Oleh Satria Dharma
Berdomisili di Surabaya
Para sahabat Nabi adalah orang-orang yang sangat istimewa. Tapi saya sangat kagum dengan cara beragama Umar ra. Beliau adalah orang yang sangat rasional dalam beragama dan tidak segan melakukan ijtihad yang revolusioner di zamannya. Bahkan jika diukur dengan para pemimpin agama dan ulama zaman sekarang pun tindakan-tindakan Umar ra sangatlah revolusioner.
Sekadar latar belakang, Umar sebelum masuk Islam sangat menentang Nabi Muhammad dan sering menyiksa pengikut Rasulullah. Suatu saat Umar memutuskan hendak membunuh Rasulullah yang dianggapnya sebagai sumber masalah perpecahan kaum Quraisy saat itu. Namun, di perjalanan dia diberi tahu bahwa adiknya sendiri, Fathimah telah masuk Islam. Umar pun berbalik dan bergegas menemui adiknya. Di depan rumah, Umar justru mendengar Fathimah dan suaminya membaca Alquran. Umar menampar Fathimah. Fathimah jatuh dan menangis. Umar melihat bacaan Alquran yang sedang dibaca adiknya. Dia membaca dan tersentuh dengan bacaan surat Taha itu. Hatinya pun langsung luluh. Seketika Umar ingin bertemu Nabi Muhammad dan masuk Islam saat itu juga. Hidayah masuk ke hatinya dan Umar langsung menyatakan dirinya masuk Islam dan menjadi pengikut Nabi Muhammad yang sangat setia sampai akhir hayatnya.
Setelah Umar masuk Islam, Umar menyarankan Rasulullah agar tak lagi menyiarkan Islam dengan sembunyi-sembunyi. Rasulullah dan para sahabat mulai berdakwah dengan terang-terangan. Pengikut Nabi Muhammad pun semakin berkembang.
Dalam menganut agama Islam mengikuti Nabi Muhammad, Umar kerapkali berpendapat yang berbeda dengan beliau. Ini perlu dipahami bahwa dalam memutuskan sesuatu yang penting Nabi Muhammad juga mengajak para sahabatnya untuk memberi pendapat.
Jadi para sahabat itu tidak pasif dan menurut saja apa kata Rasulullah. Dalam beberapa permasalahan di mana Rasulullah dan para sahabatnya berbeda pendapat ternyata Tuhan justru sering membenarkan Umar. Contohnya adalah dalam hal penentuan nasib tawanan Perang Badar. Ketika Perang Badar Nabi saw mengajak sahabat-sahabatnya membahas masalah tawanan perang.
Abu Bakar mengusulkan agar umat Islam meminta tebusan atas tawanan tersebut. Sedangkan Umar mengusulkan agar para tawanan tersebut dibunuh karena kalau dibebaskan mereka akan kembali lagi memusuhi umat Islam. Mereka tidak akan jera karena toh bisa menebus diri dengan harta. Dan itu tentu akan menguntungkan kaum kafir, karena mereka lebih kaya daripada umat Islam. Umat Islam akan terus menerus diperangi oleh orang-orang yang sama. Nabi menyetujui pendapat Abu Bakar yang mengusulkan mereka tidak dibunuh, tapi dijadikan tebusan.
Beliau tidak menyetujui pendapat Umar yang menghendaki mereka dibunuh. Tetapi kemudian turun ayat yang membenarkan pendapat Umar . Allah berfirman : “Tidak patut bagi Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi”. (Q.S. Al Anfal, 67).
Bayangkan…! Bahkan Tuhan lebih membenarkan pendapat Umar padahal Nabi sendiri lebih cenderung pada pendapat Abu Bakar!
Ada beberapa ayat yang turun karena Umar. Umar pernah menyampaikan keinginannya kepada Nabi saw, agar maqam Ibrahim dijadikan tempat salat. Maka turunlah ayat: “Dan jadikanlah maqam Ibrahim tempat salat” . ( Q.S. Al Baqarah, 125).
Ia juga pernah menyampaikan kepada Nabi saw.: “Bagaimana kalau anda perintahkan saja isteri-isteri anda untuk memakai hijab ( penutup wajah ). Sebab mereka dilihat bukan saja oleh orang baik-baik, tetapi juga orang-orang yang jahat”. Lalu Allah menurunkan ayat:
“Apabila mereka meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir”. (Q.S. Al Ahzab, 53).
Sebagian ulama mengatakan bahwa pendapat-pendapat Umar yang sejalan dengan kehendak Allah berjumlah 14 masalah. Antara lain; usulannya kepada Nabi agar tidak menyembahyangi jenazah Abdullah bin Ubay bin Salul. Al Qur-an menyatakan :”Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangi (seorang) yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo’akan) di kuburnya …”. (Q.S. At Taubah, 84).
Umar juga berkeinginan mendapatkan penjelasan yang tegas mengenai persoalan khamr (minuman keras). Ia mengemukakan keinginan itu dalam do’anya : “Ya Allah, berikan kami kejelasan tentang khamr secara tegas dan tuntas. Maka turunlah ayat yang mengharamkannya. Padahal sebelumnya khamr belum diharamkan.
Ini semua menunjukkan bahwa Allah sesungguhnya ‘fleksibel’ dalam menetapkan aturan meski pun tentu saja Allah adalah Maha Berkuasa. Bahkan tidak selamanya Tuhan membenarkan pendapat NabiNya dan mengesampingkan pendapat sahabat Nabi yang hanya manusia biasa.
Setelah Nabi wafat Umar tetaplah beragama dengan mengedepankan rasionalitas dan pertimbangan maslahat, karena tujuan ditetapkannya hukum Islam adalah untuk menciptakan maslahat bagi manusia, maka penentuan hukum haruslah mempertimbangkan kemaslahatan yang ada. Maslahat adalah patokan utama Umar dalam menentukan atau menetapkan sebuah hukum. Saking rasionalnya sehingga dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari, Umar pernah mengecup Hajarul Aswad. Kemudiaan dia berkata, “Demi Allah, aku tahu kamu hanyalah sebuah batu. Sekiranya aku tidak melihat sendiri Rasulullah SAW menciummu, pasti aku tak akan menciummu.”
Contoh ijtihad ‘Umar adalah peniadaan hukum potong tangan dan tidak membagikan tanah taklukan, padahal hukum keduanya sudah diatur dalam Al-Maidah: 38 dan Al-Anfal: 41.. Jadi Umar dengan berani melakukan ijtihad pada teks Alquran dengan melakukan kontekstualisasi ayat dengan maslahat umat Islam pada masa pemerintahannya dan masa sebelumnya (Rasulullah SAW dan Abu Bakar). Karena situasi dan kondisi umat sudah berubah di zaman Umar, maka perlu adanya perubahan pula pada penerapan hukum yang berlaku di zamannya, meski itu berbeda dengan ketetapan yang tertulis secara jelas pada Alquran dan implementasi sunnah yang jelas dan terperinci yang dilakukan oleh Nabi.
PEMBAGIAN TANAH HASIL TAKLUKAN
Setelah tentara Muslim berhasil menguasai Irak, para tentara meminta pembagian tanah dan barang rampasan kepada Sa’ad bin Abi Waqqas selaku komandan perang. Begitu juga dengan tentara Muslim yang berhasil menguasai Syam, mereka meminta Abu Ubaidah bin al-Jarrah selaku komandan perang untuk membagi kota dan tanahnya untuk mereka. Ini juga yang diminta pasukan Muslim yang berhasil mengalahkan Imperium Romawi di Mesir, Zubair bin al-‘Awwam (jubir pasukan) meminta kepada ‘Amr bin al-Ash, komandan pasukan untuk membagi tanah hasil rampasan perang kepada para pasukan yang ikut perang. Tata cara pembagian ghanimah sudah diatur di dalam Alquran pada surah Al-Anfal (8) ayat 41. yang artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima Untuk Allah, Rasul, Kerabat Rasul, Anak-anak Yatim, Orang-orang Miskin Dan Ibnu Sabil, Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Adapun sisanya yang berjumlah empat perlima dibagi-bagikan kepada tentara, sesuai dengan hadis Nabi SAW, “Seperlima untuk Allah dan empat perlima lainnya untuk tentara.” (HR. Bukhari). Hal ini dianut oleh jumhur ulama.
Menghadapi situasi seperti itu, para komandan perang menyerahkan masalah itu kepada Khalifah Umar. Akhirnya mereka semua mengirimkan surat kepada Umar menanyakan masalah ini. Setelah menerima surat tersebut, Umar mengumpulkan para sahabat dan mengajak mereka bermusyawarah. Ada dua usulan: pertama, membagi tanah beserta isinya kepada para tentara yang turut berperang dan kedua, mengalokasikannya untuk kemaslahatan umat Islam. Pendapat kedua yang dipilih Umar. Tanah tersebut dikembalikan kepada penduduk setempat untuk dikelola, namun tanah tersebut dikenai pajak (kharrâj) dan tiap orangnya juga dikenai uang jaminan keamanan (jizyah).
Harta yang berhasil dikumpulkan dari kharrâj dan jizyah itu kemudian digunakan untuk kemaslahatan umat Islam semua; baik yang ikut perang, anak cucu kaum Muslimin, dan juga generasi-generasi setelahnya.
Keputusan ‘Umar ini diprotes oleh para tentara karena menurut mereka harta itu telah diberikan Allah kepada mereka berdasarkan surah al-Anfal: 41 dan riwayat bahwa Rasulullah SAW membagi tanah hasil rampasan perang dari Bani Nadhir dan Bani Quraidah kepada pasukan Muslim pada waktu itu. Karena belum puas dengan keputusan
itu, para tentara akhirnya meminta ‘Umar untuk kembali melakukan musyawarah. Tapi Umar tetap pada keputusan awalnya.
MENGGUGURKAN HUKUMAN POTONG TANGAN
Umar juga melakukan ijtihad dalam soal hukuman potongan tangan bagi pencuri. Dalam Alquran dijelaskan dalam Surah Al Maidah ayat ke 38 “Laki laki dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah maha perkasa lagi Maha bijaksana”. Tapi pada masa pemerintahannya ia menggugurkan hukuman potong tangan pada pencuri dengan alasan bahwa hal tersebut dilakukan oleh pencurinya karena terdesak oleh keadaan paceklik.
Ada empat peristiwa dalam kasus pengguguran hukum potong tangan ini yang dilakukan oleh Umar. Jadi meski pun pemilik barang menuntut agar hukum potong tangan dikenakan pada pencurinya tapi Umar bersikeras untuk tidak memotong tangan mereka dan mengusulkan bentuk hukuman lain, yaitu denda dua kali harga barang yang dicuri.
MENGHAPUS ZAKAT BAGI MUALAF
Pada masa Khalifah Abu Bakar, ada dua mualaf yang meminta bagian zakat dari khalifah berupa tanah sebagaimana Nabi SAW pernah memberikannya kepada mereka. Keduanya berkata, “Di tempat kami ada tanah-tanah kosong, yang masih menganggur dan tidak berfungsi. Bagaimana jika tanah itu anda berikan kepada kami?” Abu Bakar lantas menulis surat kepemilikan (sertifikat) untuk mereka. Namun ketika Umar mengetahui surat tersebut, diambilnya surat itu dari tangan mereka dan dirobeknya surat itu, sambilberkata, “Dahulu Rasulullah menganggap kalian sebagai mualaf, saat itu Islam masih lemah dan pemeluknya masih sedikit, namun karena sekarang Allah telah menjadikan Islam besar dan kuat, maka pergilah kalian bekerja sebagaimana kaum Muslimin bekerja.
Kebenaran adalah berasal dari Allah, barangsiapa yang mau beriman, maka berimanlah dan barangsiapa yang tidak mau beriman, maka kufurlah!” Tentu saja mereka protes dan mereka kembali menghadap Abu Bakar. Abu Bakar ternyata sepakat dengan pendapat Umar tersebut. Abu Bakar kemudian menarik kembali apa yang telah diputuskannya. Melihat itu, mereka bertambah jengkel, sehingga berkata, “Yang menjadi khalifah itu anda ataukah Umar?” Spontan Abu Bakar menjawab, “Dia, jika ia mau.” Keputusan Umar ini tak seorang sahabat pun yang mengingkarinya.
Sejak saat itu tidak ada lagi zakat bagi para mualaf padahal ketentuan ini jelas-jelas tersurat dalam Alquran dan dipraktekkan oleh Nabi. Demikianlah sikap Umar dalam melaksanakan aturan dan perintah agama meski sudah jelas tertera nashnya dalam Alquran dan jelas pelaksanaan sunnahnya oleh Nabi. Umar tidak segan-segan mengubah pelaksanaan hukum yang sudah tertulis dalam Alquran dan hadist dengan menyesuaikan pada situasi dan keadaan yang berlaku pada saat itu.
Sungguh sangat berbeda dengan apa yang diyakini dan dilakukan oleh para ulama sesudahnya. Para ulama sampai saat ini sangat takut untuk melakukan perubahan hukum dan aturan agama dengan menyesuaikan situasi dan kondisi yang ada. Padahal Umar ra sudah memberikan contoh yang jelas dan gambling.
Pertanyaannya adalah dalam kapasitas apa sesungguhnya Umar ketika melakukan penyesuaian hukum dan aturan yang ia ambil pada saat itu. Dalam kasus pembagian harta rampasan perang dan pengguguran potong tangan Umar ada dalam kapasitas sebagai khalifah. Dan jika kita ingin membuat rasionalisasinya, maka kita bisa katakan bahwa seorang khalifah atau pemimpin umat berhak untuk mengubah ketentuan hukum yang ada menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat yang sedang berlaku pada saat itu.
Tapi perlu diingat bahwa Umar juga mengubah ketentuan hukum pembagian zakat bagi mualaf bukan pada saat beliau menjadi khalifah. Pada saat itu Abu Bakarlah yang menjadi khalifah, tapi Umar dengan berani mengubah ketentuan pembagian zakat bagi mualaf tersebut, meski ia bukanlah khalifah dan tak seorang pun yang memberinya kewenangan untuk melakukan perubahan tersebut. Perubahan tersebut sepenuhnya adalah inisiatif beliau sebagai pribadi yang merasa perlu untuk melakukan perubahan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berlaku di masyarakat pada saat itu. Dan perubahan tersebut berlaku sampai saat ini dan dijalankan oleh semua komunitas umat Islam.
Jadi jelas sekali bahwa sebenarnya Umar telah memberikan contoh bagaimana umat Islam harus menyikapi hukum dan aturan dalam agama. Jika memang tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi ya ubahlah dengan berpedoman pada kemaslahatan umat. Tuhan itu juga fleksibel kok dengan aturan-aturanNya. Kita saja yang justru terlalu kaku dalam menjalankan hukum-hukum dan kaidah dalam beragama. Kita terlalu takut untuk berubah padahal Umar sendiri sudah mengajari kita bagaimana menyikapi aturan-aturan Tuhan yang bahkan sudah tertulis di Alquran secara nyata. Akhirnya cara beragama kita menjadi jumud, kaku, dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
Wallahu a’lam bisshawab.
Surabaya, 3 September 2021
Satria Dharma