Oleh Fathimah Shabira Hisbullah
X SMA Fajar Hidayah, Blang Bintang, Aceh Besar
Awan cumulusyang sangat besar tepat berada di atas April. Ia mendongak ke atas memandangi awan tersebut. “….ngeri.” ucapnya tanpa sadar.
“—pril…. April!” panggil Nadine. Lamunan April pecah dalam seketika. “Ada apa, Nad? Kok kamu tergesa-gesa banget?” April melihat Nadine keheranan. Bajunya sudah sangat kusut., raut wajah memerah serta Rambutnya yang berantakan.
“Kan, sudah aku bilang jangan panggil ‘Nad’ lagi! Entar malah dikira namaku Nadia. Aku, kan cowok.” Ia malah berkata hal yang tidak ditanya. “Oh iya, tasmu diambil sama Kei. Dia bongkar isi tasmu, tau?”
“Dia ada mengambil sesuatu, nggak?”
Nadine terdiam sejenak. Ia tampak sedang mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. “Oh, ada! Dia mengambi sesuatu kayak….liontin gitu.” Air wajah April yang tadinya tenang seketika berubah seratus derajat celsius. Ia langsung mengambil jaket dan berlari menuju lantai lima ruang XII Tajikistan.
April membuka pintu dengan sangat kasar tanpa menghiraukan teman-temanya yang sedang membaca buku.
“Di mana…. di mana Kei?!” Teman sekelasnya menggeleng-gelengkan kepala. April sudah berfirasat buruk. Ia terus berlari mengelilingi sekolah. Namun, batang hidung Kei masih belum muncul. “Kemana, sih, anak itu pergi?. Aish!”
“April….tunggu, dong!” ucap Nadine ngos-ngosan. “Memangnya ada apa dengan liontin itu? Padahal sebelumnya kamu tidak pernah mempermasalakan apapun barang yang Kei ambil.” April tak menjawab pertanyaan Nadine, ia melanjutkan mencari Kei. “Padahal kan, cuma liontin….” ucap Nadine sambil mencibir.
Kei masih juga belum ditemukan. April juga sudah kelelahan berlari. Ia berteduh di bawah pohon flamboyan sambil menghabiskan sebotol air mineral. Matanya mulai berkaca-kaca, seluruh anggota tubuh gemetar, dan bibirnya putih seperti bola salju.
Angin menerbangkan rambut pendek April. Ia kembali menatap awan cumulus dengan tatapan sendu. “Maafin aku….Ayah” ucapnya dengan suara pelan. Ia melirik sebuah pantulan cahaya yang melewati sudut matanya. Dipicingkan mata hingga dahinya mengkerut. Itu….?
“Itu….KEI!” Suaranya membesar. “Si sialan itu….!” April membetulkan jaketnya. Ia mengikat rambut pendeknya dengan gelang yang ada di tangannya. Sepatu ia hentak-hentakkan ke tanah. Sekarang, ia siap untuk berlari lagi.
“Keiii……..!” teriak April yang alisnya sudah menyatu. Tanpa menghiraukan orang-orang yang ada diarea taman.
“Oh, baru sampai? Aku sudah capek, lho tunggu kamu.”
Kei memainkan liontin April. Ia menaikkan alis dan memandang April remeh.
“Ba.li.kin.lion.tin.a.ku!” ucap April menekan katanya. Ia menjulurkan telapak tangannya. Bukannya memberi, Kei malah memainkan April dengan cara memancingnya. Karena kesal, ia menendang lutut Kei. “Kenapa sih, kamu selalu mencuri barang-barang aku?”
“Nggak ada alasan yang jelas…sihh. Cuma suka aja, gitu.” Kei memancing April yang mukanya telah merah padam. “Nih, nih! Ambil, dong. Masa cuma diliatin?”
“Balikin, nggak? Itu barang peninggalan ayahku, tau!”
“Ayahmu udah meninggal?” tanya Kei dengan ekspresi terkejut. Tapi, itu tidak membuat Kei menyerah untuk menggangu April. Mungkin saja itu hanya alasan April semata. “Mana mungkin percaya.”
“Please, balikin liontinnya! Itu barang satu-satunya peninggalan ayahku sebelum terjadi kecelakaan pesawat 4 tahun lalu. Kamu harusnya paham, dong!” jelas April. Kei terdiam sambil menatap bola mata April. Kamu serius April? Tanya Kei Kembali. Tak tega melihat April seperti itu, Kei mengembalikan liontin.
“Tapi, kamu harus mengtraktir aku makan bakso selama seminggu. Gimana?” Kei lagi-lagi membuat perjanjian konyol yang menguntungkan dirinya. Karena tidak ingin memperpanjang masalah, April mengiyakannya. “Sebenarnya apa alasan dari perbuatan kamu ini?” tanya April sekali lagi untuk memperjelas.
“Itu….karena aku….”