semakin banyaknya orangtua, ayah dan ibu yang memilih sekolah-sekolah ideal, tidak sedikit pula orang tua yang tidak konsisten dalam mendidik anak. Di satu sisi, ingin anak cerdas, berbudi atau berakhlak mulia dengan menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah terbaik, sayangnya sikap dan tindakan orang tua banyak yang tidak bisa diteladani oleh anak. Tidak ubahnya, kesadaran orang tua tersebut sebagai sebuah kesadaran semu. Padahal, kedua orang tua atau keluarga dalam pendidikan menempatkan orang tua sebagai guru yang pertama dan utama. Keluarga sebagai institusi pendidikan terkecil dari lembaga pendidikan, sesungguhnya keluarga adalah madrasah atau sekolah yang pertama dan utama bagi anak-anak. Konsekwensinya, orang tua dan keluarga harus menjadi suri dan teladan bagi anak dalam membangun kehidupan atau masa depan yang lebih baik.
Ya, idealnya, sebagai guru yang pertama dan utama, kedua orang tua harus menjadi model dan teladan bagi kehidupan anak-anak. Kedua orang tua harus menjadi sumber inspirasi dalam kehidupan anak-anak. Agar anak bisa menjadikan orang tua sebagai guru yang pertama dan utama, maka hendaknya orang tua harus sadar bahwa orang tua sebenarnya adalah guru, bukan kedua, tetapi yang pertama dan utama. Dengan demikian, segala perilaku, tindakan kedua orang tua akan selalu menjadi hal yang dipelajari dan ambil atau diadopsi oleh anak. Sayangnya, peran kedua orang tua sebagai guru yang pertama dan utama tersebut selama ini memperlihatkan ada yang terus memudar pada kedua orang tua. Kedua, banyak orang tua yang cenderung menyerahkan semua urusan belajar anak kepada guru-guru di sekolah. Termasuk urusan akhlak atau budi pekerti. Sehingga urusan budi pekerti anak adalah urusan sekolah, bukan urusan orang tua yang utama. Ini adalah salah satu dosa atau kesalahan orang tua terhadap anak-anak mereka dalam hal mendidik.
Karena, percaya atau tidak, ada banyak orang tua yang secara sadar dan tidak, telah mengajarkan hal-hal yang buruk kepada anak dalam praktik kehidupan sehari- hari. Bukan saja selama bersekolah, tetapi sejak anak masih dalam kandungan. Mungkin hal-hal seperti ini dianggap hal kecil yang tidak begitu berpengaruh. Kita ambil saja satu contoh ketika orang tua setiap hari mengantar dan menjemput anak ke sekolah. Dengan alasan sudah terlambat, orang tua menjadi tidak sabar menunggu lampu merah berganti hijau. Sehingga, saat membonceng anak dengan sepeda motor, atau mengantar dengan mobil dan bertemu lampu merah, lalu menerobos lampu merah dengan tanpa ada rasa bersalah kepada anak yang sesungguhnya anak belajar dari guru di sekolah, dilarang menerobos lampu merah. Sementara ayah atau ibu melakukan apa yang dilarang. Selain menerobos lampu merah, sering kali pula orang tua, ayah atau ibu yang saat mengantar atau menjemput pulang mengambil arah yang berlawanan. Lebih parah lagi, sudah menerobos lampu merah, melawan arus, tidak pula menggunakan helm. Jadi, lengkaplah sudah, bukan?
Tindakan ini bagi anak adalah pelajaran yang kontradiktif antara apa yang didapatkan di sekolah dengan perilaku orang tua saat mengantar atau menjemput anak dari sekolah. Anak kembali belajar yang tidak baik dari orang tua sendiri. Nah, bayangkanlah. Di sekolah anak-anak diajarkan tata krama, etika di jalan raya atau adab di jalan raya, rambu-rambu lalu lintas dan sebagainya sebagai bagian dari upaya membangun karakter anak-anak di sekolah. Misalnya, anak-anak yang berakhlak mulia itu harus taat pada aturan, sementara orang tua melakukan pelanggaran di depan mata anak sendiri.
Selain dalam konteks adab di jalan raya, dalam konteks lain pun tidak jarang kita temukan perilaku buruk orang tua yang dicontohkan kepada anak. Di sekolah daiajarkan anak-anak menjaga kebersihan, tidak membuang sampah sembarangan di rumah, apalagi di jalan. Celakanya, banyak orang tua yang sedang membonceng anak atau mengantarkan anak dengan mobil, lalu membuang sampah dari dari kaca mobil ke jalan raya, seperti sampah tisu, atau malah puntung rokok atau kotak rokok dan lain-lain. Jadi memang tidak jarang anak belajar hal yang salah atau buruk dari orang tua. Hal ini tentulah tidak sinkron antara pelajaran yang diterima anak di sekolah dengan praktik yang didapat anak- anak ketika bersama kedua orang tua. Bukan hanya dalam hal berlalu lintas dan tabiat membuang sampah sembarangan, dalam hal lain juga banyak sekali kesalahan yang dipertontonkan orang tua sebagai contoh kepada anak. Ayah yang perokok, biasanya tidak ingin bahkan tidak suka bila anaknya merokok. Artinya ia akan melarang anak-anaknya merokok. Sementara ayah terus merokok dan menyuruh anak membeli rokok ke kios atau toko yang menjual rokok. Begitu pula dalam hal mengajarkan anak-anak kejujuran, tidak sedikit orang tua yang tidak konsisten. Sebagai contoh, fenomena yang kini menjadi perhatian semua pihak adalah tindakan korupsi yang dilakukan oleh oknum orang tua yang memalukan anak sendiri. Tentu masih sangat banyak kesalahan orang tua yang kita sebut dengan sikap dan tindakan inkonsisten orang tua dalam mendidik anak-anak.