Oleh Satria Dharma
Berdomisili di Surabaya, Jawa Timur
Seminggu ini, hari yang bermakna bagi kami. Kami merayakan hari ultah pernikahan kami dan juga hari ultah saya yang tanggalnya berdekatan. Berdasarkan angka saat ini saya lebih tua dari sebelumnya. Tapi rasanya sih sama saja dengan kemarin-kemarin. I still feel like forty punjul rodok akeh.
Biasanya kami membuat pesta kecil dan mengundang keluarga dan teman-teman untuk makan bersama di rumah atau di resto untuk merayakannya.Tapi kali ini kami ingin merayakannya dengan cara yang lain. Kali ini kami ingin merayakannya berdua saja. Let’s say honeymoon yang ke sekian ribu kalinya. Lagipula pandemi juga belum benar-benar berlalu dan kumpul-kumpul dalam jumlah besar juga masih dilarang. Karena ini hari penting, maka kami perlu membuat sebuah resolusi untuk hidup kami. Resolusi kami untuk tahun-tahun ke depan adalah untuk menikmati hidup dengan cara baru, yaitu berani melakukan hal-hal baru dan berani keluar dari zona nyaman kami.
Rasanya hidup kami semakin lama semakin rutin dan kami selalu mengulang-ulang hal yang sama. Kami juga semakin menghindari hal-hal baru yang bersifat adventurous. Jelas sekali bahwa kami telah terjebak dalam zona nyaman dan kami perlu untuk keluar darinya. Keluar dari zona nyaman itu kan tidak selalu berarti masuk ke zona tidak nyaman. Bisa juga berarti masuk ke zona LEBIH nyaman.
Apa hal-hal baru yang ingin kami lakukan dalam tahun-tahun mendatang? Yang jelas kami ingin mencoba makanan baru dan tidak terbelenggu dengan makanan favorit kami saja selama ini. Kami harus berani keluar dari zona nyaman makanan kami dan mulai mencoba menu-menu baru yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh kami sebelumnya. Kami mungkin perlu mencoba mencicipi walang atau belalang goreng yang saya lihat dijual di pinggir jalan dalam perjalanan kami. Tak pernah terlintas dalam benak kami untuk mencoba walang goreng, karena kami sudah terlanjur nyaman dengan menu-menu favorit kami selama ini. Tapi sesekali kami harus mencobanya. Kata orang sih rasanya enak, so who knows we might enjoy it too. Intinya kami harus berani mencoba makanan-makanan baru untuk membuat hidup kami lebih hidup.
Kemarin saya sudah mulai dengan mencoba bubur gudeg Yu Sum yang bukanya ngemper di pinggir jalan yang ternyata uwenak….! Siapa tahu suatu saat ada menu bubur goreng.
Kami juga harus mencoba untuk keluar dari lingkup pertemanan lama kami dan mencoba untuk mengenal orang-orang baru. Beberapa tahun yang lalu kami sempat ikut Friendship Force dan punya teman-teman orang asing dari beberapa negara, tapi kemudian kami hentikan karena rumah kami tidak bisa lagi menerima tamu karena kamar tamu kami sering terpakai untuk teman dan keluarga.
Kami belum tahu bagaimana kami akan mencoba untuk mengenal orang-orang baru, tapi itu tekad kami.
Belakangan kami malah jarang ikut reunian terutama karena pandemi, sehingga kami hanya beredar di keluarga dan teman dekat saja. Kami mungkin akan mempertimbangkan untuk ikut gym atau kursus agar punya kegiatan lain yang baru. Untuk olahraga kami mungkin akan tetap jalan kaki, tapi ke tampat-tempat baru yang belum pernah kami datangi. Step to a new road and enjoy the different view.
Jadi apa yang kami lakukan? Kami putuskan untuk traveling berdua saja. Lha selama ini kan juga travelling berdua, jadi apanya yang baru? Kali ini kami putuskan untuk jalan-jalan ke kota lain bawa mobil sendiri. Biasanya kalau kami traveling bawa mobil ya bersama anak-anak. Ke mana? Ya, nanti saja kami putuskan. Kali ini kami ingin impulsif saja tanpa perencanaan. Berapa hari? Ya tidak tahu. Pokoknya kalau sudah bosan atau harus pulang ya baru pulang. Pagi-pagi kami sudah keluar rumah, mengisi bensin sampai penuh, mengisi kartu tol lumayan banyak, dan masuk tol. Pertama kami akan ke Madigondo. Ini adalah tempat yang paling bersejarah bagi kami karena di desa inilah kami dulu menikah 29 tahun yang lalu.
Sekadar informasi, saya berhasil mempersunting seorang gadis kembang desa anaknya Pak Lurah dulu. Untuk ukuran zaman dulu bisa mempersunting kembang desa anaknya Pak Lurah sudah termasuk prestasi yang bisa bikin iri orang sekampung. Kalau sekarang ya kira-kira sama dengan mempersunting seorang artis sinetronlah…!
Rumah di mana kami dulu menikah masih ada dan sudah kami perbaiki, sehingga menjadi tempat tinggal yang sangat nyaman. Ini tempat yang selalu kami datangi kalau kami bosan di Surabaya. Dengan adanya tol perjalanan dari Surabaya ke Madiun hanya butuh 1,5 jam dengan pemandangan sepanjang perjalanan yang astonishing. Kami selalu menikmatinya. Sekarang rumah ini ditinggali oleh adik istri saya dan anak-anaknya.
Kami tidak lama di Madigondo karena kami putuskan untuk jalan-jalan ke Wonogiri, rumah Dr. Santi dan Dr. Danarto SpB di Baturetno. Dr. Santi itu dulunya adalah siswa saya di SMPN Caruban dan ia akhirnya jadi teman baik istri saya. Kami pernah traveling bareng ke Balkan pas sebelum pandemi menghajar dunia. Sudah lama mereka mengundang kami untuk datang ke rumah sekaligus klinik mereka di Baturetno. So why not…?!
Kami ke Wonogiri lewat Ponorogo dan sempat lewat hutan Tulangan yang sangat sempit dan mendaki sangat curam. Lalu lewat jembatan kecil yang sangat ngepas dengan mobil besar kami. Alarm mobil berbunyi terus karenanya. Ngeri juga kalau kami pikir. Sebetulnya sudah diwanti-wanti untuk tidak lewat di situ, tapi Google map mengarahkan ke sana dan saya tidak punya pilihan selain ikut saja. Anggap saja ini sebagai our adventure yang membuat adrenalin kami mengalir deras. Tapi kalau disuruh lewat situ lagi ya mboten kemawon.
Di Baturetno kami nginap semalam. Paginya kami pakai sepatu olahraga kami dan mulai jalan kaki masuk ke kampung-kampung. Kami menikmati pemandangan desa yang sudah makmur, rapi, dan tertata. Lalu tancap ke Jogyakarta via Pracimantoro. Mampir dulu di Kasongan beli pot-pot bunga untuk di rumah. Ini juga kami putuskan saat kami sudah akan masuk Jogyakarta.
Sebetulnya di Jogya kami ingin menginap Hotel Amaranta Prambanan karena tertarik dengan promosinya. Tapi saya keliru booking Hotel Amaranta di Thailand dan sudah saya bayar via kartu kredit. Waktu mau booking lagi ternyata Hotel Amaranta Prambanan penuh. Hanguslah uang hotel saya tersebut karena non returnable. Akhirnya kami putuskan untuk menginap di hotel Melia Purosani Jogya. Hotel ini dekat Malioboro dan kami olahraga pagi mengelilingi Malioboro. Seperti biasa istri saya mampir di Pasar Bringharjo untuk oleh-oleh daster obralan. Can’t help it. Obralan dan tulisan diskon 70% itu seperti magnit bagi istri saya untuk menghampiri.
Seperti biasanya kami selalu cari hotel berbeda dan tidak ingin di hotel yang sama. Toh kami bawa mobil sendiri. Dari kamar kami di Melia Purosani kami melihat hotel Jambuluwuk tidak jauh dan pingin coba ke sana esoknya. Ternyata hari itu Jambuluwuk penuh dan kami terpaksa cari hotel lain dan dapat Swiss Belboutique di Jl. Sudirman. Paginya jalan kaki lagi kok ya pas ke kampus UGM di Bulak Sumur. Jadilah kami mengelilingi kampus UGM yang sungguh luas dan asri tersebut. Dulu saya sempat pingin kuliah di kampus ini, tapi tidak jadi karena faktor ekonomi, maksudnya ran de dit.
Kami bersaudara sebelas orang dan penghasilan ayah saya Alhamdulillah hanya cukup untuk makan kami sehari-hari saja. Untunglah saya kemudian bisa kuliah Bahasa Inggris di IKIP Surabaya gratis dan bahkan dapat tunjangan dinas. Ini jelas jauh lebih keren ketimbang jadi mahasiswa UGM kere dan terlunta-lunta. Sejak itu saya selalu punya uang dan tidak pernah menjadi mahasiswa kere. Waktu kuliah S-1 saya sudah bisa beli sepeda motor sendiri Honda Super Cub warna merah yang bikin ngiri teman-teman yang uang transportnya masih minta sama ortu.
Sambil mengitari kampus UGM saya berpikir sendainya saya kuliah di sini apakah saya akan sempat bertemu dengan Ahok dan Sri Mulyani? Eh, Ahok dan Sri Mulyani bukan alumni UGM ding…!
Di Jogya dua hari kami sempatkan bertemu dengan buliknya Ika dan teman-teman lamanya. Untuk keliling Jogya kami gunakan becak hotel yang banyak mangkal dan tidak ada yang memakainya. Kasihan juga…! Saya pikir semestinya para turis ke Jogya yang bawa mobil tidak menggunakan mobilnya untuk keliling-keliling Jogya. Parkir saja mobil di hotel dan gunakan becak untuk keliling-keliling. Toh becaknya sudah pakai motor juga.
Keliling kota naik becak sungguh romantis rasanya. Rasanya seperti Rome and Juliet, Galih dan Ratna, Cleopatra dan Mark Antony, Paolo dan Francesca, Rangga dan Cinta, Markeso dan Marlena. Dengan membayar seratus ribu kita bisa puas ke mana-mana tanpa harus merasakan macet bawa mobil sendiri.
Besoknya kami putuskan meneruskan perjalanan honeymoon kami ke Solo. Sambil jalan ke Solo kami mampir ke Keraton Ratu Boko di daerah Sleman. Itu pun baru kami putuskan ketika mau berangkat ke Solo. Ternyata tempat wisata ini sangat menarik dan kami merasa beruntung bisa mendatanginya. Menurut legenda Roro Jonggrang, anak Prabu Boko seorang raksasa yang suka makan manusia, menolak pinangan Bandung Bondowoso karena dia adalah pembunuh ayahnya. Ya jelas dong…! Udah membunuh ayahnya eh malah mau mengakuisisi anaknya yang semlohai itu. Tapi untuk menolak langsung Roro Jonggrang juga tidak berani karena Bandung Bondowoso terkenal berangasan. Jadi RJ kemudian memberi syarat kepada BB untuk membangun 100 candi dalam semalam. Edian..! Emang kue pancong apa…?! Tapi BB memang sakti dan menjelang tengah malam sudah 999 candi selesai. Tinggal satu lagi…. RB kemudian mencari akal agar BB gagal. Dan terjadilah tragedi tersebut… Juliet mengira Romeo sudah mati sehingga ia memutuskan menenggak racun agar bisa mati bersama. Begitu juga Antony. Ia mengira Cleopatra sudah mati. Antony lalu menikam dirinya sendiri dengan pedang dan mati di pelukan Cleopatra. Bandung Bondowoso marah lalu mengutuk Roro Jonggrang menjadi candi ke 1.000. Eh, sori… Ceritanya korslet.
Untuk di Solo kami memilih menginap hotel Aston. Di Solo kami diajak teman Ika makan sate dan gule kambing di warung Mbok Galak yang terkenal itu. Ternyata memang galak dan enak dan sangat cocok dengan selera kami. Sate buntelnya sungguh maknyus dan siang itu kami makan banyak daging kambing. Malamnya ke Paragon Mall dan esok paginya kami kembali jalan-jalan pagi menyusuri perkampungan di sekitar hotel Aston Solo.
Kami tidak kemana-mana lagi dan langsung tancap ke Madigondo sebentar dan langsung balik ke Surabaya karena ternyata kami ada acara ke Bandung setelah ini. Kampus Sekolah Tinggi Teknologi Bandung (STTB) akan wisuda hari Minggu ini dan saya diundang untuk datang menghadirinya. Selain rapat-rapat yayasan ya cuma ini kerjaan saya sekarang, yaitu mendatangi wisuda-wisuda yang dilakukan oleh tiga kampus saya di Bali, Balikpapan, dan Bandung. Tapi kalau tidak saya datangi ya saya gak dapat honor yang cukup nayamul jumlahnya. Kan eman-eman banget gitu loh…!
Sekian dulu cerita saya.
Surabaya, 3 Desember 2021
Satria Dharma