Oleh Satria Dharma
Berdomisili di Surabaya
Saya punya teman di WAG yang menurut saya sikapnya aneh dan tidak wajar. Begitu muncul berita bahwa sumbangan 2 T dari Akidi Tio itu adalah penipuan mereka langsung ‘bersorak’. Dengan gembira mereka menyebarkannya di WAG sambil mengolok-olok orang-orang yang memuji sumbangan tersebut. Dahlan Iskan, beberapa tokoh, dan selebiriti medsos yang memuji-muji sumbangan ini habis diolok-olok oleh mereka. Saya juga termasuk yang diolok-olok karena saya menulis pujian pada Akidio Tio dengan mengutip ayat Alquran Surat Al-Hadid ayat 10.
Yang menjadi keheranan saya adalah mengapa mereka justru gembira dan sangat senang bahwa sumbangan tersebut adalah prank dan penipuan? Saya sendiri saat itu merasa sedih jika itu benar-benar penipuan. Mengapa? Karena saya sangat berharap bahwa sumbangan tersebut benar-benar terwujud dan bisa membantu masyarakat Sumsel seperti yang sudah dijanjikan.
Alangkah senangnya jika sumbangan itu benar-benar terwujud dan warga Sumsel dapat terbantu dengan sumbangan tersebut. Saya sedih jika ternyata itu harapan kosong.
Tapi mengapa mereka justru bersikap sebaliknya? Mengapa mereka tidak antusias dengan adanya berita orang yang mau menyumbang sebesar 2 T tersebut? Kalau mereka tidak percaya begitu saja dan bersikap ‘wait and see’ saya masih bisa mengerti. Tapi kalau mereka justru senang dan gembira ketika mengetahui bahwa ini penipuan benar-benar di luar logika saya. Kok malah gembira sih…?! What’s wrong with you? Kok malah gembira jika sumbangan tersebut tidak menjadi kenyataan? Apa yang membuat kalian begitu gembira?
Setelah saya pikir-pikir ternyata sebagian dari mereka adalah orang-orang yang sama yang bersikap aneh bin weird ketika peristiwa Ratna Sarumpaet mengaku dipukuli oleh beberapa orang sampai mukanya bengkak dulu di Bandara Bandung pada September 2018. Ketika berita itu muncul saya merasa marah dan sedih sekaligus. Saya benar-benar marah bahwa ada sekumpulan orang yang begitu tega memukuli seorang wanita tua berusia 70 tahun lebih sampai demikian parahnya. Saya sampai gemetar membaca beritanya. Saya sungguh sedih dan berempati pada apa yang terjadi pada Ratna Sarumpaet. Tetapi ketika ternyata berita pemukulan itu tidak benar, maka saya sungguh merasa lega. Ya, Allah, ternyata itu hanya bohong belaka. Syukurlah kalau begitu. Saya sungguh tidak marah pada Ratna Sarumpaet meski sampai sekarang tetap tidak paham mengapa ia sampai harus melakukan kebohongan yang membuat banyak orang yang membelanya malu besar.
Teman-teman saya ini sebaliknya justru marah dan kecewa bahwa pemukulan itu ternyata bohong dan mereka merasa dikerjain. Mereka berharap agar pemukulan tersebut benar-benar terjadi agar mereka bisa melampiaskan tuduhan-tuduhan sepihak mereka bahwa telah terjadi kekejaman dan upaya pembungkaman pada seorang aktivis pendukung Prabowo. Saya merasa lega bahwa itu bukan pemukulan, tapi sebaliknya mereka malah marah dan berharap agar pemukulan itu benar-benar terjadi. Mereka bersikeras bahwa memang terjadi pemukulan dan mereka menuntut pelakunya diusut, ditangkap dan diadili karena perbuatan kejinya tersebut.
Ketika Ratna Sarumpaet mengaku bahwa itu hanyalah karangannya belaka, mereka merasa kecewa dan marah pada Ratna Sarumpaet. Kok aneh dan tega banget sih berharap agar Ratna Sarumpaet benar-benar dihajar dan dipukuli sampai bengkak wajahnya? What’s wrong with you, bro? Kok malah berharap agar pemukulan itu adalah kenyataan?
Meski sudah berusia setua ini dan merasa sudah banyak makan asam, garam, dan rawon, ternyata masih banyak hal yang menjadi misteri bagi saya. Contohnya ya dua hal tersebut. Apa yang saya anggap sebagai sebuah kewajaran malah dianggap sebagai hal yang tidak wajar oleh beberapa teman saya. Begitu juga sebaliknya.
Seorang teman yang saya ajak diskusi malah berpendapat bahwa sikap mereka itu bukan ketidakwajaran, tapi ketidakwarasan. Mungkin dia hanya ingin solider pada saya dan ingin menenangkan saya.
Surabaya, 3 Agustus 2021
Satria Dharma