Sulaiman Juned
luka membatu
hati berlagu
luka membiru
senyum membeku
kita bersulang menimang mimpi.
Pagi yang bening jadi kelam.
Luka–duka menari di samudera pikiran.
Aku tatap kota melesat dalam waktu berkalang maut orang-orang menanggalkan hati satu demi satu. Ini tubuh siapa punya memanggil-manggil Tuhan di setiap aliran nadi. Kami ini jiwa-hati mencatat lara, tak bisa lari tak bisa sembunyi. Orang-orang berkelahi bersama ombak di kelap-kelip waktu. Orang-
orang lalu lalang diantara aroma manyat-meski teramat pahit. Nafas pesakitan tersirat di wajah penderitaan. Aku tabur bunga di pusara bernama Aceh
(Kapan usai hikayat bertopeng ini, duhai)
luka membatu
hati berlagu
luka membiru
senyum membeku
kita bersulang menimang mimpi.
Pagi yang bening jadi kelam. Gundah gelisah-sakit-pilu menyatu dalam bingkai cita lara. Telah aku kecup getir di kamar rahasia menghabiskan malam dalam senyum beku–waktu. Mengirim setangkai kembang meraih bulan-gerimis masih berkelahi di halaman. Siapa diantara kita terluka–padamu
pahatkan resah. Kabut–angin–api–air mempersiang diri dalam sepi. Secangkir kesedihan terceruk belati menggali terusan air mata di kedalaman air mata kami. Seperti Tuhan pada waktu subuh menabur gelombang
sembunyikan getir-cinta terbunuh udara kelabu aroma kematian terhidang di perjamuan menyekap pikiran erat berpangut.
(Aku beli keluh kesah itu selipkan dikain kafanmu)
luka membatu
hati berlagu
luka membiru
senyum membisu
kita bersulang menimang mimipi.
Sudah waktunya kita pulang.
Entah bagaimana menerjemahkan kesucian
terhidang lewat nikmatnya sakit.
Sesekali aku pulang menyaksikan bungong jeumpa patah tunasnya hanya pada bayang bercerita; Maskirbi baru saja kita poh cakra di keude kuphi tentang Aceh agar menyelesaikan konflik dengan cinta-seni biar tak ada yang mati sia-sia. Memahami luka dengan kasih sayang bukan dendam. Nurgani Asyik terakhir kali kita keliling Darussalam–Ulee Kareng serta minum kopi di Pantai Ulee Lhee sambil menikmati shanset turun memeluk malam tempat kita berkelahi pikiran. Virsevenny dimana kau simpan kanvasmu-melukiskan isi kalbu terbelah. Selamat malam cinta aku hanya mampu mengirimkan doa jadikan tembang menemani perjalanan malammu. Di pusara seluas samudera, tujuh bidadari menabur wangi mawar antar ke pintu surga.
(Hari ini kita berkabung, ditegur Tuhan untuk kenali diri, Ah!)
-Banda Aceh–Padangpanjang, 2004-2018-
Suatu kerinduan tuhan menegur hamba kreatifitas. Untuk menghamba diri cinta abadi kisah nyata kealpaan dirinya untuk tanah kelahiran dengan demikian cinta rantau juga jangan lupakan tanah segempal darah asal
Masya Allah adinda dahsyat