Oleh Syamsuarni Setia
Aceh kembali dihebohkan propinsi termiskin di Sumatera oleh BPS (Badan Pusat Statistik). Masih segar dalam ingatan setelah setahun yang lalu juga didaulat sebagai propinsi termiskin dengan pemasangan spanduk bertuliskan “Selamat Datang di Propinsi Termiskin se Sumatera” yang dipasang di sekitar Banda Aceh. Disambut heboh oleh media sosial yang tak kalah hebohnya dan viralnya gambar spanduk tersebut. Ada juga spanduk yang memuat tulisan: “Selamat dan Sukses atas Prestasi Sebagai Provinsi Termiskin”.
Ada timbul dua praduga pada yang memancang spanduk tersebut sebagai upaya menyindir pemerintah Aceh atau menyindir pemerintah pusat. Terlepas dari benar dan tidaknya praduga tersebut, saya berpikir beda bahwa ini kerjaan sebagian anak-anak muda Aceh yang punya daya antisipasi, sehingga meragukan data BPS: “Apakah benar Aceh termiskin?”. Data apa yg dipakai untuk meng-ultimatum Aceh termiskin.
Sekarang heboh lagi Aceh dikatakan termiskin, kata data BPS. Katanya penduduk miskin di Aceh meningkat 19.000 orang pada September 2020. Sehingga persentasenya, angka kemiskinan di Serambi Mekah menjadi 15,43% atau tertinggi di Sumatera. Itu data BPS pada 15 Pebruari 2021. Sebelum bencana wabah Corona, akhir tahun September 2019 kemiskinan Aceh sebesar 15,01%, kemudian turun pada Maret 2020 menjadi 14,99%, dan September 2020 dengan adanya wabah Corona kemiskinan Aceh meningkat menjadi 15,43%.
Jelasnya penduduk miskin Aceh pada September 2020 sebanyak 833,91 ribu orang. Jumlah itu bertambah 19 ribu orang dibandingkan Maret 2020 yakni 814,91 ribu orang. Bagi saya tentang heboh miskin ini ibarat pemberian IDENTITAS terhadap Aceh sebagai DAERAH SERAMBI MISKIN.
Tentang miskin ini, ada ujar bijak Khong Hucu: “Di daerah yang baik tata kelola pemerintahannya, kemiskinan terlihat sebagai sesuatu yang memalukan. Tapi di daerah yang buruk tata kelola pemerintahan, kesejahteraan adalah hal yang memalukan”. Menurut pikiran saya sesuai ujar Khong Hucu, kemiskinan adalah situasi dan kondisi yang tidak elok bagi seseorang, sehingga memalukan, juga bagi satu komunitas publik, tapi dalam persepsi saya terlepas dari suatu daerah itu baik atau tidak baik pengelolaan pemerintahannya. Sehingga bagi saya jadi aneh, dalam hal ini mengapa bagi satu komunitas pemerintahan seperti BPS dan bagi sekelompok orang-orang Aceh lainnya justru kemiskinan didengungkan dan ditabuh genderang yang sungguh tidak elok didengar?
Menurut saya pikir, kalau benar miskin, yang penting dilakukan upaya dengan segala daya untuk dikayakan. Jangan pamer miskin. Bahkan bagi sebagian orang, miskin yang diragukan otentikasinya karena menyangkut keakuratan data.
Sampai di sini timbul tanya: “Apakah data kemiskinan Aceh itu akurat?”. Keraguan ini bukan tidak beralasan. Kemudian jangan karena yang ngomong menyajikan data itu satu entitas pemerintahan BPS, lantas dipercaya sangat otentik. Fakta tahun lalu bahkan masalah data kemiskinan membuat Presiden Joko Widodo bingung. Sejak pertama menjadi presiden tahun 2014, presiden Jokowi menilai selalu ada perbedaan data kemiskinan antar kementerian dan lembaga. Kemenkes dengan Kemensos memiliki data berbeda. Juga Kementerian Perindustrian dan Kementerian Tenaga Kerja juga berbeda tentang data tenaga kerja. Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan juga memiliki selisih data soal pangan.
Data soal produksi beras misalnya, tiap lembaga berbeda-beda semua. Kementerian Pertanian, Perdagangan dan BPS berbeda datanya. Kondisi di lapangan lain lagi. Sehingga imbasnya banyak orang meragukan ultimatum data kemiskinan Aceh yang dituduh termiskin se Sumatera. Sehingga menurut pemikiran saya ada uneg-uneg, apakah pencari data itu sudah masuk kampung keluar kampung menghitung per kepala orang Aceh mencari si miskin?.
Tentu timbul tanya atas keraguan saya tersebut bagi sebagian orang: “kalau tidak miskin mengapa tidak membantah?”. Saya pikir, orang-orang Aceh yang dicap miskin tersebut, terpaksa melakukan daya antisipasi melakukan JURUS MELINGKAR. Ibarat pemain silat yangbdapat pukulan. Tidak ditangkis, tapi diikuti itu pukulan. Lalu dibalikkan ke posisi semula. Tidak apa-apa dicap miskin oleh BPS, diikuti saja dan diiyakan, ditambah lagi dengan membuat spanduk: “Selamat Datang ke Propinsi Termiskin di Indonesia”. Karena ada kemungkinan kemiskinan itu satu ofensi perpolitikan para elit, kemiskinan semu.
Entah apa maksudnya. Nah itu jangan ditangkis. Jangan dibantah. Diikuti saja, meskipun memalukan. Begitulah adanya sebagian rakyat Aceh, yel yel terus Aceh miskin. Kalau tidak begitu Aceh akan tergilas habis seperti halnya suku Indian di Amerika yang bersikap menangkis. Sebagian orang Aceh sudah belajar tidak seperti orang Indian. Mungkin ada juga yang bersikap seperti Indian. Tapi Aceh sekarang sudah mulai mengarah kepada jurus melingkar. Dengan begitu, sekarang saya melihatnya sedang ada upaya mengdikhotomi Aceh dengan pemerintah pusat dan dengan daerah lain. Maka dikatakanlah Aceh termiskin di Sumatera dan di Indonesia, Bisa saja nanti muncul lebih tragis Aceh termiskin di dunia. Seolah-olah ACEH DAERAH SERAMBI MISKIN, padahal sudah secara heryditer turun temurun dari sejak dulu dalam identitas kearifan lokal Aceh disebut DAERAH SERAMBI MEKKAH. Bisa saja nanti muncul lebih tragis Aceh termiskin di dunia.
Sebenarnya saya melihat secara metafora, Aceh kini sedang membongkar rumahnya. Tapi rumah yang baru belum berdiri. Timbul tanya: “Rumah apa itu”?. Ini secara sosiologis – ideologis. Artinya rumah- rumah tentang gagasan-gagasan orang Aceh tentang Islam, tentang demokrasi, tentang negara dan kehidupan masyarakat sedang dibongkar sekarang, membangun kehidupan Syariah, mengecualikan kemiskinan, karena dalam pandangan orang Aceh “TIDAK MISKIN”.
Saya sendiri dalam opini ini berani tepuk dada mengatakan “INI DADAKU, MANA DADAMU? KAMI ACEH TIDAK MISKIN”. Artinya income per capita tidak menjadi prioritas dan bahan pergunjingan yang diributkan, karena dulu sudah dibayar mahal antara lain dengan ongkos nyawa begitu banyak. Sekarang Aceh sudah berada pada masa transisi. Jakarta sedang interaktif dan adaptatif terhadap nasionalisme di tengah rumah baru Aceh yang belum berdiri. Rumah baru ini antara lain, ya itu tadi, “jurus melingkar”.
Nah, pada masa transisi seperti ini generasi mudanya sangat bingung, bahkan sebagian generasi tua mengiyakan kata data BPS bahwa Aceh termiskin di Sumatera langsung percaya. Tidak jelas maunya apa. Yang akhirnya menjadi konsumen produk cuitan dari data BPS yang mendiskreditkan Aceh dengan kemiskinan, padahal BPS melihat secara PARSIAL tidak TOTALITAS, maklum survey.
Apa yg dialami Aceh sekarang sudah dialami dulu-dulu. Saya jadi berpikir, seharusnya orang Aceh harus ada kelas-kelas intelektual, kelas budaya tandingan dan anak muda yang punya daya antisipasi kolektif, tidak parsial seperti orang Aceh yang percaya data kemiskinan. Inilah yang menjadi persoalan. Saya proyeksikan kemungkainan paling rendah, mungkin ada satu generasi Aceh yang harus dilewati dan dikorbankan untuk mencapai ini.
Jadi, bagi saya sebuah tanya yang menjerat, apakah ikut orang-orang Aceh yang punya daya antisipasi kolektif, biarlah orang kata apa tentang kita?. Atau memilih saja jurus melingkar, jangan ditangkis. Beberkan terus data kemiskinan Aceh. Jangan peduli orang Aceh malu. Bahkan pukul terus genderang kemiskinan dan ucapkan kata “selamat datang di daerah yang termiskin” pada tamu-tamu yang datang, walaupun pendatang itu miskin anggap saja kaya, karena kita sudah dicap miskin. Tapi jangan lupa pada ujar Khong Hucu: “Di daerah yang baik tata kelola pemerintahannya, kemiskinan terlihat sebagai sesuatu yang memalukan. Tapi di daerah yang buruk tata kelola pemerintahan, kesejahteraan adalah hal yang memalukan”.
Kemudian, seperti kata Chairil Anwar: “Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan. Tembus jelajah dunia ini dan balikkan. Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu. Pilih kuda yang paling liar, pacu laju. Jangan tambatkan pada siang dan malam. Salam sore … !!!.
————-
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5374577/aceh-kembali-jadi-provinsi-termiskin-di-sumatera
???
(Dahlia 11, Bna 16 Pebruari 2020)