Oleh Syamsuarni Setia
Di Banda Aceh
Foto ini mengingatkan semua peristiwa tanggal 23 Juli 2013 dalam perjalanan ke Bakongan. Berangkat dari Banda Aceh usai shalat subuh, lebih kurang pukul 5.30 wib. Nyetir sendiri dengan melafadkan: “Bismillahirrahmanirrahim”.
Kalau tidak salah ingat sekitar pukul 08.00 tiba di Calang untuk ngopi dan sarapan pagi keluarga. Ada sekitar 1 jam di Calang dan pukul 09.00 wib meninggalkan Calang dan tiba di Meulaboh sekitar pukul 10 WIB atau 1 jam perjalanan dari Calang. Tidak lama di Meulaboh karena tidak ada acara makan minum, kecuali hanya untuk membeli “pisang brat” atau sering disebut di Banda Aceh pisang ambon. Beda dengan di Banda Aceh, di Meulaboh pisang brat bukan barang langka karena banyak dijual.
Dari Meulaboh perjalanan agak santai karena rencana menginap di Blangpidie. Lebih kurang pukul 11.30 wib tiba di persimpangan tugu Cot Mane mendekati Kota Blangpidie. Disini saya berhenti sejenak dipersimpangan antara dua jalan lewat Pulau Kayu Susoh atau melalui Guhang untuk tiba di Blangpidie.
Perasaan ingin lewat Pulau Kayu, walaupun perjalanan agak lama berhubung dengan kilometer yang panjang. Tapi, akhirnya kenangan mengalahkan keinginan, karena waktu saya sekolah SMA di Blangpidie, Guhang punya kenangan tersendiri bagi saya, walaupun kini hanya tinggal kenangan. Maka saya tetapkan hati lewat Guhang dan tiba di Blangpidie pukul 11.30 wib.
Sudah menjadi konvensi yang tidak tertulis bahwa tiba di Blangpidie harus santap mie kocok. Mie kocok Blangpidie memang ada cita rasa agak lebih bagi selera. Ibaratnya seperti kata Rustam Efendi dalam “Bunda dan Anak” melihatnya saja bisa terpercik liur di bawah lidah, membangkitkan rasa bagi selera.
Usai menikmati cita rasa mie kocok putih atau lebih dikenal mie tiau, entah pengaruh apa, saran keluarga membatalkan menginap di Blangpidie mengganti menginap di Tapaktuan. Jelang berangkat menuju Tapaktuan mutar muter sebentar keliling Blangpidie dan Susoh, mungkin khusus bagi saya suasana memori yang terpateri dalam amigdala dan cortex di pikiran (otak) beda dengan orang-orang yang tidak pernah lama tinggal di “Kota Breuh Sigupai” ini (Blangpidie dulu dikenal dengan breuh/beras sigupai). Bagi saya banyak membawa ingatan ke masa lalu sehingga setiap tiba di sini ada saja yang diingat. Kalau ditulis bisa menjadi satu novel dengan judul: “Seribu Senja di Blangpidie” mengadopsi judul novel “1000 Senja di Roma” karya Motinggo Boesye. Coba bayangkan 3 tahun di Blangpidie, sama dengan 1000 hari (lebih dikit/95 hari). Mungkin teman-teman ada membaca novel tersebut, tak terkecuali Bung Wahidin Wahidin dan Tabrani Yunis sebagai pencinta susastra (sastra indah) ada membacanya.
Hmm … !, lama mutar muter di daerah breuh sigupai ini dan lebih kurang pukul 13.00 wib saya meninggalkan Blangpidie langsung menuju Kota Tapaktuan. Meskipun masih siang hari, tapi berketetapan hati menginap di Tapaktuan dan kami pilih di Hotel Metro, meskipun ada rumah famili dan teman-teman seperti Irfanullah Nullah.
Pagi hari usai sarapan, terlihat di pekarangan samping hotel ada kura-kura Metro ditunggangi pemilik, muter-muter sambil ketawa ketiwi. Asyik juga melihatnya. Saat itulah saya abadikan even dalam foto tersebut.
Oke … , cukup memori ini saya padai dan simpan disini yang secara kebetulan terbersit saat melihat foto ini di album.
(Dahlia11, Bna 23 Juli 2021)