Oleh Syamsuarni Setia
Banyak kesesatan dipamerkan dalam medsos yang membahayakan moralitas anak bangsa. Kali ini saya tidak menyinggung problem sesat moral koruptor, tapi sesat pikir lain yang tak kalah boomingnya. Ada sesat pikir hobbi pamer hoax, sesat pikir hatespeech dengan assesoir/pernak pernik fitnah dan pelecehan seperti kasus terakhir membenarkan pelecehan kalimat tauhid. Sesat-sesat ini agar tidak terjebak di dalamnya perlu diilmui secara otodidak berhubung tidak diajar di pendidikan formal. Saya perhatikan, bagi sosok yang sesat pikir, menjadikan medsos sebagai menu harian untuk menanamkan paham sesatnya dengan celoteh usang tentang hoax, ujar kebencian, fitnah dan rasa tidak senang pada seseorang, kelompok dan organisasi.
Di medsos menurut amatan saya ada dua pelaku sesat pikir yang dipertontonkan, yaitu: “pelaku fallacy” dan “pelaku paralogisme”. Keduanya sengaja menyesatkan orang lain. Kaum pelaku fallacy ini selalu berusaha dengan sadar memengaruhi dengan argumentasi yang menyesatkan agar terkesan kehebatannya, walaupun audien yang mendengar berusaha meluruskan sesatnya. Sedangkan pelaku paralogisme tidak menyadari kekurangan dirinya, tapi sadar dia sedang berbual, sehingga dia tidak bertanggung jawab pada setiap argumen atau pendapat yang dikemukakannya.
Baik pelaku fallacy maupun paralogisme, pada umumnya adalah para pelaku sesat pikir yang menyimpan tendensi pribadi seperti sudah terlanjur membenci karena dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lain seperti sosok yang dibenci sering mengkritik atau berseberangan dengan tokoh idolanya. Contoh di medsos sesat pikir yang dibangun dengan pernak pernik pelecehan sering melontarkan kritik pedas terhadap pemerintahan sekarang, sedangkan si pelaku sesat pikir merasa tidak senang sehubungan menyangkut tokoh idolanya.
Sebagai mantan Detektif Sesat Pikir selama karier sebagai ASN yang sering menelaah dan memberi rekomendasi tindak lanjut terhadap penyimpangan bidang sesat mengelola finansial, aparatur, proyek dan pengelolaan tupoksi entitas aparatur beberapa priode, ada beberapa langkah untuk menjaga diri tidak terperangkap pada jebakan sesat pikir. Namun bukanlah obat mujarrab, semuanya terserah pada pribadi masing-masing, karena basic kepribadian punya tipikal beda. Ada yang kritis dan ada yang tidak kritis. Bahayanya tipikal tidak kritis sering dibuai oleh mimpi-mimpi yang nikmat. Sebaliknya tipikal kritis cepat sadar tersentak dari roh-roh jahat yang memperdaya.
Untuk referensi, sekadar sumbang saran, agar tidak terperdaya pada kaum fallacy dan paralogisme perlu dibaca:
Pertama, “Penyesatan Opini”, karya Adian Husaini, M.A.
Kedua, “Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis”, karya Dr. Anis Malik Thoha.
Ke tiga, “Gerakan Theosofi di Indonesia” karya Artawijaya.
Ke empat, “ Peradilan Yang Sesat”, karya Hermann Mostar (Gerhart Herman).
Mudah-mudahan hari ini kita mampu mengusir roh dan anasir-anasir jahat yang menyesatkan langkah kita, melalui zikir-zikir kepada Allah Subhanahu Wata’ala, di samping juga mengilmui diri secara otodidak, karena ada pepatah “tak kenal maka tak sayang”.
Dengan mengenal “sesat pikir” menjadi ibrah bagi kita untuk menyayangi ketidak-sesatan, sehingga kita sebagai penempuh jalan menemukan the straight path (jalan yang lurus), sebagaimana dikatakan oleh Alwi Alatas dl bukunya The Straight Path:
“Kita semua adalah penempuh jalan.
Sebagian memilih jalan kemuliaan
dan kebahagiaan sejati
Selebihnya memilih jalan kehinaan
dan kesengsaraan abadi”.
Selamat menjalani hari-hari manis. Di depan telah menunggu rintangan dan tantangan. Apakah kita sebagai penempuh jalan memilih jalan kemuliaan atau jalan kehinaan?. Mudah -mudahan kita tidak salah pilih. Semua penyesat pikir yang menggoda hari-hari kita dapat kita lawan, sehingga kita tidak tersesat seperti orang-orang yang sudah terlanjur tersesat.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh !.
(Dahlia 11, Bna 03 Nop 2021)
(sekali-kali dakwah, siapa takut…)
???