Oleh Ahmad Rizali
Berdomisili di Depok,Jawa Barat
Mendikbud itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Artinya, selain urusi Pendidikan juga urusi Kebudayaan. Beberapa tetua, bahkan menyatakan bahwa Pendidikan itu sub dari Kebudayaan. Jadi sudah tepat diurusi dalam satu kementrian, meski masih juga ada yang protes mengapa bukan disebut Menbuddik. Tidak asik nampaknya kata akronim Menteri Kebudayaan dan Pendidikan, Ministry of Culture and Education.
Ada ujar ujar menarik “tanpa kebudayaan, maka anda tak punya identitas” dan saya sepenuhnya setuju dengannya. Oleh karena itu, Nawacita presiden Jokowi di periode pertama sangat kental nuansa kebudayaannya dan seingat saya 4 dari 9 butir nawacita terkait Kebudayaan, dan Pendidikan hanya sebutir. Apakah lantas kebijakan anggaran juga seperti itu? Entahlah, dengan sedih hati saya katakan tidak. Ditjen yang dipimpin oleh Hilmar Farid sangat kesulitan mengembangkan diri karena ketatnya anggaran.
Pendidikan juga memiliki Pusat Pembinaan dan Pengembangan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Seni dan Budaya (P4TK Seni Budaya) yang megah di utara kota Jogjakarta. Di masa jayanya, P4TK ini pernah menjadi “trend setter” produk seni, budaya dan kriya yang dijajakan di Mailoboro dan sekitarnya. Saya tak heran karena P4TK ini memiliki belasan studio belajar dari kulit, kayu, logam, wayang, tari dan lain sebagainya,namun karena persoalan “peruntukan” yang ketat untuk Guru, maka mereka membiarkan fasilitas dan WI dahsyatnya menganggur karena takut “dikabluk” kejaksaan atau diomeli Irjen yang memang pernah mengomel “anda digaji untuk diam kan enak….” ketika staf P4TK mengajukan usulan mendayagunakan untuk selain guru.
Cobalah tengok pelajaran seni dan budaya di jenjang SD/MI, sangat miris. Karena umumnya guru seni dan budaya plus kriya adalah guru yang “hanya” hobi dalam bidang itu sehingga matpel yang diajarkan di jenjang SMP ke atas sangat kering. Apalagi jenjang SD/MI. Seterampil apakah guru-guru SD/MI dalam seni/budaya dan kriya? Sejauh mana mereka diajari materi ini saat “preservice” di PGSD? Saya yakin karena lemahnya keterampilan seni budaya dan kriya (dan ketiadaan anggaran), maka matpel ini diajarkan di jenjang dasar ala kadarnya sambil lalu, lantas kita berharap anak-anak SD/MI kita lulus dan punya apresiasi yang baik terhadap seni budaya?
Bukankah A dalam metode yang digembar gemborkan terbaru STEAM adalah “Art” alias seni ? Bagaimana mungkin metode STEAM dipakai sementara yang memakai apresiasi saja terhadap A tidak dimiliki ? Cobalah tengok SKL dan SI matpel senibudaya dan kriya untuk murid SD/MI dan tengoklah ulangan dan ujiannya, sungguh mengkhawatirkan.
Sementara saya khawatir terhadap ketrampilan apresiasi seni/budaya dan kriya guru SD/MI, nun dekat di Bandung berkembang komunitas “Hong” yang tak gaduh, namun membagi keasyikan “berkesenian sambil bergerak”. Belum lagi yang dilakukan empu dongeng I Made Taro, memadukan gerak/tari, musik sederhana, kisah kearifan lokal dan permainan dan ujungnya adalah apresiasi kesenian dasar. Entah mengapa kegiatan sejenis keduanya tak menjadi arus besar pembelajaran apresiasi seni budaya untuk memberi dasar “A” dalam STEAM.
Saya sering irihati ketika istri saya berkisah hebatnya guru seninya saat dia bersekolah di jenjang SD di Soroako, Tahun 1970an. Jelas saja Pabrik Nikel itu mampu membayar guru yang ternyata konon alumni FSRD ITB “semua barang bekas yang dia pegang menjadi artistik…” ujar istriku, matanya berbinar binar. Tak usahkah guru SD sedahsyat alumni FSRD atau ISI atau ISBI dan sejenisnya. Cukuplah LPTK yang mempunyai PGSD memberi matpel apresiasi seni dan memberi contoh-contoh kongkrit bagaimana murid murid SD/MI mengapresiasi (belum mencintai) Seni dan Budaya.
Ketika calon guru tersebut sudah aktif di SD/MI, sudah selayaknya, mereka harus dilatih agar terampil mengajar matpel seni budaya dan kriya, janganlah hanya karena “jam pelajarannya” kecil dan mereka tak faham, lantas hanya diajari meniup suling rekorder dengan lagu “ibu kita Kartini”. Setiap mendengar murid meniup alat itu, saya sudah dalam perasaan geli, karena pelajaran menggambarpun masih tak banyak yang berubah dari “dua gunung dengan matahari di tengah-tengahnya, jalan menuju gunung dan ada persawahan”.
Saya mengajak kawan kawan pencinta seni dan budaya untuk membuat sebuah Gerakan Nasional Apresiasi Seni Budaya Nusantara yang mengawal dan menjadi mitra guru SD/MI dalam mengajarkan apresiasi seni budaya dan kriya kepada murid/siswanya, sehingga memiliki fondasi “Art” yang kokoh menyongsong metode STEAM yang konon menjadi sejenis “obat kuat dewa” agar kita mampu menjalani abad ke 21 (karena kita enggan menggali ajaran KHD dan dikontekskan ke masa kini).