Saya tidak faham alasan mengapa PP Statuta UI yang melarang jabatan rangkap Rektor dengan Komisaris BUMN diubah menjadi PP Statuta UI baru yang membolehkan jabatan itu. Ada sementara pihak yang mengatakan jika ada larangan itu, maka regulasi ini mengekang gerak Rektor UI untuk berkiprah optimal untuk kemaslahatan publik. Pertanyaannya, ketika Rektor boleh menjabat sebagai Komisaris di BUMN betulkan akan ada lompatan kuantum dari UI dan BUMNnya ?
Statuta yang diubah itu dibuat oleh tim yang sangat kredibel, sehingga konon menjadi acuan PP untuk PTNBH lain. Ketika PP ini dilaksanakan oleh Rektor Periode 2014-2019, 3 (tiga) organ selain rektor yaitu Dewan Guru Besar (DGB), Senat Akademik Universitas (SAU) dan Majelis Wali Amanah (MWA) solid mematuhi “Konstitusi UI” ini dan seingat saya tidak pernah ada pembicaraan sejenakpun mengatakan perlunya diubah karena mengganggu gerak UI.
Tarolah kepemimpinan UI periode berikutnya ingin mengubahnya karena lebih berjiwa muda dan ingin cepat berlari. Maka, sudah pasti isi perubahan “Konstitusi” itu akan intensif diperdebatkan di ranah rapat 4 (empat) Organ. Pansus Perubahan Statuta akan memimpin urusan ini dan finalnya akan disahkan dalam rapat 4 (empat) Organ dengan tanda tangan Ketua DGB, Ketua SAU, Rektor dan MWA. Dikirimlah keputusan rapat 4 (empat) Organ itu kepada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan c.q. Dirjen Dikti dengan Surat Pengantar Rektor UI dengan kepala Surat berlogo Makara dan kata Veritas, Probitas, Iustisia.
Biasanya, jika Perguruan Tinggi mapan apalagi PTNBH seperti UI, maka Sesditjen Dikti tak akan banyak menelaah isinya dan segera akan membuat Surat Pengantar perihal: Usulan Perubahan PP no xx Tentang Statuta Universitas Indonesia dan melengkapi dengan dokumen PP lama dan draf final PP baru. Melayanglah Surat dengan Logo “Tut Wuri Handayani” dan tandatangan Mendikbud ke Sekretariat Negara dan masuklah dalam daftar antrian revisi PP.
Jelas Mensesneg tak langsung mengetik ulang draft final PP itu. Pasti ada SOP yang menelaah dan menjadikannya final, dicetak dengan logo Garuda Pancasila dan disodorkan kepada Presiden. Saking banyaknya dokumen yang harus ditandatangani, maka jika Presiden seorang yang teliti, ketika melihat logo UI beliau pasti akan melakukan cek silang dan bertanya mengapa harus diubah dan lain sebagainya. Jika tidak sempat, maka yg beliau lihat adalah parah di dokumen final itu dan sret..sret… sahlah PP Statuta UI yang baru.
Jika kita ikuti jalannya dokumen tersebut, jelas tidak adil jika hanya Rektor UI, Prof. Ari Kuncoro yang disalahkan, ketika ternyata selain menggelikan juga berpotensi melanggar UU Pelayanan Publik. Bukankah dalam rangkaian ini beliau adalah pejabat dalam posisi paling bawah ? Mendikbud bisa menolak dan tak memberi Surat Pengantar. Mensesneg juga bisa mengembalikan Surat Mendikbud dan terakhir Presiden menolak menandatangani PP tersebut.
Jadi, baru sekaranglah UI dilecehkan secara kolektif karena UI berjalan dengan “Konstitusi” atau Statuta yang berpotensi melanggar UU Tentang Pelayanan Publik. Apakah Civitas Akademika UI tidak faham ? Mustahil. Bukankah Fakultas Hukum terbaik di Indonesia saat ini masih FHUI ? Apakah Civitas Akademika UI akan bereaksi memperbaiki kecerobohan itu ? Entahlah.
Vivat …. Veritas, Probitas, Iustisia.
Ahmad Rizali-Alumni Teknik UI 79/Mantan Anggota dan Sekretaris MWA UI.