Oleh Fajar Ilham
Wahai atom-atom yang tersesat! Kembalilah pada inti-mu. Jadilah cermin abadi hingga kamu menyaksikan berkas-berkas cahaya yang tenggelam ke dalam kelam. Kembalilah dan lebur dalam mentari #FariruddinAthar
Tulisan ini teruntuk diriku dan kaum muslim yang berkepentingan untuk menyambut lajunya perkembangan dunia modern yang lompatan geraknya begitu cepat. Penemuan-penemuan teknologi yang semakin hari semakin canggih, namun berpotensi memanipulasi manusia. Apakah di dunia ini tampaknya tidak memiliki transendel spiritual? Hal ini bukan karena transendel spiritual itu tidak ada, akan tetapi yang menyaksikan kehidupan alam semesta hanya di lingkaran eksistensi, sehingga ianya manusia hanya dapat menyaksikan segala sesuatu dari sudut pandangannya sendiri, sulit untuk menemukan hakikat geraknya manusia, atau dapat dikatakan esensial dari gerak itu sendiri.
Kami akan memberikan sedikit contoh dari dahsyatnya teknologi yang bila tak tersadarkan diri ianya manusia akan kehilangan esensial dari geraknya sendiri. Katakanlah sebuah kalkulator yang ada di tangan manusia. Secara eksistensi, ini hanyalah sebuah mesin hitung yang mempermudah manusia untuk beraktivitas untuk menentukan jumlah bilangan angka-angka. Misalkan, jika satu ditambah satu kita tekan tombol, hasilnya sudah pasti dua, tanpa kita mengucapkan bismillah sudah pasti hasilnya dua. Dapatkah kita bayangkan bagaimana jika manusia tidak sadar akan dirinya dari hakikatnya gerak itu sendiri (esensial).
Tak salah juga jika suatu saat, generasi kaum muslimin menganggap konsep rezeki itu adalah buah dari ikhtiarnya dan menepisnya akan ketentuan rezeki dari Sang pemberi rezeki atau bisa saja ianya manusia mendapatkan rezeki yang berlimpah, namun keberkahannya tak ikut serta.
Dikotomi humanistik manusia teknologi telah amnesia atau pelupa akan tujuan diciptakannya. Jika kita menoleh ke masa lalunya, ianya manusia adalah suatu makhluk yang sangat mengagumkan, mulai dari proses penciptaan ditempatkan di dalam tempat yang kuat dan ternyaman, yaitu di rahim seorang ibu, hingga ketika lahir ke dunia dibesarkan dalam lingkungan kasih sayang yaitu orang tuanya, namun demikian terlihat lucu ketika ianya manusia bisa lupa akan dirinya hanya karena eksistensi lingkungan kehidupan alam semesta.
Dalam nestapa teknologi, ada baiknya kita kutip ulang amsal dari Fariruddin Athar yang masih hangat untuk dinikmati dalam menempuh sebuah perjalanan yang panjang ini. Katanya: Syari’at, dan tarikan hanyalah suatu kendaraan. Beragama berarti melakukan perjalanan. Agama itu seperti kuda. Kuda yang semestinya sebagai kendaraan dipergunakan untuk menempuh perjalanan menuju titik tujuan tertentu. Namun sayangnya banyak pengendara kuda yang melupakan tujuan dan menganggap bahwa menaiki kuda adalah tujuannya.
One more! Tentang nestapa teknologi, kali ini kita ambil dari Heidegger. Katanya, manusia modern terjebak dalam situasi lupa akan kenyataan. Situasi ini disebabkan oleh rasio kita yang terlalu banyak menyimpan pemikiran tentang kenyataan akan realitas hidup. Isi rasio ini mempengaruhi cara kita berinteraksi terhadap kehidupan, baik dengan alam semesta, sesama manusia, maupun benda-benda yang diukur dengan eksistensi sistem pemikiran manusia itu sendiri, bukan esensial dari hakikat sebuah penciptaan. Akhirnya, terjebak dalam gagasan, cita-cita ide besar, atau harapan tentang kenyataan. Sementara kenyataan sendiri tak pernah mengalami secara langsung. Seperti, bila suatu siang matahari bersinar, jika kita kepanasan dan mengeluarkan keringat. Seorang dari kita mengatakan. Panas sekali hari ini ya? Dan yang lainnya bilang. Iya, aplikasi di Android saya menunjukkan angka 42
derajat. Ketika panas diukur dengan aplikasi android ketimbang pengalaman merasakan panas itu sendiri. Di saat itu juga kita bisa amnesia tentang pencemaran lingkungan dan penebangan hutan. Pada saat itu juga kata Heidegger kita lupa akan kenyataan yang kita lihat, dan kita saksikan di kehidupan ini.
Mengapa kita begitu pelupa? Padahal teknologi global masih menyimpan berita-berita yang urgen untuk diselesaikan, apa yang belum diselesaikan. Dalam cerita pendek Putu Wijaya menceritakan tentang sebuah kampung yang melahirkan seorang anak perempuan tanpa mulut, tanpa bibir yang mendadak menjadi bahan gosip di sosialita. Pada saat seru-serunya gosip, koran nasional memberitakan tentang kenaikan harga minyak goreng. Mendadak para sosialita ini berkomentar, mendadak juga menjadi pengamat. Tanpa disadari, gosip tentang perawan tanpa mulut ini-pun terlupakan.
“Bila suatu hal baru menjadi pusat pembicaraan, hal-hal baru yang urgen akan tertimpa dan terlupakan” inilah kebiasaan buruk penggunaan teknologi saat ini yang lupa akan kenyataan yang urgen untuk dijalankan dan di selesaikan. Hanya beberapa orang yang masih istiqamah dan mau menoleh dari peristiwa masa lalu dan menjadikan i’tibar sebagai kerangka dalam menjalani kehidupan.