Oleh Ahmad Rizali
Berdomisili di Depok, Jawa Barat
Mengapa ada kata literasi ? Karena kurang dari separo WNI yang mampu membaca kalimat, paragraf dan lain sebagainya, faham maknanya. Dunia menyebutnya “Functionally Literate”.
Dalam kaitan dengan membaca dan faham makna, saya masih terheran heran ketika 25 tahun yang lalu, Pak Taufik Ismail berkisah bahwa siswa SMA di Rusia wajib membaca belasan buku karya sastra selama sekolah dan salah satu yang diwajibkan adalah “War and Peace” nya Leo Tolstoy yang tebalnya naurzubillah.
Jika muridnya wajib membaca karya sastra yang berat itu, guru mereka tentu sudah membaca rerata lebih banyak dari muridnya. Ketika membaca dan faham maknanya, maka otak akan berputar dan nalar akan semakin baik.
Apakah guru kita membaca belasan karya sastra ? Jangan beralasan sulit mencarinya. Kalaupun sulit, ada masanya sang “lapar membaca” akan mencuri baca di toko buku bahkan dicuri sekalian untuk dibaca di rumah atau menghabiskan waktu di perpustakaan.
Sekarang bahkan dengan mudah kita peroleh karya sastra dunia itu di dunia maya, gratis dan dengan beberapa klik akan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Jika mata sudah “mblereng” bisa klik buku “bersuara”. Apakah guru kita membaca ?
Membaca itu seperti olahraga, memerlukan pantikan, pembiasaan dan kebiasaan akhirnya menjadi semacam kebutuhan, jika tidak bisa disebut kecanduan, karena jika tak ada yang dibaca gejalanya mirip orang sakaw dan ketika sudah diberi bacaan dan dilahap, tenang.
Namun, kami pelan namun pasti menemukan ada yang salah dalam mengajari murid membaca, sehingga yang mereka peroleh hanya menghapal huruf dan reciting, persis seperti saya mengaji kitab suci.
Mengapa otoritas Pendidikan tak menugasi LPTK yang seabreg itu agar mencari dan melaksanakan solusi persoalan “bisa membaca, namun tak faham makna”.
Apakah terbayangkan, seseorang yang hanya bisa membaca huruf latin dan tak faham makna yang dibaca (karena bahasa Inggris), lantas menamatkan novel berat ribuan halaman itu ?