Oleh Satria Dharma
Berdomisili di Surabaya, Jawa Timur
Seorang teman mau pinjam uang pada saya. Katanya untuk memulai bisnis. Tidak terlalu besar, tetapi cukup besar jika hilang begitu saja. Mengapa? Karena saya yakin kalau bisnisnya gagal, maka dia tidak akan bisa membayar kembali pinjamannya tersebut. Dan prospek bisnisnya tidak begitu meyakinkan. Dia juga tidak memberi jaminan apa pun dan maunya hanya pinjam begitu saja. Katanya kalau ada jaminan berarti sama saja dengan bank. Lalu apa gunanya teman, katanya.
Jadi saya bilang padanya bahwa kalau dia punya prospek bisnis, sedangkan dia tidak punya modal dan tidak punya sesuatu pun sebagai jaminan,maka dia tidak bisa pinjam pada siapa pun, kecuali sama orang tua yang kaya raya. Tapi ortunya sudah meninggal dan tidak mewariskan kekayaan apa pun. So forget it. Yang kamu butuhkan adalah partner bisnis, kata saya. Kamu bisa tawarkan dan berbagi risiko dan keuntungan dengan partner bisnismu.
Saya tidak butuh partner, katanya. Saya bisa menjalankan bisnis ini sendiri. Saya tidak mau berkongsi karena sering kecewa kalau berkongsi, lanjutnya.
Lalu kalau kamu sukses dengan bisnismu, berapa persen keuntungan yang akan kamu bagikan pada saya sebagai pemberi pinjaman? Tanya saya ingin tahu.
Lho, aku kan cuma pinjam sebagai teman. Mosok aku harus berbagi keuntungan denganmu untuk itu? Dia sedikit mendelik pada saya.
Okie dokie…
Begitulah…! Ada banyak orang yang ingin berbisnis tanpa modal dan tanpa resiko. Dia ingin orang lain yang memberinya modal dan sekaligus menanggung risiko, jika bisnisnya gagal. Jadi saya katakan padanya bahwa saya hanya melakukan itu pada anak kandung saya.
Dia mungkin tidak pernah tahu bahwa Nabi Muhammad pun memberikan borg atau jaminan jika pinjam apa-apa pada orang Yahudi. Padahal itu bukan untuk bisnis. Demi untuk tetap berpikir positif maka saya meyakinkan diri saya bahwa teman saya ini mungkin mengira bahwa saya ini bapaknya.
Manado, 21 September 2021
Satria Dharma