Oleh Tabrani Yunis
Ada rasa campur aduk berkecamuk di pikiran dan hati kita orang Aceh ketika mendengar atau membaca berita mengenai pendidikan Aceh, dari dahulu hingga kini. Kadang kita merasa prihatin, kadang merasa malu dan paling parah merasa galau akan kondisi pendidikan di bumi Iskandarmuda ini. Betapa tidak?
Bila kita telusuri lorong- lorong waktu, sejak Indonesia merdeka hingga kini, menimbulkan banyak tanda tanya kita terhadap perkembangan pendidikan Aceh. Mengapa pendidikan Aceh selalu disebut-sebut belum berkualitas? Mengapa dikatakan kalah dengan daerah lain, bahkan dengan Papua dan lain sebagainya. Apalagi dengan adanya perangkingan, maka fakta rangking menunjukan posisi Aceh yang berada di rangking paling bawah. Selayaknya kita bertanya, apakah itu yang disebut kualitas pendidikan? Lalu mengapa kita berkesimpulan capaian lulusan para siswa SMA/SMK sebagai ukuran mutu pendidikan Aceh? Bukankah pendidikan Aceh itu bukan hanya lulusan SMA dan SMK? Bukankah ada lembaga pendidikan lain selain SMA dan SMK?
Kiranya, kita memang harus memeriksa ulang pemahaman kita tentang pendidikan, terutama dalam menyebutkan pendidikan Aceh. Pertama, pendidikan Aceh bukan hanya sekolah formal yang kita sebut SMA dan SMK itu. Dalam konsep Ki Hajar Dewantara, kita mengenal tri pusat pendidikan, yakni keluarga, sekolah dan masyarakat. Kedua, dalam konteks Aceh, ketika kita melihat pendidikan, maka mata dan pikiran kita akan dipenuhi dengan pemandangan adanya Madrasah yang dikelola oleh Kemenag. Ada pesantren dan dayah yang bernaung di bawah badan dayah. Juga bahkan banyak kursus dan Bimbingan belajar yang menjalankan proses pembelajaran dan pendidikan. Bukan hanya itu, bila kita masuk ke lembaga pendidikan yang ada di Aceh, maka ada jenjang-jenjang pemdidikan lain, mulai dari PAUD hingga Perguruan Tinggi. Oleh sebab itu, tepatkah bagi kita mengklaim bahwa kualitas pendidikan Aceh masih rendah, bila hanya melihat pada hasil belajar para siswa SMA/SMK? Bukankah Sebaiknya kita luruskan pemahaman kita? Ini penting, agar tidak mengeneralisasi pendidikan Aceh dengan hasil UN dan lainnya, termasuk jumlah siswa SMA yang bisa lulus ke PTN.
Akan lebih cocok bila kita menilai kualitas capaian hasil belajar siswa dan menyebutkannya dengan kualitas lembaga pendidikan Menengah Atas di Aceh, bukan pendidikan Aceh. Ini akan lebih fair dan bahkan kita bisa melihat lebih dalam pada persoalan pembangunan pendidikan di jenjang pendidikan formal yang kita sebut SMA/SMK itu.
Mengukur kualitas pendidikan, tentu tidak cukup dengan UN, UAN atau AKM saja, karena ada sejumlah indikator lain yang harus dinilai. Apalagi kalau bisa tersanjung dengan jumlah kelululusan ke PTN yang PTNnya belum diketahui seperti apa kualitasnya. Jadi, yang harusnya ketika menyebutkan kualitas pendidikan Aceh kurang bagus, maka selayaknya kita bertanya, kualitas apa dan sekolah mana atau lembaga pendidikan jenjang apa? Dayah kah? Sekolah menengah atas kah? Perguruan Tinggi kah? Bagaimana dengan jenjang pendidikan dasar, seperti SD atau MIN?
Tentu ada banyak pertanyaan yang harus kita ajukan, ketika ada pernyataan bahwa kualitas pendidikan Aceh masih rendah, masih belum lebih baik, masih dan masih-masih tidak berkualitas itu. Kemudian, Kepala Dinas Pendidikan Aceh pun harusnya tidak cepat kebakaran jenggot dan reaktif ketika Rektor USK mengeluarkan statemen bahwa kualitas pendidikan Aceh belum lebih baik. Rektor pun sebenarnya dalam hal ini ibarat orang meludah ke langit, yang ketika meludah, mengena muka sendiri. Akibatnya, ya banyak pihak yang juga bertanya dengan sejuta pertanyaan kepada Rektor USK.
Ya, kita sadari bahwa sejak masa- masa sulit di awal kemerdekaan, hingga kini “pendidikan Aceh “ masih belum membuat hati lega, karena ada pernyataan-pernyataan atau hasil UN dan tingkat kelulusan siswa SMA dan Madrasah yang masih rendah dan kalah bersaing. Tidak leganya hati, karena posisi Aceh berada di bawah provinsi lain di tanah air. Posisi yang ketika melihat perubahan zaman dan peradaban manusia secara global, semakin menambah cemas hati dalam menyiapkan masa depan genarasi Aceh ini. Mengapa demikian? Satu di antara banyak faktor yang menggalaukan adalah soal kualitas pendidikan Aceh yang kita fahami ini. Pendidikan Aceh disebut-sebut masih rendah yang selama ini diukur dengan angka dan sistem perangkingan.
Nah, saatnya kita luruskan dahulu pemahaman kita tentang kualitas Pendidikan Aceh.