Gitar Kecilku

 

Foto dok.Nokenstudio

Oleh: Aulia Manaf

Aku sangat merindukan kamu, Banyu! Merindukan senyummu. Merindukan segalanya darimu. Namun hanya satu hal yang tak bisa aku terima. Kau telah merusak salah satu kebahagiaanku. Kau telah menghancurkan salah satu bagian hidupku. Kini rinduku musnah. Seolah setetes embun pagi yang jatuh ke tanah ini.

***

Tak dapat kupungkiri bahwa Pak Majid adalah orang yang paling baik yang aku kenal, selain orangtuaku tentunya. Dia salah satu pejabat Kecamatan di kota ini. Sudah membantu keluargaku dalam hal keuangan . Memberikan aku segala keperluan sekolah , mulai aku kelas tiga SD sampai sekarang lulus SMA. Itu semua terjadi karena Bapakku sebagai tulang punggung keluarga sudah tiada, dan hanya ibu yang menjadi tukang cuci seterika yang menghidupi. Keluarga kecil kami dengan satu adikku yang selisih tiga tahun.

“Kamu mau kuliah, Laras?”, Tanya Pak Majid suatu hari. “Tidak, Pak. Cukuplah lulus SMA saja. Saya mau kerja,Pak.”Aku menjawab dengan nada yakin. Lebih tepatnya aku berusaha untuk meyakinkan diri  sendiri. Meskipun dalam hati kecilku ingin sekali kuliah dan mencapai cita-cita waktu kecil menjadi guru. Tapi tidak, kutepis jauh-jauh cita-cita itu. Hanya satu yang kupikirkan setelah lulus SMA. Kerja dan kerja. Cukuplah aku merepotkan Pak Majid dan keluarganya dengan memberikan uang setiap bulan pada keluargaku. Tak usah menambah lagi. Aku pun tahu diri. “Kamu yakin?” Pertanyaan Pak Majid yang menohok jantung telah mengagetkan lamunku. Aku gelagapan dan segera menguasai diri. Aku mengangguk dan mengiyakan. “Saya sudah ditawari bekerja sebagai kasir di Warnet teman saya ,Pak,”Lelaki berwajah baik itu pun maklum adanya.

Bersyukur, sejak lulus SMA , aku bekerja di Warnet Medium Life di pinggiran kota. Ibuku mengijinkan karena tempatnya tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya satu kali naik angkot. Tapi bahagiaku juga masih tertuju pada keluarga Pak Majid. Mereka masih memberikan sembako pada keluargaku setiap bulan. Hanya satu kata-katanya yang masih kuingat sampai sekarang.”Laras, maukah kau berkenalan dengan seorang keponakanku? Namanya Banyu. Dia masih kuliah di Surabaya. Tapi sebentar lagi dia lulus kok . Dan akan bekerja di perusahaan orangtuanya”. Aku hanya mengangguk tanda setuju. Aku harus bersikap positif pada keadaan apapun. Siapa tahu cowok itu memang cocok buatku? Dan menjadi jodohku kelak? Tidak ada orang yang tahu.

***

Hari-hariku kujalani dengan happy. Bekerja di Warnet yang selalu ramai pengunjung. Senang sekali bertemu dengan orang-orang yang suka berkelana di dunia maya. Berselancar, main game online, mencari informasi terkini, bahkan ada yang mencari jodoh, katanya. Ternyata sudah ada yang bosan mencari jodoh di dunia nyata, malah mencari di dumay-dunia maya. Terserah pilihan orang. Tapi menurutku, lelaki di dunia nyata, lebih enak diajak bicara daripada dunia maya yang penuh tipu muslihat.

Aku selalu tersenyum sendiri mengulik kebiasaan pelanggan warnet yang beraneka macam. Belum selesai senyum lebarku melayani pelanggan yang membayar tagihan biaya internet , tiba-tiba aku dikejutkan dengan sosok cowok tinggi proporsional yang nongol di warnet. “Bisa bertemu dengan Laras? Saya Banyu.” Aku terpana melihatnya. Dia ganteng sekali. Mirip bintang sinetron daripada hanya anak sekolahan. Aku gelagapan. “Eh , iya…saya Laras. Kamu ponakannya Pak Majid,ya?” Cepat-cepat kuulurkan tanganku bersalaman. Aku benar-benar terpukau dibuatnya. Namun aku berusaha keras menyembunyikan kegugupan ini. Kuatur senyum sewajar-wajarnya. Aku menyilahkan duduk cowok itu tak jauh di depanku. “Ramai ya warnetnya?”, tanyanya sembari melihat sekeliling warnet ini. Kami pun mulai berbasa basi dengan akrab. Aku mulai menunjukkan antusias yang wajar, karena dia ternyata tipe cowok yang mudah berbaur pada kondisi apapun, dimanapun. Dia mengatakan bahwa akan libur dua minggu setelah ujian semester. Pulang kampung, katanya. Dan dia senang bisa punya tempat nongkrong bareng teman-temannya di warnet ini.

***

Banyu. Sosok itu memang bagai air yang mengalir membasahi kerongkongan yang haus dan kering. Membuat suasana hidupku tak kering lagi. Bagai bunga layu, yang tiba-tiba segar kembali saat ada yang menyirami. Kedatangannya yang mendadak seolah keajaiban yang muncul dari langit. Bagai air hujan yang telah lama dinantikan oleh umat manusia setelah sekian lama musim kemarau. Kering kerontang berganti segar dan bercahaya. Panas dan terik berganti suasana yang adem dan nyaman. Begitu pula suasana hatiku. Nyaman sekali saat aku melihat sosoknya . Meski hanya beberapa menit sempat mampir ke Warnet. Banyu, sosok yang dewasa, menyenangkan dan yang hebat, dia pernah membuatku tertawa dengan leluconnya.

Tak terasa dua minggu sudah berlalu. Banyu harus kembali kuliah. Dan akupun harus siap dengan kehilangan sosoknya. “Jangan khawatir, Laras. Pertemanan kita tak kan pernah berakhir. Kita masih bisa sms-an dan chatting di FB, kan?” Kata-kata itu seolah telah menjawab kegundahanku. Apakah dia telah tahu bahwa aku telah merindukan senyumnya setiap hari? Aku hanya tersenyum getir. Dari awal aku bertemu dia, aku sudah berusaha sadar, bahwa dia terlalu jauh untuk dijangkau. Walau aku berdekatan dengannya, aku merasa dia jauh di awang-awang. Aku sangat sadar itu. Bagiku, ketika Banyu berjanji akan bertemu lagi, itu sudah kebahagiaan yang luar biasa. Lagi-lagi bagai ada air dingin yang mengalir di kerongkonganku yang kering. Aku melepasnya dengan senyum mengembang. Indah.

***

Beberapa minggu berlalu.

“Apa kabar Warnet Medium Life?”, sapanya tiba-tiba mengagetkan aku yang sibuk menghitung uang pelanggan. “Hai ! Kok nggak nanya kabarku?” Terasa bahagiaku ada di ujung tanduk. Rinduku padanya seperti lunas sudah ketika kutatap matanya yang damai. Cukuplah kebahagiaanku sore itu. Aku makan bersamanya, dan menatap jalanan senja yang temaram . Lalu dia mengantarkan aku pulang kerja. Untuk pertama kali ! Girangku  lengkap sudah hari ini.

Suatu hari dia mengajak aku untuk mampir ke rumahnya. Katanya ada novel bagus yang baru saja dibelinya. Aku girang bukan kepalang. “Boleh pinjam, nggak?” , tanyaku setengah berharap. “Dibawa saja buat kamu, Laras. Aku sudah membacanya. Ceritanya bagus, kok”. Ya Tuhan, mengapa dia begitu baik padaku? Dengan apakah aku akan membalas semuanya? Tiba di rumahnya yang asri penuh pepohonan rambutan dan magga, sedikit salah tingkah. Dia mengajak masuk . Aku ragu untuk masuk ke ruang tamunya. “Bentar ya, aku ambilkan bukunya,”

Aku terkagum-kabum melihat ruang tamu itu. Sangat nyeni. Ada beberapa lukisan yang tergantung di dindingnya yang putih bersih. Patung-patung dan pahatan yang bercitarasa tinggi, tak ketinggalan pigura foto-foto keluarga yang berukir indah. Serasa masuk di galeri seni. Aku merasa masuk ke dalam duniaku yang mendamaikan hati.Tiba-tiba mataku menabrak pada sosok gitar mungil di pojokan pintu ruang tengah rumah ini. Aku seperti mengenalnya. Dia seperti sahabatku yang hilang. Memoriku segera berputar cepat. Kuaduk-aduk isi kepalaku . Menyisir serpihan kenangan yang pernah singgah di kehidupanku. Blarrrr ! Bagai bom yang meledak, kenangan itu berwujud sepenggal demi sepenggal. Kususun dan menjadi segumpal cerita yang tak mudah kulupakan. Dia adalah bagian dari hidupku ! Namun aku berusaha keras untuk berpikir positif. Gitar kecil bukan hanya kepunyaanku. Tapi di toko alat musik pasti banyak.

“Ini novelnya,”Banyu mengulurkan buku yang lumayan tebal itu. “Rumah kamu bagus, Banyu. Seperti galeri seni,” “Bukan, Laras. Bukan rumahku. Rumah orangtuaku. Aku masih belum punya rumah. Masih mengira-ngira, aku membangun rumah sama siapa ya suatu saat nanti? Sama seseorang pastinya.” Dia melirik ke arahku. Entah apa maksudnya berkata seperti itu, dengan cara memandangku agak aneh . Aku tak dapat memahami arti pandangan matanya. Peduli amat. Aku hanya tertarik pada gitar itu. “Banyu, gitar itu lucu banget. Punya siapa? Boleh aku melihatnya?” Aku menunjuk gitar mungil di pojok itu. Banyu segera bangkit dari duduknya dan mengambilkan untukku.

Gitar itu sudah ada di tanganku. Mataku berbinar senang. Seolah aku menemukan sosok kekasihku yang hilang. Segera aku memainkan beberapa nada dan lagu. Banyu terperanjat, “Kamu bisa main gitar? Nggak nyangka.” Banyu melangkah ke belakang mengambil minum. Cepat-cepat aku membalikkan gitar ini. Ya Tuhan, benarlah seperti dugaanku. Ada tulisan logo love dan huruf L. Spidol hitam ini masih belum hilang hingga bertahun-tahun lamanya. Dialah kekasihku. Gitar mungil ini. Mataku berkaca-kaca.

Setelah minum, aku beranjak pulang. Banyu mengantarkan pulang. Bayangan itu berkelebat hebat. Beberapa tahun yang lalu, saat aku masih SD kelas tiga.

***

Bus kota adalah sahabatku. Debu jalanan, asap kendaraan adalah teman sejatiku. Dan gitar ini , adalah kekasihku. Naik turun bus kota adalah pekerjaanku. Menyanyi, memetik gitar mungil. Suara vokalku yang tidak terlalu merdu, mampu memberikan sesuap nasi untuk keluargaku. Para penumpang yang budiman, mengulurkan tangannya demi melihat sosokku yang mungil sambil memainkan gitar dengan lincahnya. Namun kejadian tak terduga itu datang. Ketika aku kelelahan di ujung kursi tunggu penumpang. Aku tertidur sambil memeluk kekasihku. Memeluk senar-senar itu. Entah sudah berapa lama terlelap. Tiba-tiba aku terjaga setelah mendengar suara klakson bus yang memekakkan telinga. Aku terlompat dari kursi dan mencari-cari kekasihku. Dia tidak ada di kursi itu. Ya Tuhan, siapa orang yang tega mengambilnya? Benda itu adalah sumber kebahagiaanku, sumber mata pencaharianku. Aku pulang dengan deraian air mata. Meratapi kehilangannya berhari-hari.

Sejak saat itu, aku hanya mengandalkan ecek-ecek di bus kota. Mata-mata sadis memandangku dengan sinis saat aku menyanyikan lagu-lagu . Kejanggalan itulah yang membuat Pak Majid mendekatiku dan menawarkan beasiswa. Lelaki yang setia dengan bus kota saat ada acara keluar kota.

***

“Laras, sudah sampai rumah nih.” Banyu mengagetkan lamunanku beberapa tahun yang lalu. Aku mengusap air mataku yang meleleh. “Kamu kenapa?”, tanyanya heran. “Tidak apa-apa. Terima kasih ,ya. Kapan-kapan aku ingin lihat kamu menyanyi sambil main gitar.”

Aku melompat masuk kedalam rumah. Aku segera tenggelam dalam ruang kamarku. Banyu,aku telah merindukan segalanya darimu. Namun hanya satu hal yang tak bisa aku terima. Kau telah merusak salah satu kebahagiaanku. Kini rinduku musnah sudah.

 

***selesai***

Exit mobile version