Oleh Syamsuarni Setia
Seorang teman kala mengisi waktu yang luang di warkop siang tadi mengemukakan pendapat: “Tanda hukum yang bagus adalah kemakmuran”. Berarti tolok ukur hukum yang bagus menurut teman tersebut adalah kemakmuran. Apakah benar demikian?. Saya renungkan pendapat teman tersebut. Segala sesuatu yang bagus dan jelek ada tolok ukurnya. Bagaimana mengukur hukum yang bagus?.
Saya jadi ingat kisah jadul (jaman dulu) yang dirawi dalam filsafat hukum ketika orang merindukan keadilan yang dicari dalam hukum yang bagus sudah dimulai sejak zaman klasik. Menurut sejarah hukum, orang memikirkan persoalan hukum sudah melalui 4 zaman, yakni Zaman Klasik (Yunani dan Rumawi); Zaman Pertengahan; Zaman Moderen (Renaisance, Aufklaerung, Abad XIX); Zaman Sekarang (abad XX).
Para negarawan dan para filsuf sudah memikirkan bagaimana membuat hukum yang bagus sejak dahulu kala dimulai dengan Teori Hukum Alam yaitu sebuah aliran hukum berdasarkan nilai-nilai yang abadi yang disebut “naturalistic jurispredence” untuk menemukan apa yang dinamakan “absolute justice” (keadilan yang mutlak). Menurut teori hukum alam ukuran bagusnya hukum adalah “tercapainya absolute justice”. Sedangkan eksistensi keberadaan absolute justice berada di dalam hukum yang berlaku universal dan abadi.
Ternyata dalam perjalanan kehidupan bernegara dan berbangsa pengertian hukum itu berubah-ubah sesuai dengan perubahan masyarakat dan situasi politik yang menggunakan hukum itu dalam berbagai fungsi, yaitu:
Pertama, pada zaman klasik dipergunakan hukum untuk merubah hukum lama menjadi suatu sistim hukum umum yang berlaku di seluruh dunia (pada zaman Rumawi).
Kedua, digunakan sebagai senjata untuk merebut kekuasaan.
Ketiga, digunakan sebagai dasar hukum Internasional dan dasar kebebasan perseorangan terhadap pemerintahan yang absolute.
Ke empat, digunakan oleh hakim di Amerika Serikat dalam menafsir konstitusi.
Ke lima, digunakan untuk memprtahankan kekuasaan.
Ke enam, digunakan dalam waktu yang berbeda untuk mempertahankan segala bentuk ideologi.
Berhubung berubah-ubahnya hukum itu, maka absolute justice tidak pernah dicapai. Hasilnya dalam sejarah hukum disimpulkan bahwa jerih payah manusia dalam usahanya untuk menemukan hukum yang bagus dalam absolute justice adalah merupakan sejarah tentang kegagalan umat manusia untuk mencari keadilan absolute dalam cita-citanya membuat hukum yang bagus.
Akibat kegagalan tersebut, maka manusia memberlakukan aliran hukum Pragmatic Legal Realism dengan positivisme hukum. Positivisme hukum ini berlaku menurut tempat dan waktu. Maka, hukum di Indonesia berbeda dengan hukum negara lain. Dalam perkembangannya hukum yang dibuat berdasar positivisme hukum yang semula pada waktu dibuat sudah dianggap bagus ternyata kemudian dibatalkan atau dicabut dalam arti sudah tidak bagus lagi.
Rationya, hukum yang dibuat juga tidak ada yang bagus. Akibatnya terjadilah gonta ganti peraturan perundang-undangan yang mengundang kehebohan rakyat. Contoh baru saja terjadi dengan diundangkan oleh presiden PP No.75 Th 2021 Ttg Statuta Universitas Indonesia (UI) yang bermuatan norma baru pengelolaan UI yang digunakan sebagai landasan dalam penyusunan peraturan dan prosedur operasional di UI. Peraturan tersebut sekaligus mengganti peraturan sebelumnya, yaitu pasal 35 PP No. 68 Th 2013 tentang Statuta UI. Ini dilakukan untuk menghalalkan yang haram, yaitu penunjukan Rektor UI sebagai wakil komisaris salah satu BUMN yang dilarang oleh PP No.68 Th 2013.
Demikian juga tak kalah hebohnya dengan aksi demo beberapa bulan yang lalu ketika diundangkan Undang-undang No. 11 Th 2020, tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law. Disebut Omnibus Law karena merupakan undang-undang sapujagat yang mengatur beragam topik materi hukum dan mengamandemen serta mencabut beberapa undang-undang lain, sehingga kesan hukumnya sangat pragmatic terkait kepentingan penguasa, mengenyampingkan kepentingan rakyat. Sehingga menimbulkan aksi rakyat.
Saya amati, pada kasus tersebut ada hukum causalitas, hukum sebab akibat timbul demo, yaitu: “sebab” yang dituju pada materi norma Undang-undang Cipta Kerja yang dianggap tidak benar. Sedangkan “akibat” timbul demo sehubungan prosedur (proses) membuat undang-undang yaitu proses law making yang tidak benar atau sangat pragmatic, tidak dogmatic. Salah satu contoh materi undang-undang yang menjadi pemicu sebab yang saya temukan, yaitu:
Pertama pada Pasal 26 UU No. 32 Th 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur tentang penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat dan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan. Selain itu, masyarakat yang terkena dampak maupun pemerhati lingkungan hidup dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen Amdal. Namun, aturan itu diubah dalam Undang-undang Cipta Kerja. Dalam Undang-undang Cipta Kerja tentang masyarakat dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen Amdal dihapus.
Kedua, ketentuan lain yang dihapus tentang tim penilai fokumen Amdal oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk oleh menteri, gubernur atau bupati/wali kota. Dalam UU Cipta Kerja, Komisi Penilai Amdal tersebut ditiadakan dan diganti dengan tim baru yang terdiri dari unsur pemerintah, daerah, dan ahli.
Ke tiga, Penghapusan ketentuan tentang setiap orang dapat mengajukan gugatan ke PTUN apabila perusahaan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan tanpa disertai Amdal.
Itulah berdasar hasil amatan saya waktu itu. Mungkin juga masih ada pragmatic hukum yang lain.
Dengan demikian, problema untuk menemukan hukum yang bagus tersebut sangat sulit dan tidak pernah tercapai, karena dengan berubah gagasan-gagasan sosial politik gagasan tentang hukum yang bagus terus berubah. Namun satu-satunya yang tetap utuh adalah tuntutan itu sendiri, yaitu keinginan pada “hukum yang bagus” dengan berbagai tolok ukur di antaranya tolok ukur “kemakmuran” seperti pendapat teman tersebut. Tapi tolok ukur tersebut hanya sebagai pembenaran terhadap kekuasaan yang ada, karena kekuasaan dengan kemakmuran ternyata sama nasibnya dengan absolute justice tidak pernah tercapai.
Kemakmuran hanya cita-cita belaka, sama dengan orang bercita-cita pada hukum yang bagus. Selama belum seimbang antara “kebutuhan” dengan “alat pemuas kebutuhan” kemakmuran tidak pernah ada. Faktanya: Tidak ada negara di dunia ini yang telah seimbang antara kebutuhan dengan alat pemuas kebutuhan. Semua negara di dunia belum bisa melepaskn diri dari kemiskinan. Bahkan masih banyak dengan angka kemiskinannya tinggi sehingga terjadi pengangguran di mana-mana.
Konklusi menurut analisis saya, tidak ada negara di dunia yang memiliki hukum yang bagus. Khusus di depan mata di negara kita, terlihat kental praktik Pragmatisme Hukum, yaitu hukum yang di utak-atik untuk kepentingan penguasa. Ciri khasnya gonta-ganti peraturan perundang-undangan apakah undang-undang, Perpu dan PP. Hukum begitu gampang diubah dan dibuat demi untuk kepentingan politik tertentu, tanpa menghiraukan apakah produk hukum tersebut kelak akan akseptabel (diterima) oleh seluruh lapisan masyarakat. Hadirlah produk hukum yang tidak aspiratif dan tidak akomodatif menurut commonsence (pendapat umum yang berlaku). Begitulah mudahnya terbit Perpu No.2/2017 tentang Ormas dan Undang-Undang Pemilu yang mengatur tentang Presidential Threshold sebesar 20% dari kursi di DPR atau 25% suara sah nasional dan tentang Parliamentary Threshold 4 % dari sebelumnya 3,5%. Aturan ini berpotensi hadirnya norma hukum dalam praktik tentu yang tidak akseptabel dan tidak akomodatif serta mendesak nilai-nilai keadilan hukum.
Berdasar renungan tersebut,terpikir pada saya bahwa wacana yang terkadang berkembang berselancar di luar bahwa negara Indonesia sedang digiring ke negara kekuasaan atau tirani bernuansa otoriter, dimana hukum adalah menurut kehendak penguasa adalah punca disini dari konflik HUKUM YANG BAGUS SEMAKIN MENJAUH. Jadi, semakin jauh rakyat menikmati hukum yg bagus atau menurut istilah politik hukum “HUKUM YG DOGMATIS” yaitu hukum yangbaspiratif dan akomodatif serta sesuai dengan perasaan keadilan rakyat, semakin menjauh.
Oooo….weledeleh …. Confuse … !!!. Negaraku sayang … !.
(Dahlia 11, Bna 02 Agustus 2021)