Oleh Ahmad Rizali
Berdomisili di Depok
Meskipun para pendiri negeri ini sudah tepat mendahulukan anjuran membangun Jiwa kemudian membangun Badan, namun jelas adalah sebuah kelalaian jika badan tidak dibangun normal.
“Abnormalitas” dapat dilihat benderang dengan angka prevalensi bayi lahir mengidap “stunting” alias kunthet atau kerdil. Kekerdilan badan biasanya diikuti oleh otak dan jelas volume otak yang kerdil, maka potensi (nalar)nya juga menciut. Dalam kondisi ini, jika terjadi harus diakui bahwa kita gagal membangun badan.
Bagaimana mungkin bisa optimal membangun jiwa, jika badannya tidak normal alias kerdil? Seorang kawan mengisahkan, di Kab Jember, data 2020 menunjukan bahwa 4 dari 10 bayi yang lahir di sana adalah bayi kerdil. Angka baseline RPJM 2019-2024 di 27 % dan ditargetkan dicapai menjadi 14 % di akhir Tahun 2024.
Campuran fakir dalam kondisi tubuh dan potensi nalar, jelas akan berlanjut dengan fakir dalam ekonomi. Biasanya, kalangan elit sosial dan ekonomi yang waras berfikirnya terhindar dari potensi kekerdilan ini. Kemiskinan dan kebodohan cenderung memicu naiknya kekerdilan bayi.
Ketika tak ada upaya luarbiasa untuk mencegah prevalensi kerdil ini dalam keriuhan gerakan nasional, maka cita cita bangsa membangun Jiwa dan membangun badan itu jelas semakin jauh tergapai.
Tak ada pilihan kecuali membangun keluarga cerdas yang meski ekonomi ngepas bahkan miskin, tak ingin melahirkan bayi kunthet alias stunting. Ketika bayi sudah “mbrojol” tak bisa dikembalikan menjadi “scrap rejected” seperti produk barang, dengan berat mereka mesti “diingoni”.
Jika nalar numerasi dan membaca bangsa Indonesia, jika dibiarkan seperti saat ini, akan membebani sepertiga PDB/Tahun (WB, 2019), berapakah beban yang akan kita panggul jika beban generasi kerdil ini kita masukan ?
Penutup yang skeptik: Masihkah kita berharap bonus demografi jika generasi ke depan “wis bodo, akeh sing kunthet, utange akeh pisan….”. Biarlah generasi anak saya yang akan mengomentari penutup itu. I