Oleh Satria Dharma
Berdomisili di Surabaya
Namanya Mustaqim. Ia kepala Baitul Maal Hidayatullah Balikpapan. (http://www.bmh.or.id/). Pagi itu HP-nya berdering. Ia meliriknya dan ia melihat nomor yang tidak ia kenal. Ia tidak segera mengangkatnya. “Mungkin salah nomor.” Pikirnya. HP-nya berdering untuk kedua kalinya. Ia masih belum tergerak untuk mengangkatnya.
Tapi ketika HP-nya berdering untuk ketiga kalinya, ia baru sadar bahwa tak mungkin itu salah sambung. Tentunya ini masalah serius kalau ada yang menelponnya sampai tiga kali. Begitu ia angkat HPnya dan mengucapkan salam, di ujung sambungan langsung menyambutnya dengan tangisan. Mustaqim terkejut dan terheran-heran. “Ada apa ini…?!Kok nangis di telpon?” tanyanya dalam hati.
Tapi ia membiarkan si penelpon menangis sampai berhenti. Mungkin perasaan sedihnya telah ia pendam selama berhari-hari dan begitu bertemu dengan saluran langsung jebol!. Ketika tangisnya telah selesai ia langsung bertanya,” Ada apa Pak? Apa yang bisa saya bantu?” Tapi ternyata ia salah. Si penelpon ternyata seorang wanita dan tanpa basa-basi ia langsung menyatakan maksudnya untuk pinjam uang sebesar 150 ribu karena ia sakit dan tidak bisa bangun dari tempat tidurnya. Ia bermaksud untuk pergi ke rumah sakit atau dokter untuk berobat dan satu-satunya tempat yang ia tahu untuk pinjam uang adalah BMH.
BMH memang menyediakan pinjaman bagi orang-orang miskin seperti ibu tersebut dan BMH memang bergerak di komunitas orang-orang miskin. Sebagai lembaga baitul maal tentu saja BMH punya prosedur untuk meminjam uang, tapi Mustaqim langsung meminta stafnya untuk meminjami si ibu. “Ini emerjensi.” Katanya. “Kalau seorang ibu sudah menangis-nangis untuk minta pinjaman, maka semua protokol dan prosedur boleh dilewati”, demikian guraunya. “Ini rahasia perusahaan, tapi disini saya bocorkan.”, lanjutnya mengenang peristiwa tersebut.
Ketika tim BMH mendatangi rumah dari ibu yang sakit tersebut ternyata kondisi rumahnya sungguh mengenaskan. Si ibu sendiri sudah tidak bisa bergerak sehingga harus diangkat untuk dibawa ke dokter. Rumahnya begitu kecil dan sempitnya, sehingga anak-anaknya terpaksa harus tidur di atas kursi dan juga di bawah kursi. Bagi BMH (dan keluarga pesantren Hidayatullah) keluarga miskin bukanlah hal yang asing karena sehari-hari mereka bergumul dengan orang-orang miskin.
Tapi apa yang dilihat oleh Mustaqim pada hari itu benar-benar menyentuh perasaannya. Kemiskinan yang diderita si ibu benar-benar membuat Mustaqim menangis dalam hati. “Ya Allah! Betapa miskinnya keluarga ini. Mereka benar-benar butuh bantuan yang nyata.” “Seandainya kemiskinan adalah manusia maka saya akan membunuhnya”, demikian kata Ali Bin Abu Thalib suatu kali.
Kemiskinan membuat banyak manusia hidup tak bermartabat dan hilang kemuliaannya. Hal ini membuat Mustaqim berpikir keras. Ia harus melakukan sesuatu untuk membantu orang-orang miskin seperti si ibu ini agar anak-anaknya tidak melanjutkan kemiskinan tersebut. Ia tahu bahwa pendidikan adalah jawabnya. Bahkan Hidayatullah, tempat Baitul Maalnya bernaung, memiliki pesantren dan juga sekolah SDIT Lukman AlHakim yang terkenal tersebut. Tapi sekolah tersebut mungkin bukan jawaban bagi anak-anak yang super miskin, yang bahkan untuk makan saja sulit. Harus ada terobosan pemikiran di mana anak-anak miskin tersebut bisa belajar menuntut ilmu tanpa harus memikirkan makan untuk sehari-hari dan juga tidak perlu membantu orang tuanya mencari kehidupan sehari-hari. Mereka terlalu kecil untuk harus terlibat dalam kesulitan orang tua mereka. Mereka juga harus memiliki harapan untuk lepas dari kemiskinan dan menjadi pemimpin bagi lingkungannya.
Dari sinilah kemudian ide “Sekolah Pemimpin”nya bergulir. Sekolah tersebut haruslah dikhususkan bagi anak-anak yang benar-benar miskin, siswanya diasramakan (boarding school), dan berkualitas tinggi sehingga dapat memberi anak-anak tersebut bekal pengetahuan dan ketrampilan untuk menjadi pemimpin kelak. Tapi yang paling penting adalah bahwa sekolah berasrama tersebut haruslah gratis!
Tentu saja ini sebuah program yang ambisius. Belum pernah ada program sejenis ini sebelumnya. Yang ada adalah sekolah bagi anak dhuafa tapi memang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. Program Sekolah Pemimpinnya ini tidak mensyaratkan adanya tingkat intelektual tertentu bagi siswanya. Syaratnya adalah siswa miskin dan yang penting orang tuanya bersedia untuk menyerahkan anaknya kepada sekolah dan asrama tersebut untuk dididik. Semakin miskin, semakin besar kemungkinannya untuk diterima. Tak perlu syarat nilai raport atau ijazah tertentu. Sekolah tersebutlah nantinya yang akan menyiapkan anak-anak tersebut bekal untuk menjadi pemimpin kelak.
Ketika Mustaqim menemui saya di rumah dan menceritakan Sekolah Pemimpinnya ini saya langsung tertarik. Menjadikan siswa sebagai calon-calon pemimpin adalah tantangan bagi setiap pendidikan dan sebagai seorang konsultan pendidikan saya merasa bahwa ide ini sangat menarik. Ketika saya tanyakan kapan kira-kira ide ini akan dirumuskan dalam sebuah dokumen dan digulirkan dalam sebuah program Mustaqim menjawab bahwa sekolah itu sudah berdiri dan siswanya sudah dipilih. Ada 50 anak laki-laki berusia SMP yang sudah dipilih untuk menjadi siswa angkatan pertama. Saya terhenyak. Bagi Mustaqim dan teman-temannya di Hidayatullah memang tidak perlu banyak-banyak perencanaan dan diskusi sana-sini. Just do it, mungkin adalah moto mereka. Saya jadi malu sendiri. Selama ini saya selalu terlibat dalam diskusi sana-sini dan pembahasan ini-itu dengan para pakar anu dan inu, tapi tak ada yang terwujud di lapangan.
Sementara itu Mustaqim dan teman-temannya di BMH yang sebenarnya tidak memiliki bekal mengelola sekolah tanpa banyak cingcong dan pertimbangan langsung terjun ke lapangan dan memulai ide mulianya itu. Ya Allah! Betapa berani dan hebatnya mereka itu. Mereka memilih untuk terjun langsung melakukan apa yang dianggapnya baik, mulia dan bisa membantu para dhuafa daripada sekadar berteori sana sini. Dan disinilah saya… diminta untuk menjadi konsultan pendidikan mereka! Tidak… tidak…! Sayalah yang harus belajar pada mereka tentang bagaimana mengelola sebuah ide menjadi tindakan tanpa harus berteori ini dan itu. Saya terhantam oleh sebuah fenomena baru yang luar biasa hebatnya. Jika tangis seorang ibu saja dapat menggerakkan Mustaqim dan kawan-kawannya membuat Sekolah Pemimpin, sebuah boarding school gratis bagi warga miskin, yang idenya saja bisa membuat saya yang memiliki beberapa sekolah di sana-sini menjadi gemetar, maka mengapakah tangis dan rintihan yang sama di berbagai sudut tanah air ini tak mampu menggerakkan hati kami untuk turun tangan melakukan karya nyata yang sama? Ya Allah! Mustaqim yang bertubuh kecil, dengan muka yang lucu dan selalu tersenyum itu, dengan celananya yang menggantung tinggi di atas tumitnya, dan berbicara dengan dialek khas Sulselnya itu telah memberi saya sebuah pelajaran yang luar biasa bahwa tak perlu teori-teorian kalau ingin membantu orang miskin untuk bersekolah. Just do it!
Seandainya saja perusahaan Nike mengetahui apa yang dilakukan oleh Mustaqim ini maka ia tentu akan dibantu melakukan tugas mulianya tersebut. Mustaqim si kecil dahsyat tersebut telah mempraktekkan filosofi ini dengan indahnya.
Saya harus membantunya. Saya akan mengajak teman-teman saya yang lain untuk membantu Mustaqim dan teman-temannya mewujudkan cita-cita mulia tersebut. Pagi ini saya memberikan sambutan di hadapan para siswa dan orang tua mereka yang sungguh merupakan kumpulan orang-orang yang sederhana dan pemalu belaka. Tapi ketika saya menatap mata para siswa yang bening tanpa dosa tersebut saya sadar bahwa mereka sungguh-sungguh bisa melepaskan diri dari jerat kemiskinan orang tua mereka dan suatu saat dapat menjadi pemimpin jika kita bantu.
Meski telah berjanji pada diri saya bahwa saya tak akan membiarkan diri saya terlarut dalam haru dalam suasana tersebut, tapi di akhir sambutan saya tak tahan untuk tidak tercekat karena diserang rasa haru. Hampir saya mempermalukan diri saya karena meneteskan air mata di atas panggung.
Sebagai ‘alumni’ warga miskin saya tahu benar betapa besar artinya dapat lepas dari jerat kemiskinan. Dan saya berharap agar setiap anak yang ada di hadapan saya dapat melepaskan dirinya dan keluarganya dari jerat kemiskinan tersebut melalui sekolah ini kelak. Semoga!
Balikpapan, 31 Juli 2010
Satria Dharma