Oleh Ahmad Rizali
Menemani nyonya Isoman di rumah sembari WFH dan dengan melimpahnya dukungan tetangga, saudara, kerabat dan kawan serta pak RW setempat, membuat saya lebih banyak waktu merenungi kiprah selama beberapa tahun ini dan membuat saya agak gelisah ketika menjelang mata terpejam. Mari kita tengok mengapa.
Gambar terbagus paling kiri atas adalah WHY mengapa kami di Gernas Tastaka dan NU Circle melakukan sesuatu. Visi Presiden/Wapres dalam dokumen tertulis di RPJMN sudah sangat jelas. Menggapai kejayaan 100 Tahun Indonesia Merdeka yang diramal akan memperoleh “Bonus Demografi” dan “PDB ke 3 Terbesar (7,4 T USD) Sedunia” wajib dilakukan Pengembangan Sumber Daya Manusia Indonesia “Unggul” dengan cara yang jelas: Perbaikan Mutu Bumil/Melahirkan, Menurunkan Prevalensi “Kontet/Kerdil” atau Stunting dan Memperbaiki (akses) dan Mutu Pendidikan serta “Employability” lulusan SMK.
Target dan “reasoning” di RPJMN 2019-2024 juga jelas, meski aneh, di Renstra Kemdikbud direduksi, juga jelas. Namun membaca data data di bawah ini membuat hati tak tentram. Meski masih 3 Tahun lagi, namun praktis “Kru” Utama Pemerintahan yang kental nuansa politiknya akan tak konsentrasi bekerja menghadapi Pilpres 2024. Sehingga waktu yang tersisa 2 (dua) Tahun ini, cukupkah untuk menurunkan prevalensi Stunting dari BaseLine RPJMN 27 % (Gambar di bawah masih mendekati 30 %) ke target 14 % ? Cobalah renungi data Status Gizi Pendek dan Sangat Pendek di bawah. Jika % tak diturunkan, maka seperempat lebih bayi yang dilahirkan akan memiliki kecerdasan di bawah rerata, OMG…
Saya tak komentari gambar berikutnya, namun langsung ke Laporan Pembangunan Manusia Dunia (WDR Tahun 2019) yang dilansir juga oleh Bank Dunia dan membuat sebuah Indeks yang membandingkan statusnya dari 157 Negara di Dunia. Baca definisi Indeks (Human Capital Index) itu. HCI adalah indeks yg memprediksi bayi yang lahir saat ini apakah: mampu hidup dalam kurun 5 Tahun berikutnya? Jika tetap hidup apakah mereka memperoleh Pendidikan yang bermutu hingga usia 18 Tahun? Saat melepas usia 18 Tahun apakah siap memasuki dunia kerja?
Melihat prediksi akademik laporan tersebut dan menyaksikan pengalaman di lapangan, menjadikan saya berkesimpulan bahwa “Indonesia Tidak Sedang Baik Baik Saja”. Tengoklah datanya. HCI kita di bawah rerata dan di Asean hanya lebih baik dari Laos, Kamboja dan Birma. Sementara sudah 21 Tahun kita memperbodoh diri sendiri sehingga ketrampilan numerasi murid kelas 1 SMP kita saat ini setara dengan kelas 4 SD di Tahun 2000. Rerata ketrampilan dasar murid kita di Jakarta dan DIY lebih rendah dari rerata murid2 di perdesaan Vietnam dan pembelajaran “pembodohan masal” yang uniknya berbayar dan disokong pemerintah di platform kondang.
Saya sebetulnya lebih suka menceritakan kisah sukses dan berita baik yang menuju ke “BERHARAPLAH YANG TERBAIK”. Namun mohon maaf jika sekarang dan selanjutnya saya akan banyak mengisahkan “berita buruk” pengembangan SDM kita agar kita bangun dari KOMPLASENSI akut atau menganggap semuanya baik baik saja. TIDAK. Pendidikan Indonesia Tidak Sedang Baik Baik saja.
Catatan: Saya merasa bertanggung jawab moral (fardhu kifayah) untuk terus mengingatkan, karena pernah setahun ikut kursus program Pg.Dpl./MSc. dlm HRM di Inggris Raya dengan biaya BUMN.